Berislam Gaya Animis

Berislam Gaya Animis

Agama Islam tidak begitu saja menyerapkan suatu ciri kebangsaan secara pasif. Terdapat keterbukaan gagasan baru, toleransi, dan adaptasi sedemikian rupa oleh sebuah kelompok. Seperti pendapat sejumlah peneliti yang melihat di Jawa, bahwa Islam umumnya hanya bagaikan lapisan krem tipis di atas roti yang tebal, terbuat dari Hindu-Budhisme dan mistisme jawa asli yang sudah lama hidup di Indonesia.

Membaca artikel Samsul Maarif, “Being A Muslim in Animistic Ways,” kita diajak melacak sejumlah bukti bahwa Islam dan animisme bisa sepadu-selaras. Islam dan animisme yang kontradiktif tidak terbukti dalam praktik spiritual Ammatoa. Samsul mengamati praktik adat dan Islam dalam satu nafas.

Penelitian ini ingin menjawab praktik keagamaan Amatoa apakah “islamic” atau “animistic”? Argumen yang dibangun Samsul Maarif adalah membantah argumen sebelumnya, sejumlah riset menilai bahwa Islam dan animis adalah hal yang saling bertentangan. Seorang muslim tidak bisa menjadi animis karena akan berkalang bid’ah dan kemusrikan. Pun begitu sebaliknya.

Islam , dan mereka memegang dan mempraktikkan nilai-nila ajaran adat mereka. Identitas kolektif mereka dibangun berdasarkan ikatan-ikatan tradisional dan relasi interpersonal dengan alam, tanah, pohon, gunung, manusia dan sebagainya. Penelusuran atas praktik tersebut yang dibuktikan oleh Samsul bahwa banyak hal terkait soal landasan epistemologis soal animisme yang “Barat-sentris” banyak kategori yang tak dimasukkan, dan tidak dapat menjelaskan fenomena yang dilakukan masyarakat.

Dengan memakai kerangka teori yang dipakai Nurit Bird-David, Samsul menekankan bahwa untuk memahami animisme mesti dipahami sebagai sebuah epistemologi relasional. Samsul setuju pandangan yang menilai bahwa para sarjana barat gagal memahami sebuah komunitas adat karena terdapat keterbatasan dalam melihat epistimologi masyarakat animistik. Sejumlah sarjana barat dianggap memiliki gagasan yang terbatas memaknai apa itu kehidupan manusia adat.

Berdasarkan konsep David tersebut, animisme yang dipakai Samsul adalah dengan menafsirkan praktik kegamaan Ammatoa, terutama yang berhubungan dengan hutan, pohon, tanah, dan hewan. Religiusitas tersebut juga didasarkan pada asumsi bahwa semua mahluk adalah aktor sosial yang sama. Hubungan personal masyarakat Amatoa untuk mengunjungi hutan adalah bagian dari menjaga kesejahteraan. Sistem keagamaan mereka mengharuskan mereka untuk menghormati mahluk lain. Islam bagi masyarakat Ammatoa menjadi sumber pengetahuan untuk memahami dunia interpersonal tersebut. Dalam penelitian ini, Samsul berusaha mengaitkan antara kepribadian adat dan sejumlah ayat-ayat al-Quran.

Memang dalam artikel ini tidak dijelaskan metode dan sumber data penelitian ini diambil. Hanya menguraikan sejumlah pendapat ahli tentang masyarakat adat dan mencocokannya dengan sejumlah ayat al-Quran. Barangkali karena memang tulisan ini bagaian dari tulisan utuh lainnya. Jika melihat referensi yang dikutip, kebanyakan Samsul memakai teori sejumlah hasil riset etnografi.

Dalam mengawali pembahasannya, Samsul memaparkan pandangan para ahli mengenai konsep “baru” anismisme yang memandang konsep dasar tentang diri tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga mencakup selain manusia: tanah, hutan, pohon, hewan, dan lain-lain. Ayat-ayat al-Quran juga memperkenalkan adanya konsep diri bagi selain manusia. Baru kemudian dibahas mengenai praktik-praktik masyarakat Amatoa, seperti masuk hutan, menolak instalasi listrik, dan lainnya. Semua itu diangap menjadi tanggung jawab moral yang bermanfaat bagi kehidupan, baik bagi manusia maupun selain manusia dalam konteks hubungan interpersonal.

 Mendefinisakan Kepribadian Adat

Samsul mengritik pendekatan sarjana barat kebanyakan yang hanya melihat sisi manusianya saja. Dalam mendefinisikan kepribadian adat ini, misalnya, Samsul mengutip Hallowel, Morrison, dan Bird-David, yang memaknai kepribadian tak hanya sebatas pada manusia belaka tapi juga terkait dengan non-manusia seperti batu, petir, gunung, pohon dan sebagainya. Kebaikan dimaknai tak hanya pada manusia tapi juga non-manusia. Sebuah interaksi interpersonal ingin dimaknai secara utuh dalam penelitian ini.

Senada dengan hal tersebut, Samsul mengutip Morrison, yang mengembangkan konsep orang, tenaga, dan imbalan adalah hal yang saling terkait dalam memaknai hubungan antara manusia dan non-manusia. Intensionalitas seseorang didasari pada: keinginan, kebutuhan, tidak mementingkan diri sendiri dan lainnya.

Morrison menunjukkan bahwa orang Ojibwa melihat hewan, tumbuhan, matahari, bulan, dan bintang-bintang, dan bahkan ‘benda’ sebagai orang karena mereka berperilaku seperti manusia. Morrison ingin menunjukkan bahwa hubungan interpersonal antara makhluk adalah sumber kekuatan. Karena itu, mengakui orang lain dan menjalin hubungan dengan mereka diperlukan.

Samsul kemudian membandingkan bagaimana kepribadian non-manusia tersebut dengan al-Quran. Diakui oleh Samsul bahwa pespektif animistik dalam al-Quran adalah kontroversial. Mesipun begitu, perspektif kepribadian animistik lazim dalam Quran.

Banyak ulama Islam berasumsi bahwa manusia lebih baik dari atau unggul daripada makhluk lain. Asumsi ini membatasi kepribadian hanya manusia. Misalnya dalam Quran menggambarkan manusia sebagai menempati khusus dan status istimewa. Mengacu pada ayat-ayat Alquran yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk terbaik (95: 4), hewan untuk manfaat manusia (22: 65; 16: 5-8, 12, 14; 6: 142), makan daging hewan diperbolehkan (5: 1; 6: 145; 16: 5, 66; 40: 79), dan menyembelih hewan halal (5: 3; 2: 173; 6: 145).

Selain itu, riset ini juga menjelaskan bahwa Quran berulang kali menyebutkan kata-kata faḍḍalnā (kita membuat mereka untuk unggul yang lain), karramnā (kita membuat mereka lebih ramah), ja’ala lakum (kami menciptakan mereka untuk Anda), ḥamalnā (kami membawa mereka untuk Anda), dan sejenisnya yang memosisikan superioritas kekuasaan manusia.

Praktik Animis Ammatoa

Samsul berpendapat bahwa Islam dan animisme mencakup anyak hal termasuk praktik adatnya. Setelah membahas perspektif Alquran yang sesuai dengan adat, dia menjelaskan beberapa kegiatan masyarakat Ammatoans yang etnosentris (percaya roh), yang diklaim ulama bukan bagian dari Islam.

Sejumlah kegiatan Ammato sendiri beragam; ada yang individual maupun kolektif. Acara-acara kolektif biasanya dilakukan ketika terjadi dalam ritual: 1) Pangan Roang, sebuah doa ketika panen gagal, kekeringan, atau ketika ada seseorang yang berprilaku melampaui adat. 2) Possi’tana sapo, sebuah ritual dihutan setelah mengalami panen. 3) Dallek Mbuak, sebuah ritual ketika ada kelahiran bayi, sunatan, pernikahan, atau pemakaman. Dalam semua ritual, pembacaan tradisi lisan (Pasang ri Kajang) menjadi elemen fundamental.

Layakya masyarakat desa biasa, untuk individu, kegiatan kehidupan sehari-hari mereka terdiri dari bekerja di lapangan, memancing di laut, bagi sejumlah wanitanya memasak dan menenun kain. Mereka kerap menyanyikan tembang-tembang tradisi lisan mereka, dan mengenakan pakaian seragam hitam setiap hari.

Samsul melihat bahwa hubungan dengan alam dan roh bukanlah praktik yang bertentangan dengan Islam. Praktik “animisme” dimaknai sebagai hubungan antar pribadi yang sejalan dengan ayat Quran sebagaimana diuraikan di atas. Panganroang (doa) ritual yang dilakukan ditafsirkan sebagai cara masyarakat Ammatoa berhubungan dan berinteraksi (tidak menyembah) dengan makhluk non-manusia.

Sejumlah musibah, seperti kemarau panjang adalah karena ulah manusia. Maka masyarakat Ammatoa mengunjungi hutan untuk menegosiasikan hubungan dua belah pihak. Hutan bagi Ammatoa adalah sumber kehidupan. Tak ada boleh pihak manapun menebang sembarangan, mengambil buah semena-mena, membunuh hewan, kecuali memang menjadi haknya.

Samsul tidak melihat kegiatan ini sebagai pemujaan terhadap roh atau arwah gaib tapi sebagai konsep berbagi kesejahteraan dengan liyan. Keseimbangan kosmis dimaknai masyarakat lewat memberikan sesaji di hutan. Dengan meninggalkan makanan hasil bumi mereka di hutan, menganggap hutan sebagai pihak yang harus dibagi. “kita meninggalkan mereka untuk hutan, sehingga kita bisa mendapatkan imbalan dari hutan.”

Praktik lain yang juga disorot dalam riset ini adalah prosesi menghadap matahari. Ritual kelahiran disebut matahari terbit (dallembuak) dan pemakaman disebut sunset (dallek Sakra). Matahari terbit dan terbenam dipandang sebagai bahwa matahari adalah yang mencerahkan, guru yang menerangi. Selain itu, ternak juga dimaknai sebagai kerabat manusia. Beberapa praktik sosial dan kekerabatan lainnya diulas mendalam dalam riset ini.

Kesimpulan

Tesis utama artikel ini adalah mengungkap hubungan kosmologi interpersonal masyarakat Ammatoa menumbuhkan sikap: jujur, konsisten, persisten. Sebuah praktik yang baik dalam kaitannya berhubungan dengan mahluk lain. Bagi masyarakat Ammmatoa tak ada beda antara pengetahuan dan praktik. Gagasan ini selaras dengan al-Quran ayat 61: 3.

Masyarakat Ammatoa mendisiplinkan diri untuk terlibat hubungan interpersonal yang menghasilkan kesejahteraan, baik pada manusia dan non-manusia. Kedisiplinan tersebut dijalankan lewat interaksi dan perjumpaan dengan makhluk lainnya. Misalnya melalui interaksi dan pertemuan (lewat kunjungan, nyanyian, atau ritual), mereka menumbuhkan saling pengakuan dan memahami hak-hak yang lain dan menumbuhkan tanggungjawab bersama.

Perjumpaan masyarakat Ammatoa dengan Islam sejak abad 17 tidak melunturkan praktik adat mereka. Mereka mengaku Islam, namun juga tetap melakukan praktik ritual adatnya. Anak-anak mereka juga mendapatkan didikan di sekolah tentang al-Quran. Kasus Ammatoa ini menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi animis, dan di saat yang sama juga menjadi muslim sekaligus. Sebuah animisme baru yang saling melengkapi dengan Islam.

Artikel ini berkontribusi terhada studi Islam di Indonesia. Cara pandang baru terhadap animisme ditawarkan oleh Samsul Maarif. Sejumlah kelemahan penelitian sebelumnya digugat dengan sejumlah fakta baru yang kuat. Selain itu, sejumlah penafsiran bagaimana Islam dan animis kompatible juga patut dihargai. Penjelasan mengenai konsep al-Quran dan penghormatan pada manusia dan alam diulas cukup mendalam. Banyaknya komunitas adat yang berkembang di Indonesia tentu bisa dipotret dari model pendekatan penelitian model ini.

Lalu debatnya kemudian adalah lalu cara ber-islam yang mana? Samsul Maarif memang tidak memakai termonilogi agama-agama “biasa” karena terdapat pemaknaan yang cukup komplek atas sebuah sebuah praktik ritual. Dari luar saja memang tidak cukup bisa menjelaskan lapisan-lapisan kepercayaan sebuah masyarakat. Pertanyaan yang juga muncul adalah bagaimana dengan praktik masyarakat Ammatoa dengan hukum-hukum syari’ah lainnya yang dilakukan, selain menghormati alam dan lain sebagainya, mewarnai debat berikutya.

Keterbatasan studi ini hanya menjelaskan aspek Ammatoa pada penghormatan alam dan hubungan antar kemanusian saja. Samsul membandingkan praktik adat, pemaknaan sebuah “ritual” dengan ajaran al-Quran. Penelitian ini kurang masuk lebih jauh melihat bagaimana “keimanan” Ammatoa, seperti melihat parktik mereka dalam menjalankan syarat rukun Islam dan rukun Iman lainnya. Misalnya seberapa taat solat lima waktu mereka, bayar zakat, dan seterusnya. Kehidupan keseharian “keislaman” masyarakat Ammatoa mestinya dipotret secara menyeluruh.

Di sisi lain, Samsul Maarif sudah berjasa membeberkan cara pandang baru dalam melihat sebuah animisme. Pendekatan ini penting dalam melihat dan memososikan masyarakat adat dalam kerangka advokasinya. Rencana pemerintah dalam membuat RUU PUB (Perlindungan Umat beragama) patut mempertimbangkan hasil riset Samsul ini agar tak salah melangkah.***