Ketika Agama Bawa Damai, bukan Perang: Belajar dari “Imam dan Pastor”

Ketika Agama Bawa Damai, bukan Perang: Belajar dari “Imam dan Pastor”

Agama sering jadi sumber aksi-aksi kekerasan, tapi agama juga bisa jadi sumber upaya-upaya binadamai. Kita sering terpaku pada yang pertama, kurang sekali melaporkan dan mempelajari yang kedua. Kita sudah tidak adil sejak dalam pikiran: kita mau agama menyebarkan kasih, tapi yang kita perhatikan melulu agama yang membawa perang.

Dua pengaruh agama di atas dialami Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria. Mereka contoh hidup pemimpin agama yang hijrah dari mendukung aksi-aksi kekerasan menjadi pengecamnya. Kisah mereka didokumentasikan dalam film The Imam and the Pastor (2006), yang banyak dipuji, mempopulerkan mereka sebagai “Imam dan Pastor”.

Pada awal 1990-an, keduanya memimpin kelompok milisi Muslim dan Kristen yang terlibat dalam konflik kekerasan di Kaduna, kota terpenting di Nigeria. Meski alasannya kompleks, banyak konflik di negara ini memang membawa bendera dua agama itu, yang terbesar, dengan penganut masing-masing sekitar 50 dan 40 persen penduduk.

Ini sebagiannya warisan kolonialisme Inggris (mulai 1860): dalam rangka divide et impera, mereka membiarkan Islamisasi berjalan di utara, yang meminggirkan minoritas pribumi Afrika dan Kristen, tapi mendukung Kristenisasi besar-besaran di selatan. Akibatnya, ketika merdeka (1960), sementara jumlah pengikut kedua agama hampir seimbang, polarisasi Muslim-Kristen tinggi (dengan segala stereotipe dan kecurigaan yang menyertainya), seperti rumput kering yang mudah dibakar.

Faktor ni diperburuk faktor-faktor lainnya: dominasi militer, ketergantungan pada gas dan minyak, korupsi akut, kemiskinan dan pembangunan yang mandeg, layanan sosial yang buruk, dan militansi agama yang diakui tinggi.

James dan Ashafa muda adalah aktivis dan pemimpin komunitas kedua agama yang militan. Ketika kerusuhan merambah kota mereka pada 1992, keduanya terlibat. Ongkosnya sangat mahal: James kehilangan satu tangannya, sedang Ashafa kehilangan guru dan dua sepupunya. Akibatnya, keduanya mendendam. “Kemarahan saya kepada kaum Muslim waktu itu seperti tak ada batasnya,” kenang James. Tapi Ashafa juga: “Guru spiritual saya wafat, sementara dia hanya kehilangan tangan. Saya ingin dapat kabar bahwa sedikitnya dia juga mati!”

Dari Kekerasan ke Binadamai

Ketika kerusuhan berakhir, dendam di atas tak tersalurkan. Mereka berdua baru bertemu lagi pada 1995, justru di kediaman Gubernur Kaduna, untuk alasan kesehatan publik: Waktu itu, suntikan imunisasi kepada anak-anak oleh pemerintah dicurigai bermaksud mensterilkan perempuan, dalam rangka keluarga berencana. Pemerintah memerlukan pemimpin agama, termasuk Pastor James dan Imam Ashafa, untuk mengklarifikasi bahwa rumor itu tak benar.

James dan Ashafa tidak berkelahi saat itu, tapi waktu istirahat dan minum teh, keduanya duduk semeja dan bersalaman. Ketika itu seseorang, kebetulan kawan keduanya, berkata: “Kalian berdua bisa menyatukan bangsa ini, atau menghancurkannya. Berbuatlah sesuatu!”

Merasa terpanggil, keduanya sepakat untuk bertemu, dengan agenda memperdebatkan siapa benar dan siapa salah. Tapi mereka tidak tahu di mana mereka akan bertemu, di satu tempat netral. Ringkasnya, meski sempat bersapa, keduanya masih saling curiga dan marah.

Titik balik mulai terjadi ketika Ashafa mendengar khotbah Jumat yang mengisahkan bagaimana Nabi Muhammad memaafkan orang-orang yang mencederainya di Thaif, ketika beliau mendakwahkan Islam. Kenang Ashafa tentang khotbah itu: “Saya berpikir, bagaimana saya memaafkan musuh-musuh ini? Mereka membunuh banyak orang–saya tidak dapat memaafkan mereka. Tapi jauh di lubuk hati saya, ada pemikiran yang seperti bangkit kembali bahwa Islam menyatakan saya harus memaafkan musuh-musuh saya, jika mereka tidak lagi mengancam saya.”

Ashafa lalu rajin mengunjungi James, termasuk ketika ibunya sakit. Bahkan, bersama kawan-kawan Muslimnya, Ashafa datang berbelasungkawa ketika sang ibu wafat. Semua ini mengagetkan kawan-kawan mereka, komunitas Muslim dan Kristen. Sebagian mendukung, tapi sebagian lainnya mempertanyakan maksudnya atau mengecamnya.

Tapi James tak terpengaruh, hanya terguncang. “Waktu dia (Ashafa) dan kawan-kawannya datang ketika ibu saya … wafat, hati saya hancur,” kenangnya. Dia baru mulai menanggapi ajakan Ashafa secara positif ketika seseorang mengingatkannya, “Bagaimana kamu menyampaikan khotbah kepada seseorang yang tidak bisa kamu cintai?” Kenang James, “Tuhan Yesus telah memperpanjang hidup saya–dan jika saya bisa memberi tangan saya agar perdamaian bisa diperoleh, maka saya sudah memberikannya.”

Baca Juga :   Jokowi, Pesantren, dan Proyeksi Perdamaian

Yang menarik dan penting, keduanya tidak berhenti pada pertobatan diri sendiri, tapi mereka membaginya pertama-tama di Kaduna, lalu Nigeria, kemudian Afrika dan dunia. Pengalaman mereka jadi kekuatan utama dan sumber kredibilitas mereka. Mereka tahu kekuatan kisah mereka untuk menginspirasi orang-orang lain. Semuanya bukan tanpa hambatan, termasuk ancaman pembunuhan.

Pada 1995, mereka membentuk Lembaga Mediasi Antar-Iman (IMC), yang menjadi unit strategis dalam yang melatih anak-anak muda “agen perdamaian”, memediasi konflik, dan membantu tata kelola pemerintahan inklusif berbasis lintas-agama. Sekarang, model latihan mereka dicontoh di Kenya, Chad, Mesir, Sudan Utara dan Sudan Selatan, Burundi, Ghana, Sierra Leone, Lebanon, dan lainnya. Mereka juga diundang untuk ikut menangani 200 jenis konflik di tingkat lokal, nasional dan internasional.

Berkat kiprah mereka, Imam Ashafa dan Pastor James sudah memperoleh penghargaan dari berbagai pihak di seluruh dunia, antara lain Heroes of Peace Award (Tanenbaum Foundation, New York, 2000), Fondation Chirac Prize (Paris, 2009), Bremen Peace Award (Threshold Foundation, Bremen, 2011), Hessian Peace Price (Peace Research Institute, Frankfurt, 2013), dan lainnya.

Kiprah keduanya juga sudah diakui oleh banyak lembaga yang bergerak dalam bidang riset dan advokasi binadamai di seluruh dunia, seperti Ashoka, Initiative of Change, dan Berkley Center pada Georgetown University. Keduanya juga bermitra dengan semua lembaga ini untuk mengembangkan impian mereka lebih jauh.

Indonesia

Pekan ini, 9-14 Oktober 2017, James dan Ashafa akan berunjung ke Tanah Air. Sambil menghargai, kita perlu belajar dari keduanya.

Pertama, kisah keduanya adalah bukti hidup bahwa agama bisa jadi baik sumber kekerasan maupun perdamaian. Agama ikut memompa kebencian keduanya, tapi agama pula yang mendorong keduanya untuk saling memaafkan dan bekerjasama.

Pengalaman ini melibatkan proses yang dapat dipelajari untuk mendorong berlangsungnya proses yang sama pada orang atau kelompok lain. Bukankah kita juga sering mendengar khotbah berisi kebencian di sini?

Kedua, agar mampu meraih harapan mereka, James dan Ashafa tidak punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup, misalnya tentang strategi manajemen konflik atau keterampilan mediasi. Untuk itu, keduanya tidak ragu, malu atau malas untuk belajar dari siapa saja–dalam usia mereka yang tidak muda lagi, dan dalam posisi mereka sebagai pemimpin agama. Ashafa bahkan bersedia ikut kursus tiga bulan di Inggris, mantan penjajah yang pernah dia tuduh kafir! Belakangan terbukti bahwa semua pengetahuan dan keterampilan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan mereka.

Aspek ini juga bisa dipelajari dan dicontoh. Wawasan pluralis saja tidak cukup bagi agamawan zaman sekarang. Para pekerja dan aktivis pluralisme di Indonesia perlu ingat ini. Juga mereka yang mengurusi lembaga seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Ketiga, meskipun agamawan dan bekerja menyebarkan pesan-pesan agama dan perdamaian, Ashafa dan James tidak mencurigai, bahkan bekerjasama, dengan kelompok-kelompok sekuler. Inisiatif mereka bahkan didukung lembaga-lembaga seperti British Council. Belakangan terbukti bahwa kerjasama ini, dalam aspek penguatan sumberdaya manusia, dukungan dana bagi kegiatan tertentu, atau pengembangan jaringan, memainkan peran kunci dalam keberhasilan mereka.

Aspek ini pun penting dipelajari dan dicontoh oleh agamawan. Tapi kelompok-kelompok sekuler pun perlu merenungkannya, mengingat peran penting agama di Indonesia. Sementara memang tidak ada jaminan bahwa binadamai berbasis agama bisa menyelesaikan semua atau bahkan satu masalah, seperti dikatakan Renee Garfinkel, “apa yang dijamin adalah bahwa tanpanya, upaya-upaya diplomatik tidak akan bisa jalan. Agama akan terus ada di sini; mengabaikannya tidak akan membuatnya hilang” (2004).

Akhirnya, Indonesia mungkin lebih baik secara umum dari Nigeria. Tapi hidup Imam Ashafa dan Pastor James, yang kebetulan orang Nigeria, mengandung banyak hal yang patut kita pelajari dan teladani di Indonesia.

Dimuat di Geotimes https://geotimes.co.id/kolom/agama/ketika-agama-bawa-damai-bukan-perang-belajar-dari-imam-dan-pastor/