Produksi Kekerasan di Poso

Produksi Kekerasan di Poso

Masih ingat Basri alias “Bagong”, salah satu pemimpin teroris Poso yang pernah dipenjara, melarikan diri, dan beberapa bulan lalu kembali ditangkap dan dipenjara (lagi)? Ya, lelaki kekar, ganteng, yang oleh Polri disebut “tangan kanan Santoso di Poso”?

Lebih jauh kita mengenalnya, lebih banyak kontradiksi kita temukan dalam dirinya. Saya sempat mewawancarainya pada 2011: mantan pemain band lokal yang sejak muda dikenal sebagai preman Poso itu, dengan tato memenuhi sekujur lengan dan kaki, menyebut diri “jihadis”. Karena dendam kesumatnya kepada Polri, antara lain karena siksaan yang dialaminya, saya tak kaget jika dia akan terus melawan.

Agar dapat memahami kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam diri orang seperti Basri, juga banyak yang lainnya, buku Dave McRae ini akan sangat membantu. Selain disertasi Kapolri Tito Karnavian, Explaining Islamist Insurgencies (2014), yang khusus menyoroti Jamaah Islamiyah (JI) di Poso, inilah karya terlengkap dan terdalam mengenai konflik komunal di satu titik yang sebenarnya kecil saja di satu kabupaten di Sulawesi Tengah itu.

Penulisnya, kini Peneliti Senior Asia Institute, Universitas Melbourne, Australia, menghabiskan sepuluh tahun usianya menulis buku ini, yang semula disertasinya di Australian National University (ANU), Canberra. Dia bolak-balik ke Poso, bicara dan menulis fasih dalam Bahasa Indonesia, dan mengenal baik para narasumbernya, yang berasal dari beragam lapisan. Beberapa tulisannya tentang Poso pernah terbit di jurnal dan penerbitan populer.

McRae benar ketika mengklaim beberapa hal pokok yang menjadikan Poso ladang subur untuk mempelajari konflik kekerasan komunal pasca-Reformasi. Dibanding konflik sejenis di Ambon, Maluku Utara, dan Kalimantan, konflik Poso adalah yang terpanjang. Yang menarik, meski berlangsung sembilan tahun dan makan korban 6.00 hingga 1.000 jiwa (plus pengungsi), konflik itu tak menyebar bahkan ke ibukota Palu, kontras misalnya dengan konflik Ambon.

Karena itu, teka-teki yang menantang McRae berlapis: Mengapa pertama-tama hubungan Muslim dan Kristen berubah, dari harmonis menjadi konflik disertai kekerasan? Mengapa konflik yang diawali cekcok antara seorang Muslim dan Kristen itu bisa bereskalasi menjadi konflik komunal besar, terdiri dari beberapa fase, dengan ciri-ciri berbeda? Mengapa konflik itu bisa bertahan lama, padahal Indonesia secara keseluruhan makin stabil dan demokrasinya makin terkonsolidasi? Dan akhirnya, mengapa konflik komunal besar itu tetap terlokalisasi di Poso dan akhirnya berhenti?

Untuk menjawab teka-teki itu, McRae khususnya memeriksa politik nasional dan lokal, serta sejarah, ekonomi dan demografi lokal. Dia beruntung karena beberapa sarjana (khususnya Jacques Bertrand, Gerry van Klinken dan John Sidel), dalam studi-studi sebelumnya, sudah menunjukkan pentingnya faktor-faktor struktural terjadinya ketidakpastian politik akibat transisi demokrasi (Reformasi, desentralisasi, pemilu langsung). Inilah yang mendorong para elite untuk melakukan langkah-langkah mobilisasi massa dalam rangka mengamankan kepentingan.

Dari studi-studi kasus sebelumnya, juga tampak jelas bahwa massa sendiri seperti sudah mendidih untuk dimobilisasi karena dua faktor utama. Pertama, komposisi penduduk Muslim dan Kristen yang relatif seimbang (ditambah unsur transmigrasi). Ini makin diperuncing oleh fakta bahwa di sana ada sejarah ketegangan dan konflik di antara kedua komunitas. Kedua, kebijakan Orde Baru, yang berlangsung lama, mengakibatkan de-agrarianisasi. Ini membuat orang lari dari pertanian dan menjadikan mereka sangat tergantung pada sumberdaya negara, yang harus diperjuangkan lewat mendudukan patron sebagai pejabat negara.

Tapi penjelasan-penjelasan itu tak selamanya memuaskan untuk memahami Poso, yang konfliknya terus berkelanjutan. Sumbangan khusus McRae terletak pada kejeliannya untuk memisahkan antara awal mula konflik dan dinamikanya. Di sini dia berhutang pada Stathis Kalyvas dan Jeremy Weinstein, dua ahli perang saudara yang menyatakan bahwa perang, ketika sudah berlangsung, memiliki logika dan dinamika sendiri, yang bisa sepenuhnya berbeda dari mengapa ia pertama kali terjadi.

Poso: Sejarah Komprehensif Kekerasan Antar Agama Terpanjang di Indonesia Pasca Reformasi

Dalam tujuh bab yang padat, dilengkapi peta di mana perang-perang berlangsung, McRae menuliskan temuan-temuannya dengan lancar, berlapis dari luar ke dalam, dengan detail-detail yang mengagumkan (khususnya karena dia peneliti asing). Baginya, konflik Poso berkembang dari kerusuhan kota, pembunuhan yang menyebar luas, konflik berlarut-larut di antara kedua komunitas, dan kekerasan sporadis terutama oleh kombatan Muslim.

Basri, yang saya sebut di atas, muncul pada fase kedua konflik Poso, ketika dia menemukan bahwa 26 saudaranya menjadi korban yang harus ikut dia angkat dan kumpulkan antara lain dari Sungai Poso. Pada titik itulah dia memutuskan untuk terlibat dalam konflik, sebagai bagian dari komunitas Muslim. Inilah proses yang mau saya sebut “the making of Basri”: bukan Basri dan ideologi “jihad”-nya yang menyebabkan konflik Poso, tapi konflik Poso-lah yang melahirkan “jihadis” seperti Basri.

Tesis pokok McRae lainnya adalah bahwa semua fase konflik di atas digerakkan oleh hanya segelintir laki-laki yang terorganisasi dengan baik. Meski aktor-aktornya bisa beda di fase yang berbeda, merekalah yang mem-“produksi kekerasan” di Poso. Judul Inggris buku ini, A Few Poorly Organized Men, mencerminkan tesis ini, yang tak tertampung dalam judul Indonesianya.

Inilah yang menyebabkan mengapa konflik Poso tak menyebar ke luar Poso dan mengapa ia berhenti ketika Polri mengambil langkah penegakan hukum atas aktor-aktor utamanya pada Januari 2007, dengan menyerang markas mereka di Tanah Runtuh. Langkah ini diambil sesudah Polri mengetahui bahwa mereka dipengaruhi, bahkan dididik, oleh para aktivis JI, yang semula hanya mereka kenal sebagai “guru-guru dari Jawa”.

Cukup mengherankan bahwa McRae tidak menyebut fase terakhir konflik di atas sebagai bagian dari terorisme, seperti yang dimaksudkan jaringan JI sendiri. Kita tahu, dari konflik Poso, lahir teroris (atau “jihadis”, tergantung di mana Anda berdiri) seperti Basri dan Santoso. Mereka dikenal bukan saja di Poso, atau Indonesia, tapi juga dunia.

Tapi McRae betul ketika mengklaim bahwa fase konflik terakhir di atas, ketika para “jihadis” Muslim melakukan aksi-aksi sepihak terhadap warga sipil Kristen (seperti mutilasi tiga siswi SMA), sudah tidak memperoleh dukungan kaum Muslim Poso pada umumnya. Ini sudah di luar ciri konflik komunal Muslim-Kristen. Lagi pun, jika alternatif tafsir di atas diterima McRae, paparan dan analisisnya harus makin panjang.

Buku ini wajib dibaca semua peneliti sosial. Ia menunjukkan berakhirnya “orang luar” dan “orang dalam”, yang sempat ramai dibicarakan dulu. Saya, orang Indonesia kelahiran Betawi, tak memiliki akses lebih baik dibanding McRae ketika meneliti Poso!

Kita juga perlu belajar dari keberanian McRae untuk membawa masuk teori-teori yang dikembangkan di luar (seperti tentang kekerasan oleh Kalyvas), untuk didialogkan dengan data-data Indonesia. Kita terlalu sering merasa bahwa Indonesia itu khas, hingga kita jadi katak dalam tempurung. Dalam buku itu, McRae menunjukkan betapa dialog itu sangat bermanfaat.

Buku ini juga mengandung implikasi yang berguna bagi para pengambil kebijakan, jika mereka mau peduli pada fakta berbasis riset. McRae misalnya menunjukkan, jika negara mau, punya komitmen, mereka sebenarnya punya kemampuan untuk menghentikan konflik itu jauh sebelum Januari 2007.

Ketika diluncurkan di Palu bulan lalu, buku ini dikritik karena kurang memberi perhatian kepada kaum perempuan. Saya tak sependapat, karena bukan itu tema penelitian McRae. Agar adil pada kaum perempuan, mungkin diperlukan buku khusus tentang itu, bukan menempatkannya sebagai catatan kaki.***

Terbit di Majalah Tempo Edisi 30 Januari 2017.