Teror dan Perdagangan Senjata

Teror dan Perdagangan Senjata

Konsekuensi Perang Dingin adalah melimpahnya penjualan senjata ilegal dari bekas Uni Soviet ke negara berkembang, khususnya negara-negara Afrika. Potensi besar dari bisnis gelap ini menarik para pedagang senjata untuk mencoba peruntungan di area peperangan. Tema ini diangkat dalam film berjudul Lord of War (2005) yang menceritakan sosok Yuri Orlov, diinspirasi dari kisah nyata, dalam membangun kejayaan dalam bisnis senjata. Dikisahkan, Yuri berusaha meraup keuntungan sekaligus menyelesaikan permasalahan keluarga sembari menghindari kejaran pihak berwenang.

Film yang secara resmi didukung oleh Amnesty International untuk menyoroti perdagangan senjata oleh industri persenjataan internasional ini diangkat dalam Pemutaran dan Diskusi Film Nobar Pisa pada 12 Februari 2016 lalu. Diskusi ini makin lengkap dengan pembahasan dan data-data terkait perdagangan senjata dari Papang Hidayat, peneliti dari Amnesty International, dan difasilitasi oleh direkur PUSAD Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi.

Papang memaparkan bahwa terdapat 12 milyar peluru tajam diproduksi setiap tahun, jumlahnya setara untuk membunuh setiap orang di dunia dua kali. Jumlah senjata api hingga kini diperkirakan sebanyak 875 juta, diproduksi oleh lebih dari 1.000 perusahaan dari sekitar 100 negara. Amnesty International mencatat bahwa 78% senjata-senjata di dunia dipasok dari negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Cina (6%), Perancis (4%), Jerman, Rusia (15%), Inggris (7%), dan Amerika Serikat (35%). Negara-negara ini menjual amunisi dan senjata ke negara-negara rawan konflik seperti Sudan Selatan, Suriah, Israel.

Bisnis senjata memang sangat menggiurkan. Meskipun nilainya sulit dipastikan karena rincian nilai dagang masih tertutup dan rahasia, Amensty International memperkirakan nilai perdagangan senjata konvensioanl sebesar USD$ 100 milyar per tahun. Sementara itu, nilai perdagangan senjata ilegal diperkirakan sekitar 10-20% dari jumlah perdagangan senjata global.

Perdagangan senjata ini memiliki bahaya yang harus diwaspadai karena sangat rentan untuk disalahgunakan, terutama oleh pemegang kekuasaan dan teroris. Papang mengungkapkan bahwa senjata yang digunakan dalam situasi konflik bersenjata, internasional maupun nasional, menyebabkan warga sipil menjadi korban terbesar. Selain itu, senjata rentan disalahgunakan oleh masyarakat sipil misalnya konflik antar kelompok gang, ¾ jumlah korban tewas akibat aksi kekerasan oleh senjata justru terjadi dalam konteks non-konflik bersenjata. Bahaya lain yang juga merupakan pelanggaran HAM adalah senjata sering digunakan oleh rezim penguasa yang represif untuk menekan individu atau kelompok oposisi. Terkait terorisme, Amnesty International mendokumentasikan lebih dari 100 macam senjata dan amunisi berbeda yang berasal dari paling sedikit 25 negara digunakan oleh kelompok yang menyebut dirinya sebagai Islamic State (IS) di Irak dan Suriah.

Selain munculnya korban penggunaan senjata secara langsung sejumlah 500 ribu jiwa per tahun, terdapat pula korban tidak langsung dari penggunaan senjata. Korban tidak langsung ini bisa jadi merupakan anggota keluarga yang menjadi korban langsung atau mereka yang tinggal di situasi konflik bersenjata. Penggunaan senjata seringkali merusak pemukiman dan fasilitas umum, mendorong masyarakat sipil untuk hidup di bawah kualitas yang layak dan rentan kemiskinan. Selain itu, anak-anak dan perempuan seringkali menjadi target empuk dalam konflik bersenjata. Mereka bisa menjadi korban, dibunuh atau dipaksa menjadi pasukan bersenjata.

Telah terdapat upaya untuk mengatur perdagangan senjata dan mengurangi penyalahgunaan senjata. Upaya terbaru adalah melalui ditetapkannya hukum perjanjian internasional (traktat) oleh Majelis Umum PBB pada 24 Desember 2015 yaitu Arms Trade Treaty (ATT). ATT mengatur perdagangan senjata konvensional dalam kaitannya dengan hukum HAM dan humaniter internasional terutama genosida, terorisme, dan kejahatan trans-nasional. Setiap negara yang menandatangani ATT harus mengikuti aturan ketat terkait perpindahan (perdagangan) senjata untuk menghentikan arus senjata yang dimanfaatkan dalam konflik, kejahatan, dan represi negara di seluruh dunia. Ketentuan di atas berlaku bagi Negara Pihak (peratifikasi) ATT baik sebagai pengekspor, pengimpor, negara transit, atau negara makelar (broker)

Meskipun telah ada aturan internasional, perdagangan senjata ilegal ini masih pelik karena jika mengikuti definisi Dewan Perlucutan Senjata PBB (UNODA), perdagangan senjata legal jika tidak bertentangan dengan hukum nasional dan/atau hukum internasional. Hal ini menciptakan ruang abu-abu di mana perdagangan bisa jadi masih legal dari sisi nasional namun sebenarnya melanggar hukum internasional.

Menangani perdagangan senjata memang bukan hal yang mudah. Perlu komitmen dari pemerintah Indonesia, yang hingga kini belum menandatangani ATT, untuk mengatur distribusi dan penggunaan senjata. Kita harus menyadari bahwa teror bukan lagi hanya menyebarkan ketakutan namun juga senjata di tangan yang salah.

Video Diskusi “Lord of War” https://www.youtube.com/watch?v=_iZnZkDuLp0