Reformasi dan Sampah Gelap Demokrasi

Reformasi dan Sampah Gelap Demokrasi

Bulan Mei selalu mengingatkan sebuah tonggak gerak perubahan di Indonesia sejak lengsernya Soeharto pada 1998. Lalu bagaimana kabarnya reformasi yang digulirkan sejak 17 tahun lalu? Tentu ada perbaikan di sana-sini, namun mutunya masih harus lebih gigih ditingkatkan, sekaligus dibersihkan sejumlah sisi gelapnya.

Terdapat berbagai model dan ukuran dalam melihat perkembangan sebuah demokrasi. William Liddle dan Saiful Mujani (2013) melihat transisi demokrasi Indonesia sudah tuntas sejak pemilihan presiden langsung pada 2004. Fase berikutnya adalah konsolidasi. Sebaliknya, Marcus Mietzner (2012) melihat terjadi stagnasi demokratik di Indonesia akibat elite konservatif leluasa mengisi ruang-ruang demokratik yang tersedia. Terdapat peta yang cukup kompleks melihat problem transisi demokrasi dan konsolidasinya. Meski sejumlah kemajuan luar biasa terjadi sejak 1998, di beberapa area terjadi kemunduran.

Freedom House 2014 menilai Indonesia anjlok dari kategori “Free” menjadi “Partly Free”. Sejak 2006 demokrasi di seluruh dunia terus mengalami kemerosotan. Di Timur Tengah bahkan terancam mengalami resesi demokrasi. Bagi sejumlah pengamat, Indonesia adalah pengecualian yang menjanjikan. Namun kegagalan dalam tahapan konsolidasi juga bisa berakibat pada negara otoriter kembali.

Dalam melihat capaian kualitas interaksi negara dan masyarakat, dapat dilihat dalam aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik, dan aspek lembaga demokrasi. Hingga saat ini mutu kebebasan sipil menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) atas pemantauan di 33 provinsi pada 2013, aspek kebebasan sipil turun menjadi 79,00 dari 86,97 persen pada 2009 lalu. Variabelnya meliputi ancaman atas kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi.

Kriteria umum dalam menilai konsolidasi demokrasi biasanya dikaitkan dengan interaksi situasi masyarakat sipil (kebebasan berserikat dan berkomunikasi), masyarakat politik (kontestasi pemilu yang bebas dan inklusif), supremasi hukum (konstitusionalisme), aparatur negara (norma birokrasi rasional-legal), dan masyarakat ekonomi (pasar dilembagakan).

Perlu diperhatikan bahwa wajah transisi tidaklah tunggal. Bahkan demokrasi juga melahirkan gerakan yang menentang demokrasi itu sendiri. Dalam catatan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina, ruang demokratis saat ini malah dimanfaatkan (digerogoti) dengan leluasa oleh kelompok-kelompok islamis garis keras, pendakwah intoleransi, dan ujaran kebencian. Perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan penegakan hukum absen.

Setiap kebijakan ditentukan oleh sebuah konteks politik yang mengandung banyak kesempatan sekaligus kendala. Kemandekan demokrasi bisa muncul dari keputusan lembaga-lembaga pemerintah yang konstitusional namun anti-reformasi. Fokus kritis mengawal konsolidasi demokrasi hendaknya lebih diarahkan terhadap aktor-aktor pokok pejabat pemerintah pusat, daerah, pemimpin partai, hakim, jaksa, polisi, dan anggota lembaga legislatif.

Tentu kita tidak ingin kembali dalam situasi otoriter Orde Baru. Namun pelemahan terhadap kebebasan sipil, hak-hak politik, dan pengerdilan lembaga demokrasi perlu diwaspadai terus-menerus. Begitu juga munculnya sampah gelap demokrasi: intoleransi.

Koran Tempo, 22 Mei 2015.