Mengenang Izetbegovic

Mengenang Izetbegovic

Alija Ali Izetbegovic, Bapak pendiri dan bekas Presiden Bosnia Herzegovina, wafat akibat serangan jantung, 19 Oktober 2003 lalu. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Kosevo, Sarajevo, yang masih compang-camping akibat perang. Setelah Edward Said juga wafat bulan lalu, dunia kembali kehilangan figur penting yang menjadi jembatan bagi apa yang sudah lama kita kenal secara salah kaprah sebagai “Timur” dan “Barat.”

Tentu saja salah kaprah: barat atawa timur dilihat dari mana? Siapa pula yang punya hak untuk menentukan dari sini atau sanalah arah ditentukan? Kata Said dalam Orientalism, semua ini hanya imaginative geography, yang dibikin pada waktu dan untuk kepentingan tertentu. Tapi itu juga bisa mematikan: karenanya orang, dan identitas, lalu difiksasi menurut batas geografis yang sesungguhnya imaginatif itu, kemudian dominasi politik dikenakan atasnya. Begitulah “Timur” dulu dibentuk oleh “Barat,” sebagai ceruk peradaban yang stagnan, terbelakang, eksotis dengan perempuan dan onta, dan karenanya layak dijajah, diadabkan, diberi pelajaran “adab.”

Yugoslavia sepeninggalan Bapak Besar Tito amat rentan oleh politik fiksasi-untuk-dominasi itu. Di awal 1990-an, maniak kekuasaan yang paham benar bagaimana memanipulasi politik identitas itu bernama Slobodan Milosevic. Doktor psikologi itu jago mengolah mental rakyatnyanya, untuk menggelorakan chauvinisme Serbia Raya: bahwa mereka, orang-orang Serbia, harus membersihkan etnis Muslim Bosnia. Untuk itu sejarah ditulis kembali, masa lalu multikulturalisme digelapkan.

Izetbegovic, yang mencoba mengelak dari pengkotakan seperti itu, menjadi korbannya. Ia dituduh pemimpin fundamentalis seperti Khomeini, yang ingin mendirikan negara Islam. Seruannya untuk sebuah negara yang multikultural dilecehkan. Aneksasi Turki Usmani ke Balkan di abad lampau diungkap kembali, untuk membunuh bayi-bayi yang masih ada dalam perut ibu Muslim mereka.

Izetbegovic jauh dari gambaran itu. Ia memang aktivis Muslim yang taat dan untuk alasan itu ia dipenjara dua kali oleh rezim Komunis (1946-1948 dan 1983-1988). Tapi apa yang salah dengan menyuarakan Islam untuk menentang totalitarianisme? Khususnya jika Izetbegovic melakukannya persis ketika orang-orang seperti Rodovan Karadcik dan Franco Tudjman, apalagi Milosevic, yang belakangan menuduhnya fundamentalis dan ingin membunuhnya, masih bekerja enak-enakan sebagai aparat penguasa Komunis.

Pada 1980, Izetbegovic menerbitkan bukunya yang paling terkenal, Islam between East and West. Ketika ia diadili tahun 1982, pembelanya memperoleh alibi yang kuat dalam buku itu. Inilah buku yang menunjukkan bagaimana seseorang yang lahir di “Barat” berusaha memaknai kembali warisan leluhurnya yang “Timur” (Islam). Tengok saja indeks buku itu: mungkin inilah satu-satunya buku teologi Islam dengan sembilan rujukan ke Dostoevski, tujuh ke Camus, sebelas ke Engels, sembilan ke Hegel, tiga ke Malraux, dua ke Rambrandt, sepuluh ke Russell, dan seterusnya. Ia dengan penuh percaya diri membahas teologi takdir dalam kerangka filsafat Karl Jaspers, sebagai “the burder situations.” Ini jelas bukan karya apolog Muslim tradisional, apalagi pemimpin fundamentalis. Saya kira mungkin hanya Mohamad Iqbal, khususnya dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, yang bisa sebebas itu dalam mengolah teologi Islam dengan inspirasi mana saja.

Izetbegovic mafhum jika alibi itu ditolak pengadilan Komunis, yang memang mau cari dalih untuk membungkam pembangkang. Yang mengecewakannya, apa yang disebutnya “Barat” pun, sepuluh tahun kemudian, ketika ia digempur chauvinis Serbia, tidak cukup serius membelanya. Ia seperti ditikam dari belakang oleh orang yang selama ini dipujanya. Dalam artikelnya di New Republic (21 Nopember 1994), Fouad Ajami menyebutnya sebagai orang baik yang salah baca alam pikiran Eropa. Ia dianggapnya terlalu percaya pada mitos pluralisme yang sering diomongkan Barat.

Ketika perang pecah, tulis Guardian, Izetbegovic tampil seperti orang tua yang letih dan sendirian. Ia menjadi satu-satunya pemimpin yang masih mau memegang “etika” perang. Kepada pasukannya ia bilang: “Mari kita jadi tentara yang tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan. Jauhkan tangan kotor kita dari perempuan dan anak-anak.” Ia menerima Perjanjian Dayton, yang membelah negerinya berdasarkan etnis, seperti meminum pil pahit kematian.

Sekarang ia mati sungguhan. Di ujung Inescapable Questions, otobiografinya, Izetbegovic menulis: “Jika saya ditawarkan hidup lagi, saya akan menolaknya. Tapi jika saya harus dilahirkan kembali, saya akan memilih hidup saya yang lalu.” Saya kira kita sebaiknya mengamininya: dunia ini kelewat kejam, tak beradab, untuk orang sepertinya. Rest in peace!***
Dimuat dalam Tempo, 24 Oktober 2003.

[wpfilebase tag=file id=45]