Guru Agama, Motor Bina Damai

Guru Agama, Motor Bina Damai

Dimuat di Media Indonesia, 18 Juli 2011

Agama merupakan sumber perdamaian sekaligus sumber pertikaian. Seringkali kita mendengar bahwa agama menjadi alat pendamai di saat dua pihak atau lebih berseteru (Abu-Nimer 2010). Konflik yang diwarnai dengan kekerasan di Poso dan Ambon, misalnya, masing-masing berakhir dengan perjanjian Malino I dan II—kesepakatan yang salah satu unsur penggagasnya berasal dari tokoh Islam dan Kristen di kedua wilayah.

Pun tidak jarang agama dijadikan sebagai alat pembenar oleh seseorang atau sekelompok orang dalam memerangi satu sama lain (Abu-Nimer 2010). Akhir-akhir ini, serentetan peristiwa bom bunuh diri di tanah air menunjukkan betapa rentannya ajaran agama digunakan sebagai fondasi pembenaran atas klaim kelompok-kelompok tertentu dalam mendesakkan kepentingannya.

Sisi gelap agama juga bisa kita saksikan melalui insiden konflik kekerasan antar kelompok agama yang terjadi dalam waktu 12 tahun belakangan ini. Menurut data penelitian kekerasan kolektif di Indonesia (1990-2003), konflik berdasarkan garis pemilah Islam-Kristen adalah konflik paling mematikan dibanding dengan konflik berdasarkan garis pemilah etnis atau konflik antara pemerintah pusat dan kelompok pemberontak (Varshney et al 2010).

Bagaimana guru agama menanggapi kenyataan yang saling bertolak belakang ini? Guru agama dan ajarannya, tanpa mengabaikan arti penting bidang studi lainnya, memiliki peran sentral dalam membentuk moral setiap individu yang pada akhirnya moral ini akan membentuk wajah bangsa Indonesia yang penuh damai atau yang penuh permusuhan.

Berikut ini akan disebutkan beberapa alasan penting mengapa pendidikan agama mempunyai arti khusus dalam membentuk moral individu dan mewujudkan bina damai di masyarakat.

Pertama, pendidikan agama adalah jembatan yang menghubungkan seseorang tidak hanya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya tapi juga menghubungkannya dengan sang Khalik. Kedua, pendidikan agama menjadi nahkoda bagi anak didik dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketiga, pendidikan agama merupakan daya pendorong terciptanya bina damai.

Ketiga alasan ini tidak dimiliki oleh bidang studi lainnya. Ada sejumlah pihak yang berpendapat bahwa pelajaran sosial lainnya seperti PKn bisa berperan sama seperti pendidikan agama, yaitu menjadi pegangan bagi anak didik untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk atau menumbuhkan perdamaian di masyarakat. Akan tetapi, PKn tidak menyediakan tempat bagi peserta didik untuk memenuhi kebutuhan spiritual selain kebutuhan duniawinya.

Atau ada beberapa pihak lainnya yang beranggapan bahwa mata pelajaran eksakta seperti matematika, fisika, dan kimia mempunyai peran lebih unggul daripada pendidikan agama. Mereka memandang bahwa pasar tenaga kerja justru lebih membutuhkan kemampuan berhitung. Namun, apakah konflik yang berbasis agama yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia bisa diselesaikan dengan pelajaran berhitung?

Itu lah mengapa guru agama dan ajaran-ajarannya di sekolah menduduki tempat khusus bagi upaya perdamaian dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Maka dari itu, agama sebagai sumber perdamaian perlu, bahkan harus, guru agama gencarkan melalui pemahaman dan penerapan nilai agama yang mendukung bina damai dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain: keadilan, kesetaraan, pemaafan, kesabaran, toleransi, menghormati, dan menyayangi.

Meski demikian, mewujudkan nilai-nilai baik ini tidak mudah karena sering terbentur dengan berbagai macam kendala yang hingga kini masih dihadapi oleh guru-guru agama. Contohnya, beban kurikulum nasional cenderung memberatkan guru, termasuk guru agama. Mereka sering kerepotan apa yang bisa mereka berikan dan murid terapkan dari pelajaran agama yang hanya dua jam dalam seminggu.

Beban kurikulum pada akhirnya dapat menghambat kreativitas guru agama karena mereka tidak punya cukup ruang untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan materi ajar dan strategi pengajaran yang cocok dengan kebutuhan sosial dan spiritual anak didik. Rangkaian aktivitas belajar-mengajar seperti ini membutuhkan waktu tidak sedikit dan perumusan ulang kurikulum yang lebih realistis.

Belum lagi sikap guru agama yang belum terbuka sepenuhnya terhadap kemajemukan yang ada. Sikap tertutup biasanya mengarah pada ajaran-ajaran yang—dengan atau tanpa disadari—menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda agama.

Masalah lainnya adalah kesejahteraan guru agama, khususnya guru agama di sekolah-sekolah swasta, tidak memadai. Tidak manusiawi kiranya seorang guru agama yang hanya mendapatkan “gaji” sekitar 200 ribu per bulan atau kurang dari jumlah ini dituntut memenuhi beban kurikulum yang sudah cukup memberatkan itu.

Bagaikan seekor kerbau yang tidak makan sehari: sekeras apa pun dorongan pemiliknya supaya kerbau itu membajak sawah, sang kerbau tak kan menggerakkan kakinya barang sejengkal. Artinya: sekukuh apa pun sikap Departemen Agama memotivasi guru agama bekerja lebih serius, hasil akhirnya kemungkinan besar akan sia-sia. Selama terganjal oleh urusan perut, mereka akan sulit tergerak untuk berbenah diri apalagi memikirkan persoalan-persoalan besar menyangkut perdamaian di Indonesia.

Dalam situasi yang problematis seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh guru agama dalam rangka bina damai? Masalah kesejahteraan dan beban kurikulum seperti yang disebutkan di atas bersifat sistemik yang solusinya sangat bergantung pada kemauan pemerintah, dan oleh karena itu penyelesaiannya pun juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Terlepas dari apakah persoalan tersebut bersifat sistemik atau tidak, guru-guru agama harus berpacu mengupayakan kerja-kerja di bidang bina damai mengingat kemajemukan bangsa Indonesia berpotensi menimbulkan konflik kekerasan.

Salah satu pendekatan yang paling memungkinkan untuk mereka coba adalah mengintegrasikan nilai-nilai bina damai ke dalam pelajaran agama. Pendekatan ini tentu saja perlu didukung oleh strategi pengajaran yang sesuai dengan topik pembahasan, kebutuhan anak, dan fasilitas pendukung.

Contoh topik pembahasan yang penting dipahami oleh anak didik dalam konteks masyarakat majemuk adalah toleransi. Pembahasan toleransi tidak hanya sebatas pada toleransi dalam kelompok seagama tapi juga dengan kelompok yang berlainan agama. Topik ini sangat mencerminkan arti bina damai yang mengacu pada individu-individu yang secara aktif menggerakkan perdamaian di masyarakat.

Contoh strategi pengajaran yang mengutamakan aspek pemahaman dan aplikasinya sekaligus murah dan menyenangkan adalah meminta murid mengunjungi keluarga teman mereka yang berbeda agama dan kemudian membuat cerita singkat satu halaman yang berisi bagaimana keluarga tersebut mengembangkan sikap toleransi dalam keluarga dan masyarakat.

Pendekatan lainnya yang juga bisa dilakukan oleh guru agama adalah terlibat aktif dalam membangun sekolah yang damai (peaceable school). Guru agama berinisiatif menjadi salah satu anggota atau mengetuai “komite” yang menggagas, merancang, memonitor, dan mengevaluasi ide sekolah yang damai. Supaya memberikan dampak positif yang menjangkau sekolah secara menyeluruh, ide ini perlu diwujudkan ke dalam bentuk norma, kebijakan, hingga statuta (AD/ART) sekolah untuk memastikan setiap warga sekolah mengimplementasikan nilai-nilai damai dan nirkekerasan di lingkungan sekolah.

Di tengah himpitan berbagai persoalan dan tantangan yang guru-guru agama hadapi, ada secercah harapan bahwa mereka sedikit demi sedikit menunjukkan sikap terbuka terhadap pembaharuan. Sikap ini setidaknya ditunjukkan oleh peserta Kursus Intensif Bina Damai yang diadakan pada tanggal 1-8 Juli 2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) Jakarta dan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM di Yogyakarta. Mereka yang hadir dalam kursus intensif tersebut berjumlah 25 orang guru agama dari SMP dan SMA (swasta/negeri) se-JABODETABEK dan Yogyakarta.

Para peserta mengaku mempelajari hal-hal baru dan menarik yang menurut mereka belum pernah diperoleh sebelumnya. Empat komponen utama kurikulum kursus adalah mengelola kemajemukan, memahami konflik dan kekerasan, mengeksplorasi upaya-upaya bina damai di level individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan mengembangkan peran guru agama dalam bina damai. Kursus intensif ini semakin terasa manfaatnya setelah setiap peserta membuat rancangan kerja pribadi yang rencananya akan mereka lakukan pasca kursus. Misalnya, ada yang berencana berkolaborasi dengan guru yang berbeda agama untuk mengembangkan kurikulum pengajaran agama yang terbuka terhadap segala bentuk perubahan jaman.

Akhirnya, karena sisi gelap agama telah membuat bangsa Indonesia bertikai satu sama lain, sudah menjadi tugas mulia guru agama mengajarkan nilai-nilai bina damai agar penderitaan akibat pertikaian itu tidak terulang kembali di masa mendatang.

 

Titik Firawati
Peneliti di Institute of International Studies (IIS) UGM & Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Dia juga merupakan peneliti lepas pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayawan Wakaf Paramadina