Dilema Leila Sang Pembajak

Dilema Leila Sang Pembajak

Feminis barat seringkali menganggap perempuan Islam di Timur Tengah itu pasif, tidak berdaya, dan berada dalam kooptasi laki-laki Muslim yang misoginis sehingga perlu diselamatkan. Leila Khaled melalui aksi-aksinya menunjukkan bahwa ini adalah pola pikir yang keliru. Meskipun kontroversial, ia merupakan bukti bahwa perempuan bisa ikut andil dalam gerakan perjuangan kebebasan negeri yang dicintainya, Palestina. Diskusi kali ini mencakup tiga tema besar yang kental terlihat dari film maupun buku Leila Khaled, yaitu perdebatan apakah Leila dan kawan-kawannya adalah teroris atau pejuang kemerdekaan; Islamisasi isu Palestina; dan agensi perempuan dalam gerakan Islam.

Film dokumenter Leila Khaled: The Hijacker (2006) besutan Lina Makboul dan buku Sarah Irving Leila Khaled: Icon of Palestina Liberations (2012) yang diterjemahkan Marjin Kiri menjelaskan dilema label teroris dan pejuang kemerdekaan yang dialami Leila dan teman-teman di partainya PFLP pada masa itu. Ia dianggap teroris karena membajak pesawat dua kali pada 1969 dan 1970, menebarkan ketakutan, membuat Palestina dikenal dari ‘negara pengungsi’ menjadi ‘negara teroris’. Sementara itu, banyak warga Palestina yang menganggapnya sebagai pahlawan karena berhasil menarik perhatian dunia dan sukses merebut simpati publik. Para aktivis Palestina tidak bisa dianggap teroris karena teroris tidak memiliki penghargaan pada derajat dan nyawa manusia. Leila, seperti yang digambarkan dalam dan film dan buku, berulang kali mengatakan bahwa ia tidak akan menyakiti warga sipil dan hanya berharap ia dapat mendapatkan haknya sebagai warga Palestina dan kembali ke tanah airnya.

Kepopuleran Leila Khaled memantik diskusi lebih lanjut di kalangan aktivis. Sosoknya sebagai perempuan muda dengan paras rupawan seakan menjelaskan kondisi Palestina yang sedemikian parahnya sehingga rela menjadi kombatan. Cara ini juga dianggap kontroversial di kalangan feminis yang menganggap Leila gagal karena menggunakan cara maskulin dalam perjuangannya. Leila memang awalnya tidak peduli dengan perjuangan feminis. Ia berjuang atas nasionalisme bagi seluruh warga Palestina dan bukan gerakan parsial untuk kaum perempuan. Ia kemudian menjadi bagian dari gerakan perempuan di partainya dan terkaget-kaget sendiri dengan kompleksnya perjuangan perempuan. Dari situ ia berjuang untuk mengadvokasikan hak perempuan dalam partai yang selama ini terbatas karena peran perempuan di masyarakat dan tidak disadari oleh teman-teman prianya di partai. Meskipun tampak cuek, ia sendiri mengalami berbagai kendala sebagai aktivis perempuan muda dalam masyarakat patriarkal. Ia sempat dilarang keluar rumah di malam hari untuk ikut rapat organisasi, bajunya disita, dan bahkan disebut sebagai pelacur oleh ibunya sendiri. Hal menarik lain yang dapat dilihat dari sosok Leila Khaled adalah bagaimana Islam dan Marxisme berada dalam dirinya. Kedua hal ini umumnya dianggap bertentangan di Indonesia, padahal banyak pendiri republik Indonesia yang terinspirasi dari pemikiran Islam dan Marxisme, dan tidak ada yang salah dengan itu.

Film dokumenter yang memenangkan berbagai pernghargaan, seperti Grand Jury Award pada Tri Continental Film Festival 2007 dan Best Film Award pada Nojesguiden 2006 ini sangat baik untuk menggambarkan permasalahan Palestina yang sesungguhnya; jauh dari isu agama, melainkan terkait perebutan paksa dan penjajahan Palestina oleh Israel. Perebutan bisa dilakukan dengan membuat hunian legal (legal settlement) milik warga Israel di daerah Palestina atau dengan perebutan paksa dengan kekerasan fisik. Perebutan paksa ini biasa terjadi di malam hari dan sangat berdampak bagi kehidupan perempuan sebagai pengurus rumah tangga utama. Islamisasi isu Palestina diawali ketika Hammas memenangkan pemilu tahun 2004 dan dibungkus dalam kerangka perang Islam melawan bangsa Yahudi, seperti yang terjadi di zaman para nabi.

Padahal, jika ditilik lebih lanjut, terdapat banyak hal yang membuat kasus Palestina tidak se-hitam putih itu. Istri Yasser Arafat sang bapak Bangsa Palestina, misalnya, memiliki istri seorang Kristen dan ia sering memperingati Hari Natal bersama istrinya. Di sisi lain, Noam Chomsky dan Norman Finkelstein, dua intelektual berdarah Yahudi yang tinggal di Amerika, mengkritik habis-habisan tindakan Pemerintah Israel yang menjajah Bangsa Palestina. Finkelstein, dalam bukunya The Holocaust Industry (2014), menyatakan tragedi kemanusiaan yang dialami Bangsa Yahudi semasa Holocaust tidak pantas digunakan sebagai legitimasi untuk menjajah Bangsa Palestina.

Selain itu, diskusi bergulir dengan membahas agensi perempuan dalam gerakan Islam, khususnya salafi-jihadis, yang seringkali kiprahnya tidak terlihat, padahal memiliki peran yang vital. Banyak dari mereka yang aktif dalam pengajian dan menebarkan pandangan salafi dalam keluarga. Peran ini dilakukan bukan hanya bagian dari agenda besar yang dibuat oleh laki-laki dan mereka menjalankan peran kecil untuk membantu perjuangan laki-laki. Sebaliknya, para perempuan menyadari pentingnya kerja mereka dan menganggap hal tersebut sebagai bagian dari emansipasi mereka untuk terlibat dalam sebuah gerakan yang besar.

Nobar dan Diskusi film merupakan kegiatan rutin dengan menampilkan film-film berkualitas yang mengandung nilai-nilai sosial dan politik. Acara juga mengundang narasumber yang kompeten di bidangnya untuk mengajak anak muda untuk lebih peka dan peduli permasalahan sosial politik melalui media yang santai dan menyenangkan seperti film. Nobar April ini dilaksanakan bertepatan memperingati Hari Kartini, dan berdiskusi bersama dua orang narasumber: Pradewi Tri Chatami editor penerbit buku Marjin Kiri sekaligus penerjemah buku Leila Khaled karya Sarah Irving dan Ihsan Ali-Fauzi Direktur PUSAD Paramadina. Acara diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina bersama dengan Kios Ojo Keos, ruang bersama milik keluarga grup band Efek Rumah Kaca, dan penerbit Marjin Kiri pada Kamis, 19 April 2018. ***