Mengatasi Kendala, Memperkuat Sumberdaya FKUB

Mengatasi Kendala, Memperkuat Sumberdaya FKUB

Keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai agen penting dalam mengelola kerukunan jarang diperhatikan banyak orang. Untuk itu, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina menggelar seminar mengangkat tema “Memperkuat Mutu Demokrasi di Indonesia: Meninjau Peran Forum Kerukunan Umat Beragama” di Jakarta (28/06/18). Hadir dalam diskusi perwakilan dari Kantor Staf Presiden, Kementrian Agama, Bappenas, pengurus FKUB dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), membahas peran strategis dan kendala yang dihadapi lembaga yang tersebar di provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tersebut.

Diskusi dibagi dalam dua sesi, dengan menghadirkan narasumber: Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Ferimeldi, Ketua FKUB DKI Jakarta Ahmad Syafii Mufid, Ketua FKUB Kalimantan Barat Ismail Ruslan, FKUB Provinsi Kalimantan Selatan Noorhalis Madjid, Country Representatif The Asia Foundation Sandra Hamid, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi dan Peneliti PUSAD Paramadina Irsyad Rafsadie.

Menurut Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi, selama ini pengetahuan mengenai FKUB belum banyak tersedia, sehingga dukungan publik kepada lembaga ini masih kurang. Padahal, salah satu aktor yang potensial memainkan peran strategis untuk membenahi masalah-masalah konflik keagamaan adalah Forum Kerukunan Umat Beragama. Peran lembaga ini diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006.

Berdasar hasil riset PUSAD Paramadina terkait peran mediasi FKUB di empat kota: Masjid Nur Musafir, Kupang; Sengketa lahan dan pengabenan, Lombok Barat; Penutupan gereja, Gunung Kidul; dan Pengungsi Syiah Sampang, Sidoarjo, menilai FKUB adalah pihak yang dilibatkan dalam penanganan konflik. Perannya bervariasi: sangat penting (Lombok Barat) atau cukup penting (Kupang dan DIY), tapi sama sekali tidak penting (pengungsi Syiah di Jawa Timur). Dalam semua kasus berhasil, hak-hak minoritas situasinya membaik. Dukungan kelompok masyarakat dan pemerintah menjadi kunci keberhasilan penanganannya.

Ditegaskan oleh Ferimeldi, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI, bahwa saat ini FKUB telah terbentuk di 34 Provinsi di Indonesia dan 512 Kabupaten dan Kota. “Selama ini ketika terjadi konflik di daerah, FKUB yang pertama kami hubungi. Padahal selama ini mereka bekerja tidak ada gajinya. Maka kami membuat pelatihan dalam mengembangkan kapasitasnya,” ungkap Feri. Selama ini Kemenag banyak membuat sejumlah kegiatan dan selalu disambut dengan antusias oleh FKUB di daerah. Dampaknya, mereka merasa diperhatikan dan adanya peningkatan pengetahuan, papar Ferimeldi.

Pengalaman menghadapi politisasi agama dalam gejolak politik Pilkada diungkapkan Ketua FKUB DKI Jakarta Syafii Mufid. “Paling berat FKUB DKI Jakarta hadapi adalah ketika pemilihan Gubernur pada tahun 2012 dan 2017 lalu. Prasangka dan sterotipe berkembang bersamaan dengan memanasnya situasi politik di Jakarta,” ungkap Syafii. Forum Kerukunan Umat Beragama DKI Jakarta menilai bahwa perkembangan sosial politik, khususnya demokrasi di Jakarta sejak tahun 2012 hingga 2015 menjadi semakin memanas dan berdampak ke daerah-daerah lain.

Hal senada diungkap Ismail Ruslan, Ketua FKUB Kalbar, yang melihat pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan 14 Kabupaten/Kota kurang memiliki komitmen kuat terhadap kerukunan di Kalimantan Barat dengan tidak mengalokasikan anggaran untuk FKUB. “Kami menghadapi situasi agak rumit dalam enam bulan terakhir. Di tengah ketiadaan dana, isu keagamaan dan etnis bergulir di tengah masyarakat saat Pilkada berlangsung. Polri dan Bawaslu bahkan mengkategorikan Kalbar sebagai zona merah, atau daerah rawan terhadap konflik menjelang Pilkada.

Namun, di sisi lain, praktik baik FKUB diungkapkan oleh Noorhalis Majid, Ketua Bidang Dialog FKUB Kalimantan Selatan. “Saya percaya bahwa eksistensi lembaga ditentukan oleh orang, figur, atau pengurus yang mengelolanya. Maka memperkuat peran FKUB dimulai dari memperkuat para pengelolanya,” ungkap Noorhalis. Hal tersebut ia buktikan di FKUB Kalimantan Selatan dengan membuat banyak kegiatan di masyarakat dengan menempatkan berbagai isu sosial kemasyarakatan, mulai dari isu ekonomi, budaya, lingkungan hidup, demokrasi, dan keadilan gender. Noorhalis membuat ekspo religi tahunan, membuat desa kerukunan, memberdayakan komunitas Pelangi dalam memperkuat ekonomi kaum perempuan, dan lain-lain.

Masukan lainnya dari Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati yang menekankan anggota FKUB harus memiliki wawasan toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Biar tidak ada kerukunan semua dan bias mayoritas,” tegas Asfinawati. Ia merekomendasikan perlunya meninjau ulang peran FKUB, minimal memperjelas bentuk dan fungsi rekomendasi FKUB dalam pendirian rumah ibadat.

Sementara dalam memastikan kelancaran tugas pemeliharaan kerukunan dan penanganan konflik keagamaan, peneliti PUSAD Paramadina Irsyad Rafsadie menekankan perlunya terobosan kebijakan. Penguatan kapasitas mediasi dan pengelolaan konflik bagi anggota FKUB diperlukan sebagai upaya memperkuat sumberdaya dan mengatasi kendala yang ada. Selama ini FKUB mengelami sejumlah kendala terkait mandat dan peran yang terbatas, kompetensi, kapasitas yang terbatas, dukungan finansial yang kurang, koordinasi internal dan eksternal yang lemah, sistem pengambilan keputusan dan akuntabilitas lembaga.

Di satu sisi, berdasar hasil riset PUSAD Paramadina menunjukkan bahwa di antara aktor yang potensial memainkan peran strategis untuk membenahi masalah-masalah konflik keagamaan adalah FKUB. Lembaga kemasyarakatan yang tersebar di provinsi dan kabupaten ini dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.***