Melawan Stigma: Respon Afro-Amerika terhadap Stigmatisasi

Melawan Stigma: Respon Afro-Amerika terhadap Stigmatisasi

Separuh abad berlalu sejak kebijakan segregasi, kelompok Afro-Amerika masih mendapatkan stigma negatif dari kelompok kulit putih. Ada banyak penelitian mengenai stigma. Para psikolog sosial melakukan penelitian mengenai bagaimana mereka mekanisme intra-psikologis dalam mengatasi stigma/perlakuan rasis (di antaranya Crocker, Major dan Steele 1998; Clark et al. 1999; Pinel 1999; Oyserman dan Swim 2001). Ilmuwan sosial, terutama sosiolog, melihat bagaimana komunitas ini merespon stigma (lihat misalnya, McAdam 1988; Frederick 2003; Harris-Lacewell 2004; Feagin 1991; Feagin dan Sikes 1994; Anderson 1999; Lacy 2007).

Michele Lamont, Crystal Fleming, dan Jessica Welburn berupaya untuk mendapat apa yang selama ini dilewatkan psikologi sosial maupun sosiologi: survey sistematis mengenai respon Afro-Amerika terhadap stigmatisasi. Studi ini ingin menjawab tiga pertanyaan: Bagaimana afro-amerika merespon stigmatisasi? Apa makna dari masing-masing pilihan? Apa respon yang dianggap terbaik dalam menghadapi stigmatisasi?

Pertanyaan tersebut dibahas dalam diskusi RISOS pada Selasa, 16 Juni 2015 di kantor Pusad Paramadina dengan membahas artikel dari Lamont, Welburn dan Fleming yang berjudul African Americans Respond to Stigmatization: The Meanings And Salience of Confronting, Deflecting Conflict, Educating The Ignorant And ‘Managing The Self.’

Penelitian ini meggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara terbuka selama dua jam pada 150 responden dari beragam latarbelakang. Responden terdiri dari mereka yang lahir di Amerika atau setidaknya telah tinggal selama lima tahun di sana, dengan demikian penelitian mengecualikan generasi pertama dan kedua dari imigran. Wilayah yang mereka pilih untuk mendapat responden adalah beberapa kota kecil di kawasan New Jersey, New York, seperti Patterson, Irvington, South Plainfield and South Orange.

Wawancara kemudian ditranskrip dan diolah datanya dengan perangkat lunak untuk menangkap pola dari data. Pertanyaan kunci terdiri dari: (1) pendekatan terbaik menghadapi rasisme, lepas dari konteks; (2) respon terhadap insiden tertentu; (3) pelajaran yang diturunkan pada anak-anak mengenai penanggulangan rasisme; (4) pandangan terhadap instrumen yang digunakan kelompok dalam memperbaiki situasi; (5) reaksi terhadap daftar strategi spesifik.

Temuan dari penelitin tersebut, terdapat tiga macam pengalaman yang berkaitan dengan stigma: over-scrutinized, misunderstood, dan disrespected. Para responden mengutarakan perasaan mereka diperlakukan berbeda dari rekan-rekan kulit putihnya dalam lingkup ruang kerja. Mereka merasa mereka lebih diawasi, kerap disalahpahami, dan kurang dihargai. Untuk menghadapi perlakuan tak mengenakkan tersebut, ada dua macam modalitas yang mereka gunakan: konfrontasi atau pengelakkan.

Melalui konfrontasi, mereka menantang perlakuan-perlakuan tersebut secara langsung, sedangkan dalam pengelakkan, mereka cenderung menepis masalah tersebut atau melakukan strategi campuran. Selanjutnya, supaya memperoleh pengakuan, mereka mempunya dua jalan: edukasi dan pengendalian diri. Edukasi mereka lakukan dengan memberitahu kesalahan-kesalahan perseptual yang diberlakukan atas mereka dan merugikan mereka. Sedangkan dalam pengendalian diri, mereka menahan diri bahkan mencoba jalan konformitas agar tidak terpancing dalam konfrontasi.

Menurut Irma, lokasi yang dipilih untuk mendapatkan responden adalah kota kecil dengan penduduk mayoritas dari kulit hitam dan kelas menengah ke bawah. Irsyad menyoroti penggunaan klasifikasi yang kurang jelas dari Lamont dkk. Ia juga melihat kemungkinan-kemungkinan penelitian lain yang lebih menarik, misalnya bagaimana respon terhadap stigma dapat menguatkan/melemahkan batas-batas simbolik dalam suatu kelompok.

Diskusan lain mempertimbangkan apakah penelitian ini dapat dipakai untuk kelompok-kelompok agama minoritas di Indonesia, namun Ayu mempertanyakan sejauh mana relevansi antara kelompok Afro-Amerika dengan kelompok Ahmadiyah, misalnya, dalam merespon stigma? Hal ini menjadi tantangan karena etnisitas adalah sesuatu yang kentara sehingga seseorang dapat diperlakukan berbeda bahkan jika mereka baru bertemu pertama kali, sedangkan seorang penganut aliran tertentu dalam suatu agama tak secara langsung terlihat perbedaannya.

Penelitian ini memberikan sumbangsih bagi pengetahuan mengenai ragam cara dan modalitas menghadapi stigmatisasi, bahkan dalam pengalaman sehari-hari dan laku yang subtil. [Pradewi TC]