Agama dan Bina-Damai: Upaya Memperluas Spektrum

Agama dan Bina-Damai: Upaya Memperluas Spektrum

Agama sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di banyak kasus, agama dianggap memicu konflik kekerasan. Tapi di kasus lain, agama juga berperan mendorong perdamaian. Tidak seperti perannya dalam memicu konflik, peran agama dalam mendorong resolusi konflik dan bina damai memang belum banyak dikaji. Karena itu ketika ada dua peneliti muda yang mengkaji hubungan agama dan perdamaian, PUSAD Paramadina menyambut baik dan mengundang mereka untuk sharing hasil penelitiannya. Mereka adalah Utami Sandyarani dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan Nabila Sabban, alumni University of Bradford, UK. Diskusi diselenggarakan pada Selasa (8/7) di kantor PUSAD Paramadina.

Suasana diskusi panel "Agama dan Perdamaian" di PUSAD Paramadina, Selasa, 8 Juli 2014.

Suasana diskusi panel “Agama dan Perdamaian” di PUSAD Paramadina, Selasa, 8 Juli 2014.

Utami Sandyarani mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan makalahnya yang berjudul Walking The Spectrum Further: Religious Peacebuilding in Maluku. Makalah yang disarikan dari skripsinya di UGM ini menggambarkan bagaimana sejumlah pihak di Ambon menggunakan strategi dan sumberdaya agama untuk mewujudkan perdamaian di tengah konflik. Dengan mengkaji kiprah Tim 20 Wayame dan Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM), Utami menunjukkan bagaimana pemimpin agama mampu menggugah masyarakat untuk menghindari konflik dan membina perdamaian. Dia lalu menyimpulkan bahwa agama mempunyai spektrum yang luas – bisa sangat pro-kekerasan tapi juga bisa pro-perdamaian – dan dalam kasus Ambon, religious peacebuilding sangat efektif.

Jika penelitian Utami lebih menyoroti aspek praktis, penelitian Nabila lebih teoritis. Hal itu sudah terlihat dari makalahnya yang berjudul Contemporary Conflict Resolution and Islamic Conflict Resolution: Similarity and Differentiation on The Theoretical Level. Penelitian Nabila dilatarbelakangi oleh keprihatinannya melihat Islam yang selalu diidentikkan dengan kekerasan dan banyaknya teori resolusi konflik kontemporer yang menurutnya gagal menjawab permasalahan di dunia Islam. Dia kemudian menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menyediakan sumberdaya untuk bina-damai dan resolusi konflik tetapi bahkan dapat melengkapi keterbatasan teori resolusi konflik kontemporer. Nabila kemudian mengaitkan temuannya dengan konflik di Ambon yang dialaminya secara langsung.

Dalam tanggapannya, Husni Mubarok, peneliti PUSAD Paramadina, mengapresiasi kedua peneliti tersebut dan menyampaikan perlunya mengarusutamakan peran agama dalam bina-damai, baik di level gagasan maupun praktik. Ia lalu menegaskan bahwa peran negara dalam resolusi konflik tetap penting dan perlu terus didorong. Setelah diselingi buka puasa bersama, peserta diskusi lain kemudian memberikan tanggapan dan pertanyaan, mulai dari aspek metodologi riset, konsep-konsep kunci, hingga kemungkinan penelitian lanjutan. Di akhir diskusi, Ihsan Ali-Fauzi berpesan tentang pentingnya Indonesia sebagai laboratorium untuk mempelajari sekaligus memeperkaya teori-teori resolusi konflik, dan agama menjadi unsur penting di dalamnya.[PUSAD/Dyah Kathy]