Di Mana Chairil di Tengah-tengah Kita Hari ini?

Di Mana Chairil di Tengah-tengah Kita Hari ini?

I.

Jakarta hari-hari ini bukanlah tempat yang enak untuk membaca Chairil Anwar. Meskipun kepenyairannya cukup dikenal dan beberapa sajaknya dihapal di luar kepala – juga ditonjolkan dalam Ada Apa dengan Cinta?, satu dari segelintir film kita yang cukup banyak ditonton – terasa begitu jauh jarak antara bentuk dan isi kepeloporan Chairil dan apa yang sudah dan mungkin bisa kita kembangkan darinya di Jakarta hari ini, hampir 60 tahun sejak kematiannya.

Kita boleh suka atau tidak suka pada isi sajak-sajak Chairil. Tapi rasanya banyak orang akan suka pada sisi Chairil sebagai manusia yang seperti begitu bebas menyalurkan gairah penciptaannya (“idealisme”, kata para mahasiswa), seraya hidup tak keruan. Orang suka mengelu-elukan sosok seperti ini – meskipun belum tentu mau, atau mampu, mengikutinya – karena darinyalah kita berharap bahwa kepentingan publik bisa terus dibela. Chairil adalah seorang intelektual publik dengan tugas mengganggu dan menggonggong kemapanan – dan realisme pasti bukanlah filsafat yang disukainya. Dia menjadi semacam Robinhood dengan senjata tekad, otak dan ketajaman kata-kata yang darinya kita berharap apa yang musykil kita harapkan dari kelompok kepentingan dan partai politik. Dari orang seperti Chairil, kita bisa berharap munculnya keberanian sikap dan kesediaan untuk, meminjam istilah yang dipopulerkan mendiang Edward Said, “speaking truth to power”, dengan segala ongkosnya, termasuk hidup kéré dan diusir mertua.

Pada sosok Chairil, yang menjadi matang dan sekaligus mati di usia muda, terkandung unsur- unsur yang biasanya diromantisasi ada pada pemuda. (Dan ini kebetulan yang bagus untuknya, karena kita jadi tak pernah tahu apakah Chairil tua akan cocok dengan kepemudaannya seperti yang kita kenal.) Secara sosial-psikologis, merekalah kelompok yang paling mungkin untuk hidup bohemian: sementara sudah terbebas dari kewajiban ikut apa kata orangtua, mereka belum terikat oleh kewajiban mencari nafkah untuk menghidupi keluarga sendiri. Romantisme seperti itu pulalah yang digambarkan Ben Anderson dalam disertasinya tentang revolusi pemuda di zaman Chairil, Java in a Time of Revolution (1972), meskipun ia – dan ini aneh – tak sekali pun menyebut peran Chairil di dalamnya.

Untuk orang-orang seperti Chairil itu, Jakarta hari ini bukanlah kota yang ramah. Yang dinomorsatukan di sini sekarang adalah “karir” dan “profesionalisme”, dan yang dimaksud dengan dua kata yang sudah seperti mantra itu adalah mengumpulkan sebanyak mungkin uang dari keahlian teknis yang maknanya makin disempitkan, menjadi seteknis-teknisnya. Sesudah waktu kita dihabiskan di jalan-jalan raya yang makin tak nyaman dan macet, dengan ongkos hidup yang terus meningkat, hati dan otak kita terus didorong untuk menjauh dari kecintaan pada humaniora, pada novel dan puisi, pada literatur psikologi dan filsafat, yang bisa mempertajam kepekaan kita akan manusia, mempertebal rasa solidaritas kita, sesuatu yang diagungkan dan mencirikan sajak-sajak Chairil. Ketika waktu kita makin sedikit padahal kita terus “dikejar target”, bukankah humaniora makin tampak tak ada manfaatnya, seperti pernah diprediksi Habermas beberapa dekade lalu?

Maka tak enak membaca Chairil hari ini: sementara ia mengagungkan otonomi manusia dan individualitas, Jakarta menuntut agar kita lebih rela tunduk pada orang lain dan lebih individualistis. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seandainya Chairil masih ada di tengah-tengah kita: mungkin dia akan lebih sering diusir mertuanya; mungkin tak ada lagi redaktur sastra yang bisa meminjamkannya uang receh untuk beli tiket busway, sebab sajak- sajaknya tak bisa diterbitkan karena halaman sastra yang makin dikurangi ruang untuk iklan; dan saya ragu apakah dia masih bisa mencuri buku, di tengah mekanisme kontrol toko buku yang sekarang lebih canggih dan satpam yang lebih galak dibanding di masanya.

II.

Merenungkan Chairil di Jakarta hari-hari ini, saya teringat Russell Jacoby. Dalam The Last Intellectuals (1987), guru besar UCLA itu dengan cukup detail menceritakan apa yang disebutnya sebagai “memudarnya intelektual publik” di Amerika di tahun 70-an dan 80-an, dengan berakhirnya generasi Irving Howe, Daniel Bell dan John Kenneth Galbraith. Berbeda dari intelektual publik seperti mereka, kata Jacoby, orang-orang pintar di Amerika belakangan ini umumnya sudah tidak mau lagi hidup sebagai bohemian kota, menghabiskan waktu berdiskusi dan membuat pamflet politik di kafé dan salon, berpikir dalam konteks yang sangat sadar akan hubungan niscaya di antara berbagai disiplin ilmu, dan menulis tentang urusan publik dalam penerbitan yang bisa dibaca oleh kalangan terdidik kota, untuk mencerahkan mereka, berdialog dengan mereka. Alih-alih mengambil risiko hidup bohemian di New York, mereka belakangan lebih suka untuk hidup lebih teratur dan berdisiplin: lebih siap berkeluarga, dengan anak dua saja; tinggal bukan di Manhattan tapi di daerah suburb, yang relatif jauh dari pusat kota tapi dengan harga rumah dan ongkos hidup yang lebih terjangkau; dan menghabiskan akhir pekan dengan mengajak anak mereka nonton televisi atau pertandingan softball di stadion. Politik akademia Amerika, yang juga dibentuk oleh pengagungan akan karir dan profesionalisme, mengharuskan mereka untuk mengejar publikasi di jurnal ilmiah, seraya mengecilkan makna penerbitan publik yang “populer”. Mereka makin jarang pergi ke kafé untuk membahas urusan publik, dan karya mereka makin dicirikan oleh ketakterbacaannya oleh publik dan irrelevansinya dengan hidup sehari-hari.

Apakah saya naif karena hendak membandingkan kehidupan intelektual (kebudayaan) Dunia Kesatu dan Dunia Berkembang? Membaca Jakarta dengan kacamata New York?

Jawabannya: ya dan tidak. Saya tidak naif karena sangat jelas bahwa Jakarta memang mau mengikuti New York. Sayangnya, dan di sinilah saya mungkin terlalu optimistik (dan karenanya naif), sementara Jakarta terus tertatih-tatih mengikuti perkembangan cepat New York, titik berangkat dari mana Jakarta hendak mengejar New York, kondisi faktualnya saat ini, jauh lebih mengenaskan bahkan dibanding New York dua atau tiga dekade lalu, ketika Jacoby menangisi “memudarnya intelektual publik”. Hasil nettonya tragis sekali: sementara kita tak punya jurnal ilmiah keluaran asosiasi profesi ilmu pengetahuan yang bisa dibanggakan bahkan untuk ukuran domestik, dan Prisma yang semi-jurnal itu tak juga ada penggantinya, lembaran kebudayaan kita makin tipis dan seperti kurang menggairahkan para stake-holder-nya sendiri.

Agar maksud saya lebih jelas, izinkan saya sedikit bernostalgia. Ketika membaca sejarah kebudayaan (kesusastraan) negeri ini, saya selalu iri dengan generasi Goenawan Mohamad yang tumbuh diiringi dengan beragam bacaan bermutu seperti karangan Maxim Gorky atau Boris Pasternak, dengan majalah seperti Horison atau Budaya Djaya yang terbit teratur. Di tahun 80- an dan 90-an, saya tak memperoleh kenyamanan seperti itu, sekalipun saya masih bisa bersyukur bahwa dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora ada banyak publikasi bermutu yang dikeluarkan misalnya oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS) atau Seri Filsafat Driyarkara. Yang sekarang menyedihkan adalah: penerbitan dalam kedua genre itu pun makin merosot mutunya. Toko-toko buku Jakarta memang lebih sumringah, tapi etalasenya dipenuhi buku-buku how to dan self-help yang hampir selalu menjadi best-sellers. Para penerbit berargumen: orang-orang Jakarta sudah kehabisan energi untuk membaca karya-karya yang menuntut mereka untuk berpikir!

Sekarang mari kita lihat New York. Sesudah dikritik Jacoby, sementara dosen-dosen muda terus tak peduli dengan kritik itu dan terus berlomba agar artikel mereka dimuat di jurnal ilmiah keluaran asosiasi profesi ilmu pengetahuan, toh kota itu masih punya banyak jurnal bulanan partisan atau semi-partisan yang dengan antusias dipelihara para penjaga gawangnya, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan. Sementara itu, di tengah-tengahnya, masih ada lembar mingguan koran seperti New York Times, selain mingguan New Yorker atau New York Times Book Review, yang bermutu tinggi tapi tetap bisa dibaca oleh publik terdidik sambil minum kopi di gerai Starbucks.

Dus, dalam pertandingan New York versus Jakarta, skor akhir adalah 2-0 untuk kemenangan yang pertama: kita kalah dalam akselerasi, dan karena titik berangkat kita sudah jauh di belakang, jarak antara kita dan penduduk kota Manhattan kini makin lebar. Maka saya duga Chairil tak akan tertarik untuk mengunjungi toko-toko buku di Jakarta hari-hari ini, karena di sana tak ada karya Nietzsche atau Kierkegaard yang menarik diliriknya! Saya kira dia juga akan jarang ke kafé-kafé yang jumlahnya terus meningkat di Jakarta: selain harga kopi di sana belum tentu terjangkau koceknya, tempat itu lebih banyak didatangi bukan oleh sekutu-sekutunya yang sama-sama berkantong tipis, tapi oleh para politisi dan pengusaha yang mempertukarkan kepentingan di luar arena yang sah.

Tapi, mungkin Anda bertanya, bukankah Jakarta juga sedang bergerak menjadi kota metropolitan kelas satu, yang ditandai dengan jumlah pelanggan Internet dan teve kabel yang makin meningkat? Benar. Tapi informasi per se tidak identik dengan sastra, teologi atau filsafat. Merosot atau hilangnya minat kepada humaniora tidak akan bisa digantikan oleh makin membludaknya informasi. Demikian, karena ini bukan soal berapa banyak kita menelan informasi, tetapi soal seberapa dalam kita terlibat dalam urusan manusia. Dalam Chorus from “the Rock”, T. S. Eliot menyinggung soal ini, sambil bertanya-tanya:

Where is the Life we have lost in living?
Where is the Wisdom we have lost in knowledge?
Where is the Knowledge we have lost in information?

III.

Tapi jarak antara Chairil dan kita di Jakarta sekarang bukan saja tampak pada sulitnya sisi bohemian-nya, yang menunjang kepeloporannya sebagai intelektual publik, untuk kita kembangkan hari ini. Kesenjangan yang mencolok juga dapat kita lihat dari apa yang diserukan Chairil untuk kita perbuat, langsung atau tidak, dan apa yang secara aktual kita lakukan. Agar maksud saya bisa saya sampaikan lebih terang, izinkan saya bicara lebih khusus tentang golongan yang paling saya akrabi dan wakili di sini, golongan yang oleh Clifford Geertz disebut kaum Muslim santri di Indonesia – sekalipun dapat dipastikan bahwa sebagian kami akan menolak karakterisasi saya tentang kami dan Chairil berikut ini.

Mari kita mulai dengan yang paling mudah dikenali. Kita tahu bagaimana, dalam sajak- sajaknya, Chairil tampak begitu akrab dengan beragam-ragam agama. Ia bicara tentang Isa (ya, dia menyabutnya “Isa”, bukan “Yesus”) yang berdarah-darah dan umat Yahudi yang menjadi pariah di Eropa. Sajak-sajak itu mencerminkan keakrabannya bukan saja dengan teologi agama- agama di luar Islam, agama yang formal dianutnya, betapapun mungkin tipisnya, tetapi juga dengan sejarah konkret umat agama-agama itu.

Berbanding terbalik dengan keakraban Chairil itu, umumnya kami tak mengenal agama-agama selain agama kami – dan itu pun agama kami menurut aliran kami sendiri. Saya duga inilah sebab mengapa kami sering bersikap dan berperilaku tidak toleran bukan saja kepada penganut agama-agama lain, tapi juga kepada kaum Muslim yang tidak sealiran dengan kami. Bayangkan apa yang akan dikatakan Chairil jika dia ada di Monas, monumen kebanggaan kota Jakarta itu, di pagi hari Minggu 1 Juni 2008 lalu, ketika unjuk rasa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) diserbu sebagian kami yang ingin mengontrol iman manusia, seraya memukuli kaum perempuan dan anak-anak, sambil meneriakkan “Allah Akbar”!

Sementara Chairil, seperti belakangan ditegaskan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, amat bergairah untuk bergumul dengan apa saja hasil kreasi umat manusia di kolong bumi ini, dari belahan Timur dan Barat, sebelum menjadikannya sepenuhnya miliknya sendiri, kami makin sering mengunci diri kami dalam kepompong kami sendiri. Kami tak mau atau diharamkan membaca dan mendengar apa yang dikatakan orang-orang lain yang sudah kami anggap lawan kami, karena dalam apa yang kami sebut era jahiliyah sekarang ini, kami sedang berada dalam ghazw al-fikr (perang ideologi), di mana pikiran-pikiran tertentu sengaja disebarkan untuk meracuni keimanan kami. Saya tak bisa membayangkan bagaimana Chairil akan menertawakan sikap pengecut kami itu, sebuah triumfalisme untuk menutup-nutupi rasa tidak percaya-diri yang parah. Chairil mungkin akan mengolok-olok kami, “Katanya yang tercantik, kok takut bertemu orang lain?”

Dan ketika Chairil memompakan vitalitas hidup dan berteriak “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, sejumlah kami malah ingin menyongsong kematian. Repotnya, itu dilakukan sambil membunuh orang-orang lain. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian lainnya dari kami membela aksi seperti itu sebagai “senjata orang-orang lemah”. Seakan kami lupa bahwa tak ada kebaikan apa pun yang datang dari iman dan ketundukan yang dipaksakan.

Pada titik ini saya sangat iri dengan cara beriman Chairil yang begitu intens berdialog dengan Tuhannya tentang kematian, surga, dan lainnya. Dalam “Surga” (1947), misalnya, dia bersajak:

Seperti ibu – nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di surga
yang kata Masyumi-Muhammadiyah
bersungai susu
dan bertabur bidadari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidadari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Yati

Sekalipun menyebut nama organisasi Islam, dalam sajak itu Chairil sebenarnya sedang bicara tentang sebuah ayat Al-Quran dan satu model tafsir manusia tentang bidadari. Dan di situ ia tak bisa menahan diri untuk tidak mencemooh. Bagi saya, dia sedang menunjukkan sikap keberagamaan yang intens di situ, dengan melibatkan otak dan hatinya. Bukankah semua fakultas yang ada pada dirinya itu juga datang dari Tuhan?

Sebagian kami akan menyebut sikapnya yang sedemikian itu tak senonoh dan bahwa dia bukan penafsir yang kredibel. Meski namanya diambil dari dua kata Arab yang artinya “sebaik-baik cahaya” (khayr al-anwâr), saya duga Chairil memang tak mengerti bahasa Arab. Tapi apakah Tuhan sedemikian bodohnya, begitu tak adilnya, hingga memutuskan baik atau tidaknya keberislaman seseorang dari apakah dia mengerti bahasa Arab atau tidak? Tuhan yang memiliki bias etnis seperti itu, bukankah Dia tak layak mengaku sebagai Tuhan? Dan bukankah soal iman Chairil adalah urusannya sendiri dengan Tuhannya?

 

IV.

Mengapa potretnya begitu kelam? Ini bukan pertanyaan yang cocok untuk dibahas dalam pertemuan yang hendak merayakan Chairil dan kota Jakarta ini.

Tapi saya perlu menegaskan satu hal: arah dan seruan pencarian keagamaan Chairil sebenarnya didukung kuat oleh sejumlah argumen dalam teologi dan sejarah umat Islam yang lain dan berbeda dari yang sudah saya ceritakan di atas. Tiap membaca sajak Chairil, saya selalu teringat Professor Harun Nasution, gurubesar kami dulu di IAIN Jakarta, yang tak kenal lelah mempopulerkan doktrin teologi Mu`tazilah yang dinamis dan sangat mendukung kemerdekaan manusia di depan takdir Tuhan. Sajak-sajak Chairil tentang hidup dan kemerdekaan manusia juga mengingatkan kita pada sajak-sajak Mohammad Iqbal dari Pakistan. Atau pada puisi-puisi Jalaluddin Rumi, tentang cinta dan kedekatan pada Sang Khalik.

Maka, bagi saya, jarak antara Chairil dan kaum Muslim santri di Indonesia adalah sebuah tragedi besar.

Atau kami, golongan santri di Indonesia, sebetulnya tak cukup mengenal Chairil. Perkenalan saya dengan Chairil, umpamanya, terhenti sejak saya masuk ke sebuah pesantren, sesudah lulus SD, di mana saya biasa diminta membaca sajak itu – “Kalau sampai waktuku … Tidak juga kau” – setiap 17 Agustusan. Di pesantren, kami tak diperkenalkan kepada Chairil atau satu pun nama dalam jagad kesusastraan Indonesia. Syukur bahwa belakangan, ketika mahasiswa, saya bertemu dengan teman-teman yang membawa saya berkenalan dengan Chairil.

 

V.

Atau mungkin saya terlalu menyudutkan golongan yang saya sebut “kami” di atas, kaum santri di Indonesia. Jangan-jangan, dulu dan sekarang, Chairil adalah makhluk aneh – yang jarang ada, sulit dipahami, dan tak perlu dicontoh – bukan saja buat kami, tapi juga buat Indonesia secara keseluruhan.

Dalam arah ini, Chairil sebenarnya tak jauh beda dari Sutan Sjahrir yang kebetulan adalah pamannya dan hidup sezaman dengannya. Pada 10 November 1945, ketika para pemuda, dipelopori Bung Tomo, mati-matian perang melawan Belanda, Sang Paman menerbitkan pamflet politiknya yang paling terkenal: Perjuangan Kita. Di situ antara lain dia mengecam para pemuda yang sebenarnya “sangat kebingungan dan ragu-ragu” dan “hanya berpegang pada semboyan Merdeka atau Mati”. Katanya lebih lengkap:

Keadaan psikologis pemuda kita dewasa ini sangat tragis, meskipun semangat mereka berkobar-kobar, mereka sangat kebingungan dan ragu-ragu karena mereka tidak mempunyai pengertian tentang potensi dan perspektif perjuangan yang mereka lakukan… Di antara mereka banyak yang hanya berpegang pada semboyan Merdeka atau Mati. Jika mereka merasakan bahwa merdeka masih jauh dari pasti, dan mereka sendiri belum lagi menghadapi maut, mereka pasti dihinggapi kesangsian dan keragu-raguan….

Jangan-jangan sekarang kita masih berada dalam posisi seperti pemuda dalam penilaian Sjahrir di atas. Makanya kita hanya suka membaca dan menghapalkan sajak-sajak Chairil yang bicara tentang “Merdeka atau Mati”, yang membuat kita mengepalkan tangan ketika membacanya. Bukan sajak-sajaknya yang mengajak kita untuk merenung tentang kemerdekaan manusia dan vitalitas hidup, tentang cinta dan kematian. Apalagi Jakarta hari-hari ini memang bukan tempat yang enak untuk membaca sajak-sajak seperti itu.***

 

Makalah untuk Diskusi “Chairil Anwar dan Kota”, TIM (27 Juni 2008)
Diterbitkan Madina, November 2008

Unduh versi PDF

[wpfilebase tag=file id=50]