Meneliti Kekerasan Komunal di Indonesia

Meneliti Kekerasan Komunal di Indonesia

Konflik kekerasan antar-agama menandai masa transisi demokrasi di Indonesia. Di antara yang paling berkepanjangan adalah di Poso, Sulawesi Tengah. Dave McRae, peneliti senior di Asia Institute, Faculty of Arts, University of Melbourne, meneliti konflik ini selama sepuluh tahun, bahkan ketika konflik masih berlangsung. Hasil penelitian yang berawal dari disertasi ini telah dibukukan dan terjemahan bahasa Indonesianya terbit pada Desember ini.

Dalam rangka meramaikan peluncuran bukunya tersebut, PUSAD Paramadina mengundang McRae untuk membagikan pengalamannya dalam menjalankan penelitian disertasi yang kemudian menjadi buku itu. Diskusi dipandu oleh Ihsan Ali-Fauzi, Direktur PUSAD Paramadina. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa dan peneliti muda, tapi ada juga beberapa wartawan dan aktivis lembaga swadaya masyarakat.

McRae mengawali paparannya dengan menceritakan awal mula ketertarikannya untuk meneliti konflik di Poso. Sebagai peneliti Bank Dunia untuk isu konflik di Indonesia, ketika itu McRae mengamati sedikit sekali pemberitaan nasional mengenai konflik Poso. Dia juga melihat bahwa studi-studi konflik di Indonesia lebih banyak dilakukan di level makro. Karena itu dia memutuskan untuk meneliti dinamika konflik di Poso secara khusus.

Proses penelitiannya diceritakan McRae secara runtut, mulai dari penyusunan disertasi hingga penyuntingannya menjadi buku. Untuk disertasi, desain riset menurutnya sangat penting sebagai panduan, tetapi bukan berarti kita mesti memaksakan temuan kita agar sesuai dengannya. Ia mesti terbuka pada perubahan dan desain riset yang kokoh sering kali baru diperoleh setelah mengalami perubahan berkali-kali.

McRae juga menyinggung soal perbedaan antara disertasi dengan buku. Dia menilai penulisan disertasi lebih terstruktur tapi di saat yang sama juga lebih leluasa karena tidak harus mempertimbangkan pembaca. Berbeda halnya dengan buku. Dia misalnya mesti memikirkan apakah bukunya akan ditujukan untuk ilmuwan politik atau sejarawan. Tapi baik disertasi maupun buku, menurutnya masukan pembimbing dan editor sama-sama penting.

Soal sumber data dan kiat-kiat melakukan penelitian di wilayah konflik dibahas lebih mendalam. Di antaranya adalah bagaimana melakukan wawancara yang efektif, membandingkannya dengan sumber data lain seperti video dan dokumen kepolisian, memetakan lokasi-lokasi konflik, dan sebagainya.

Dalam menggali data-data itu, keamanan peneliti menurutnya menjadi prioritas nomor satu, sedangkan penelitian hanya nomor sekian. Jika data sulit atau terlalu beresiko untuk diperoleh, maka jangan memaksakan diri. Peneliti konflik memang harus gigih dan pantang menyerah, tapi dia juga harus kreatif dan inovatif. Cari cara lain atau sumber data lain.

Terkait soal keamanan, isu orang dalam dan orang luar dalam menjadi salah satu topik yang menjadi sorotan peserta diskusi. Kata seorang peserta, jangankan warga negara asing seperti McRae, orang dari luar daerah saja sulit sekali mendapat akses kepada warga Poso. Namun demikian, Ihsan Ali-Fauzi menilai bahwa akses tersebut seringkali tergantung pada kemampuan peneliti, bukan asal daerahnya. Menurutnya, Ben Anderson, Indonesianis kawakan, boleh jadi lebih mampu memahami orang Jawa ketimbang dirinya.

Pembahasan soal metodologi ini ternyata sulit dilepaskan dari isi atau temuan penelitian McRae. Beberapa kali peserta mengajukan pertanyaan yang terkait dengan argumen bukunya. Misalnya apakah transformasi konflik dipengaruhi oleh pengorganisasian kekerasan, atau sebaliknya, pengorganisasian kekerasan dipengaruhi oleh perubahan konteks. Namun McRae menjawab dengan sekedarnya dan meminta peserta membaca bukunya dan menghadiri diskusi khusus tentang isi bukunya dalam acara peluncuran resmi yang baru akan dilakukan keesokan harinya.***