Mengadili Keyakinan di Indonesia

Mengadili Keyakinan di Indonesia

Sejak 2005, Amnesty International mencatat setidaknya 106 individu di Indonesia diadili dan dijatuhi hukuman karena dianggap menodai agama. Mereka kebanyakan berasal dari minoritas keagamaan atau ekspresi keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang diakui secara resmi. Jumlah ini beda jauh dengan masa Orde Baru (1966-1998), hanya sekitar sepuluh individu diadili dan dijatuhi hukuman karena penodaaan agama.

Demikian Direktur Amnesty International Asia Tenggara Rupert Abbott menyampaikan laporan terbaru Amnesty International Persecuting Beliefs: Indonesia’s Blasphemy Laws dalam seminar “Blasphemy Laws di Indonesia” Senin lalu (17/11/2014) di Paramadina Graduate School Jakarta. Ia juga menyerukan supaya pemerintah Indonesia mencabut semua aturan atau undang-undang yang membatasi kebebasan beragama.

Acara ini terselenggara atas kerjasama Amnesty International dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Selain Rupert Abbott, acara ini menghadirkan Alexander Aan (Perwakilan Korban), Alissa Wahid (Aktivis Gusdurian), Muhammad Nurkhoiron (Komnas HAM), dan Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) sebagai narasumber. Sekitar empat puluhan peserta dari awak media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam dan luar negeri, serta mahasiswa menghadiri acara ini.

Blasphemy Laws atau undang-undang penodaan agama di Indonesia termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama. Undang-undang ini memungkinkan individu yang dianggap menodai agama dipenjara maksimal lima tahun. Belakangan, undang-undang ini juga menginspirasi ketentuan yang serupa dalam undang-undang lain yang baru disahkan, termasuk UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Salah satu korban dari undang-undang di atas adalah Alexander Aan. Ia dituduh sebagai ateis. Ia juga dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad ketika menulis pernyataan dan menaruh gambar di Facebook pribadinya dan di grup “Minang Atheist”. Pada 14 Juni 2012, ia divonis penjara dua setengah tahun dan denda seratus juta rupiah oleh pengadilan Sumatera Barat karena melanggar UU ITE.

Di acara ini Alexander Aan tak banyak cerita tentang kasus yang pernah dialaminya. Tetapi, seraya meyakinkan para peserta diskusi, ia mengatakan bahwa tidak cukup hanya sekedar seminar jika kita ingin mengubah kondisi kebebasan beragama di Indonesia. “Tidak berhenti di seminar, kita perlu aksi,” katanya.

Undang-undang lain yang juga disorot dalam acara ini adalah Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).  Oleh Alissa Wahid, undang-undang ini dipandang ikut berkontribusi pada kerumitan kebebasan beragama di Indonesia. Katanya “Undang-Undang Adminduk hanya mengakui enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu-pen). Di luar enam agama itu tidak diakui.”

Putri dari Mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini juga menyoroti peran polisi dalam mengelola keragaman di Indonesia. Menurutnya, polisi tidak menegakkan hukum. Polisi lebih berperan pada rekonsiliasi konflik. “Karena polisi lebih memilih berperan sebagai rekonsiliasi konflik ketimbang penegak hukum, maka kelompok minoritas sering dikorbankan. Dikorbankan karena mereka dianggap sebagai penyulut konflik.”

Menyambung pembicaraan Alissa Wahid, Muhammad Nurkhoiron mengatakan bahwa Polri sudah memasukkan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Meski demikian, ia menilai bahwa di level perilaku, Polri belum menerapkan Perkap ini.

“Polri dalam menangani kasus kebebasan beragama masih melihat aspek minoritas dan mayoritas. Polri juga masih bingung menempatkan prosedur penegakan hak asasi manusia dalam kasus ini.”

Pembicara terakhir, Ihsan Ali-Fauzi mendorong Amnesty International supaya melibatkan masyarakat dalam mengadvokasi kebebasan beragama di Indonesia. Menurutnya, Amnesty perlu mengajak Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk mendorong negara menegakkan HAM.

Ihsan sempat menunjukkan buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia kepada para peserta. Buku ini merupakan hasil penelitian terbaru PUSAD Paramadina. Melalui buku ini, ia mengatakan bahwa ada praktik baik dan buruk dalam pemolisian konflik agama. Praktik baik bisa kita lihat, misalnya di kasus konflik Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, dan Syiah di Bangil, Jawa Timur.

Dosen Paramadina ini juga menyinggung salah satu temuan buku ini bahwa HAM saja tidak cukup untuk menumbuhkan praktek pemolisian yang baik. “Polri bisa bekerja dengan baik jika didukung dengan sikap imparsial dari pihak-pihak luar Polri, misalnya Bupati, Departemen Agama, dan FKUB.”

Setelah sesi tanya jawab, acara diakhiri dengan pengambilan foto bersama. Foto bukan untuk dokumentasi kenang-kenangan seminar. Tapi sebagai bentuk aksi melawan pemidanaan kebebasan beragama. Di dalam foto para peserta memegang kertas bertuliskan “Bebaskan Tajul Muluk”.