Nasib Penghayat di Indonesia

Nasib Penghayat di Indonesia

Para penganut aliran kepercayaan masih mengalami diskriminasi di Indonesia. Ini disebabkan ketidakjelasan definisi agama dan TAP MPR (1973) yang menyatakan aliran kepercayaan bukan sebagai agama. Imbasnya, kepercayaan ini dikategorikan sebagai kelas kedua dari iman (second class of faith) yang justru diletakkan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk dapat bertahan, para penganut aliran kepercayaan ini harus menggunakan berbagai strategi, salah satunya adalah konversi bolak-balik.

Permasalahan ini dibahas dalam diskusi Ciputat School, 23 Januari 2015 di Aula Ciputat School, Ciputat. Ciputat School adalah forum diskusi bulanan yang diinisiasi oleh Forum Muda Paramadina dan Komunitas Ciputat School. Dalam diskusi yang dihadiri oleh 40 peserta ini, hadir Zezen Zaenal Mutaqin, peneliti dan pengajar di UIN Jakarta, sebagai pembicara.

Dalam diskusi ini, Zezen membahas artikelnya yang berjudul “Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politics of the State: The Survival of Agama Djawa Sunda (Madraisism) in Indonesia” yang dimuat jurnal Indonesia and the Malay World (2014).

Dalam tulisannya, Zezen membahas dua hal. Pertama, menjelaskan bagaimana sejarah dan perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS) yang menggambarkan perubahan dari interpretasi mistik terhadap Islam menjadi sekte yang independen. Kedua, melihat hubungan negara, ADS, dan organisasi mistik di Indonesia, terutama pada ketegangan antara negara dan mistisisme, dan bagaiman ADS mengelola permasalahan hukum sehingga dapat mempertahankan identitasnya.

Sejarah ADS sangat berkaitan dengan pendirinya yakni Madrais atau Muhammad Rais. Madrais mendirikan pesantren di Cigugur (1885) dimana ajaran mistisimenya menyebar dan menimbulkan ketegangan dengan para kyai yang menganggap ajaran Madrais menyimpang. Hal ini membuat Madrais keluar dari Islam (1900) dan mengajak pengikutnya untuk turut serta dengan argumen bahwa Islam bukan agama asli Jawa. Madrais kemudian mendirikan agama Djawa Sunda atau Madraisme or Sunda Wiwitan.

Pertentangan Islam dan ADS digambarkan seperti dapat silihat sebagai konflik antara santri dan abangan (Geertz). Sementara Islam mengalami perkembangan, Madrais juga mengembangkan berbagai simbol, musik, dan ritual animismenya. Konflik memanas ketika Madrais mendapatkan legitimasi dari pemerintah Belanda sebagai pikukuh (1925) atau pemimpin adat.

Sementara konflik Islam dan ADS berlanjut, organisasi-organisasi mistik (kebatinan) berkembang yang direspon oleh Kementerian Agama dengan pendirian Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM, 1954). Organisasi kebatinan yang tidak bisa dikatakan sukses karena harus bersaing dalam dinamika politik era itu kemudian meminta Soekarno untuk mengakui kebatinan dan mistisime sebagai agama resmi (1957). Sementara itu, atas desakan DPR, Kementerian Agama membuat definisi agama (1959) yaitu sebuah kelompok yang ada berdasarkan wahyu dari Tuhan dan memiliki nabi, kitab suci, dan petunjuk serta sistem hukum untuk pengikutnya. Hal ini membuat banyak aliran kepercayaan disebut menyimpang.

Berdasarkan penelitian Zezen, pengikut ADS menggunakan strategi back and forth untuk mengatasi hal ini. Mereka melakukan konversi agama (strategi back) ke Islam atau Katolik untuk menikah dan mendapatkan KTP, akta kelahiran, dan kartu keluarga. Paska mendapatkan hal-hal tersebut, mereka akan kembali menjalankan ajaran ADS, ini yang disebut sebagi strategi forth.

Meskipun demikian, ADS (dan kelompok penghayat) juga masih harus menghadapi UU 23/2006 dimana kolom agama dalam KTP dan KK harus dikosongkan karena mereka bukan penganut agama. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, khususnya Kementerian Agama, untuk memperjelas status para penghayat. Penting untuk membuat definisi yang jelas mengenai agama yang mengakomodir para penganut kepercayaan. Kiranya hal ini menjadi perhatian menteri Lukman dalam merancang UU perlindungan umat beragama. (Ayu Mellisa)