MUI dan Syariatisasi di Indonesia

MUI dan Syariatisasi di Indonesia

Pertanyaan tersebut diajukan Syafiq Hasyim, salah satu peneliti senior PUSAD Paramadina, dalam disertasinya, “Council of Indonesian Ulama (MUI) and its Role in the Shariatisation of Indonesia.” Disertasi ini dibahas di kantor PUSAD Paramadina, Senin (15/09), bersama sekitar 20 peserta yang sebagian besar adalah peneliti muda.

Husni Mubarok, moderator diskusi, menyampaikan bahwa MUI adalah faktor penting dalam isu kebebasan beragama di Indonesia, isu yang menjadi perhatian utama PUSAD Paramadina. Karena itu disertasi ini perlu dibahas dan dipelajari setiap peneliti di PUSAD Paramadina.

Syafiq Hasyim memulai presentasinya dengan menjelaskan beberapa istilah kunci. Dia membedakan “syariatisasi” dengan “fikihisasi” atau “islamisasi.” Menurutnya, syariah adalah landasan hukum yang diambil dari al-Quran dan tradisi kenabian. Sedangkan fikih adalah hukum terapan dari syariah. Sebagai contoh, kewajiban zakat adalah persoalan syariah, sedangkan bagaimana caranya, adalah persoalan fikih. MUI hampir selalu menggunakan istilah syariah dalam fatwanya dan jarang sekali memakai istilah fikih.

Syariatisasi juga berbeda dengan islamisasi. Bagi Syafiq, cakupan islamisasi lebih luas; lebih asimilatif, tidak mesti menjadi tatanan yang disepakati bersama; dan bersifat alternatif, boleh dipilih atau tidak. Sedangkan syariatisasi lebih sempit, cenderung berbentuk regulasi; harus menjadi tata aturan bersama; dan bersifat mendikte. Dalam hal ini, istilah “syariatisasi” menurutnya lebih cocok untuk menggambarkan MUI.

Syafiq kemudian mengulas sejarah kemunculan MUI dan perkembangannya. Menurutnya, wacana pembentukan MUI tak bisa dilepaskan dari peran Presiden Suharto. Ketika itu Suharto menginginkan adanya semacam lembaga yang bisa menjadi mitra dialog dan menjembatani ormas-ormas Islam agar dapat lebih mudah dikelola. Rencana ini awalnya ditolak para ulama. Tetapi setelah berbagai upaya, akhirnya pada Musyawarah Nasional Ulama Indonesia di Jakarta pada 1974, para ulama sepakat membentuk MUI.

Menurut Syafiq, ada dua alasan kenapa ulama sepakat atas pembentukan MUI. Pertama, ada keinginan ulama akan terciptanya ukhuwah islamiyah atau persaudaraan Islam dan MUI memberikan kesempatan untuk itu. Ini misalnya dapat dilihat di preambule MUI. Kedua, MUI dianggap dapat menjadi alat penangkal bahaya laten PKI. Ini misalnya dapat dilihat dari pidato-pidato Buya HAMKA, ketua MUI pertama. Sejak berdiri pada 1975, MUI secara umum bisa digambarkan sebagai khadim al-hukuma, pelayan pemerintah, pengawal pancasila (yang menjadi pedoman dasar MUI), dan payung ormas Islam.

Pasca reformasi, MUI mengalami perubahan identitas yang cukup drastis. Tahun 2000, tak lama setelah Suharto lengser, MUI mengubah asas dari Pancasila ke asas Islam. Hal itu diikuti perubahan wacana dari khadim hukuma, pelayan pemerintah, menjadi khadim umma, pelayan umat, dan dari “payung” umat Islam menjadi “tenda” umat Islam. Perubahan itu juga tercermin dari struktur organisasi MUI. Sejak itu hampir tidak ada wakil pemerintahan aktif di struktur organisasi MUI sehingga, berbeda dengan masa Orde Baru, kini MUI berjalan relatif tanpa kendali pemerintah.

Menurut Syafiq, hal itu memungkinkan MUI untuk leluasa menjalankan perannya sebagai katalisator dan kelompok penekan untuk syariatisasi. Hal ini terutama dilakukan lewat empat badan di MUI, yaitu: (1) Komisi Fatwa (meliputi persoalan akidah, ibadah, moralitas hingga gaya hidup); (2) Lembaga Pengawasan Pangan Obat dan Makanan (LPPOM), (3) Dewan Syariah Nasional (DSN), serta (4) Komisi Hukum dan Perundangan.

Syafiq kemudian mengulas dampak upaya MUI lewat empat badan tersebut terhadap kehidupan publik dan hukum di Indonesia. Syafiq menceritakan bagaimana fatwa-fatwa MUI, khususnya yang menyangkut paham atau aliran yang dianggap sesat, dinilai banyak pihak berperan dalam mendorong aksi kekerasan. Syafiq juga menceritakan dinamika di balik LPPOM dan DSN dan dampaknya terhadap MUI sendiri maupun terhadap industri terkait.

Mengapa MUI bisa muncul sebagai lembaga yang dianggap paling mewakili umat Islam Indonesia dan paling otoritatif dalam urusan fatwa? Syafiq melihat bahwa hal ini terkait erat dengan lemahnya ormas Islam, khususnya dalam bidang fatwa. Sebelumnya, fungsi pemberi fatwa dijalankan ormas Islam (dan sebagaimana opini, fatwa bisa berbeda antar ormas Islam). Kini hampir semua ormas Islam menyerahkan urusan fatwa kepada MUI.

Karena itu, Syafiq menyarankan agar agenda advokasi selanjutnya setidaknya difokuskan pada dua aspek. Pertama, penguatan pemerintah, agar tidak selalu tunduk pada fatwa MUI. Kedua, penguatan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, agar fatwa tidak menjadi monopoli MUI semata.[]