Sepenggal Jalan Cak Nur

Sepenggal Jalan Cak Nur

Paska mengikuti Muktamar NU ke-33 di Jombang lalu, kami mengunjungi rumah Nurcholish Madjid, yang biasa disapa Cak Nur, di Mojotengah, Jombang, Jawa Timur. Dari jalan raya utama, harus menyusuri jalan sepanjang delapan ratus meter untuk sampai ke dusun tempat kediaman keluarga Madjid tersebut. Dengan melewati jalan beraspal di tengah sawah, terdapat pohon-pohon rindang di kiri-kanan jalan yang tertata rapi. Belakangan kami tahu, bahwa jalan itu dibangun Cak Nur pada 1998 agar akses dari kampung ke jalan besar lebih cepat, gampang dan tidak memutar jauh. Dan Cak Nur sendiri tidak mau namanya disematkan pada jalan yang dibangunnya tersebut.

Dalam haul Cak Nur ke-10 pada akhir Agustus ini, barangkali tak banyak orang tahu soal jalan di Jombang yang dibangun Cak Nur di tanah kelahirannya. Sebagai penarik gerbong pembaharuan Islam, putra Abdul Madjid, yang juga sahabat dekat Kiai Wahid Hasjim, banyak dikenali jejaknya atas kedalaman pemikirannya dalam sejumlah karya-karya intelektual, kesantunan bergaul dan kesederhanaanya dalam keseharian. Di antaranya adalah pidatonya yang menghebohkan pada 1970 yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.

Greg Barton (1995) dalam disertasinya menempatkan Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid dalam gerbong gerakan dan pemikiran Neo-Modernisme Muslim Indonesia yang berpengaruh sejak akhir 1960-an hingga dewasa ini. Gerakan ini juga menjadi jembatan sekaligus memperluas Moderenisme sekaligus Tradisionalisme. Sumbangan gagasan pembaruan pemikiran Islam mereka merepresentasikan suatu sintesis besar pemikiran Islam, dengan pemikiran modern. Suatu komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan; keyakinan akan pentinya kontekstualisi ijtihad; penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam agama-agama; dan pemisahan agama dari partai politik dan posisi non-sektarian Negara.

Meskipun dalam menggulirkan sejumlah gagasanya mendapat tentangan dari sejumlah orang ataupun kelompok, Nurcholish Madjid percaya bahwa debat terbuka untuk segala macam ide-ide bukan hanya baik, tapi secara subtansial dibutuhkan dalam pertumbuhan pemikiran Islam yang sehat. Umat diajak menjadi kritis serta reflektif terhadap dirinya dan pada saat yang sama mau belajar dari arah dan tempat manapun. Nurcholis gelisah bagaimana Islam yang mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam, malah sering terbalik dirasakan oleh sementara golongan justru sebagai ancaman. Pemikiran tentang Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan menekankan peran keislaman merupakan bagian paling penting dari keindonesiaan.

Artikulasi dan kontekstualisasi gagasan Cak Nur tentang pembaruan Islam dan masyarakat modern tentunya masih relevan saat ini. Wacana Islam Nusantara yang kembali menggema, maraknya formalisasi Islam lewat perda-perda syariah yang justru banyak diusung oleh partai-partai sekuler, konflik intra agama yang makin meningkat, aparat negara yang kedodoran menanganai sejumlah aksi kekerasan berbasis agama, fatwa MUI soal BPJS yang kontroversial, adalah sejumlah problem yang mesti dijawab.

Tentunya relevansi pemikirannya saat ini mesti menjawab konteks, istilah Cak Nur, agar tidak “obsolete memfosil dan kehilangan dinamika”. Dibutuhkan model pembaruan terorganisir, ijtihad modern yang lebih melekat pada konteks, dan adaptasi sosial-teknologi yang lebih dekat dengan umat. Sebuah gelombang pengusung nilai-nilai Islam yang sejalan dengan kemanusiaan dilandasi takwa, yang dengan luas Cak Nur mengombinasikan khazanah klasik Islam dengan teori modern.

Selain jalan sepanjang delapan ratus meter di Jombang, sebuah jalan peradaban sudah ditinggalkan oleh Cak Nur pada kita semua. Sebuah jalan berfikir yang membentang luas dan harus terus dikembangkan dan dibumikan, yang telah menandai kebangkitan sebuah generasi Muslim baru dalam mempengaruhi perubahan tidak hanya di bidang keagamaan, tapi juga sosial dan politik secara umum di Indonesia. Jalur gerakan dan pemikiran tersebut telah mempelopori perkembangan Islam yang lebih modern, progresif dan humanis.