Cak Nur Corner

Pengantar Editor

Bagaimana Membaca Buku Ini dan Ucapan Terima Kasih
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil penyuntingan lebih dari 15 tahun kerja intelektual dan pengajaran Prof. Dr. Nurcholish Madjid di Pusat Studi Islam Paramadina. Selama masa yang panjang itu, sejak berdirinya Yayasan Paramadina, sampai masa-masa menjelang reformasi, Cak Nur—panggilan akrab beliau—terus-menerus memberikan pada mahasiswa-mahasiswanya di Paramadina, gagasan-gagasan keberagamaan yang segar, inspiratif, berwawasan universal, kosmopolit, dan penuh kedalaman spiritual—bahkan kadang-kadang menantang berpikir ulang atas kepercayaan keagamaan tradisional selama ini. Dalam proses belajar itu, terbentuklah apa yang kemudian disebut “Komunitas Paramadina”––yaitu ribuan mahasiswa atau murid-murid Cak Nur yang secara intens terus-menerus mempelajari pemikiran Islam di Paramadina, selama bertahun-tahun hingga kini. Dalam proses pengajaran Cak Nur itu AlhamduliLâh sempat tersimpan rekaman ratusan jam perkuliahan Cak Nur, dan catatan-catatan (hand out), yang sayangnya tak terdokumentasi lagi tanggal pengajarannya itu.

Ihsan Ali-Fauzi Mei ini Keluarga Besar Yayasan Paramadina memperingati 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh pembaruan Islam di Indonesia. Bagaimana sebaiknya menaksir gagasan dan gerbong pembaruan yang ditariknya? Mengapa pesan besar yang ia sampaikan kedodoran belakangan ini? Seraya meminjam dari sosiolog Robert Wuthnow, saya ingin...

  ON 3 JANUARY 1970, a young Muslim scholar stood before a large audience in Jakarta and delivered what would be the defining speech of his career. He observed that while Islam was developing rapidly in Indonesia, very few Muslims were attracted to Islamic politics. It was, he said pithily, a case of “Islam yes, Islamic party no!” His words were more than an observation about community attitudes; he was also endorsing the trend away from political Islam. For him, Islam’s future in Indonesia lay not in politics, but in cultural, intellectual and educational activity. The speaker was Nurcholish Madjid and his address created a furore. To understand why his words aroused such a reaction, one must know something of Nurcholish himself and the challenge facing political Islam in the late 1960s and early 1970s. Nurcholish was, at that time, one of the brightest young stars in the firmament of Indonesian Islam. He was a gifted intellectual with natural leadership qualities. He had twice been elected chairman of the country’s largest Muslim student body, the Muslim Students Association (HMI), and a leading role in Islamic politics seemed inevitable. Indeed, he was paid the accolade of being known as the ‘Young Natsir’ (Natsir Muda), a reference to the former prime minister and chairman of the Masyumi Islamic Party, Mohammad Natsir, who was the most revered figure in modernist Islamic politics.

RASANYA mustahil memisahkan namanya dari pembicaraan tentang Islam di Indonesia atau bahkan tentang Indonesia secara keseluruhan. Sejak hampir tiga dekade lalu, ketika usianya masih relatif muda, beberapa makalah, buku dan disertasi doktor sudah ditulis orang mengenainya – baik di dalam maupun luar negeri. Buku rujukan...