Arti Penting Empati dan Trust
Kurangnya rasa percaya
(trust) masyarakat terhadap polisi di Indonesia adalah salah satu masalah yang masih dihadapi Polri ketika melaksanakan tugas dan ketika bekerjasama dengan masyarakat. Tetapi, polisi juga seringkali tidak percaya kepada masyarakat, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.
Pernahkah Anda mendengar warga masyarakat yang berkata, ”Kalau kita melapor ke polisi kehilangan sapi, akhirnya kita akan kehilangan sapi dan kambing”? Dengan kata lain, masyarakat tak percaya bahwa polisi akan melaksanakan tugasnya dengan kompeten. Malahan, masyarakat akan semakin merugi jika berurusan dengan polisi. Pernahkah Anda mendengar anggota Polri yang berujar: ”Warga masyarakat di kota ini mudah sekali terpancing emosinya dan melakukan tindakan main hakim sendiri”? Dengan kata lain, polisi tidak percaya bahwa masyarakat akan bekerja sama dalam penegakan hukum atau memelihara keamanan dan ketertiban.
Dari sudut lain, ilustrasi di atas menunjukkan ketiadaan empati
(empathy) di kedua belah pihak. Masyarakat kurang memahami polisi beserta tugasnya dan keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi polisi sehingga polisi menilai masyarakat tidak mendukung. Polisi kurang memahami persoalan anggota masyarakat dan masalah keamanan yang mereka hadapi sehari-hari sehingga masyarakat menilai polisi tidak responsif. Kurangnya kemampuan memahami pihak lain beserta perspektif dan kondisi mereka adalah contoh kelemahan empati.
Dalam rangka membangun empati antara Polri dan masyarakat, kita perlu memahami kedua kemampuan di atas, yaitu kemampuan saling mempercayai dan kemampuan empati. Empati adalah kunci membina kepercayaan dari masyarakat. Dalam kesempatan ini, kedua kapasitas ini akan dibahas secara mendasar walaupun ringkas.