Warna-warni ‘Islamisme’

Warna-warni ‘Islamisme’

Belakangan ini kata “Islamisme” makin sering digunakan. Selain di buku atau jurnal ilmiah, juga di penerbitan populer seperti koran. Kata ini merujuk kepada fenomena di mana Islam dipandang sebagai ideologi, bukan hanya sebagai agama. Selain untuk merujuk kepada ekspresi sosial-politik Islam, kata itu digunakan untuk menunjukkan penerapan prinsip-prinsip Islam, misalnya dalam bidang ekonomi dan sains.

“Islamisme” bahkan makin menggeser “fundamentalisme”. Ini positif. Pertama, “fundamentalisme” berasal dari kasus konkret penolakan kaum Kristen Evangelis di Amerika Serikat, pada awal abad ke-20, terhadap dimasukkannya teori sains mutakhir, seperti Teori Darwin, ke dalam kurikulum sekolah. Dari segi ini, penerapan “fundamentalisme” untuk Islam jelas tidak cocok.

Selain itu, “fundamentalisme” sering jadi keranjang sampah untuk menyebut semua paham atau gerakan Islam yang dianggap menentang modernitas, yang pemaknaannya sudah lama didominasi Barat. Maka, misalnya, jika sistem politik yang dominan di satu negara adalah demokrasi, siapa yang menentangnya berarti “fundamentalis”. Karena sebab-sebab di atas, “Islamisme” mengandung makna lebih asli. Kata itu juga lebih bernuansa dalam menggambarkan keragaman umat Islam.

Sayangnya, belakangan “Islamisme” pun sudah jadi keranjang sampah. “Islamis” diidentikkan dengan ekstremis, kalau bukan teroris, yang bersedia melakukan kekerasan atas nama Islam.

Dus, makna “Islamisme” perlu direhabilitasi. Variasi internalnya harus ditegaskan kembali. Dengan begitu, kita dimungkinkan untuk menisbatkan sesuatu secara lebih adil kepada seorang atau sekelompok muslim. Sebab, menyebut semua “Islamis” adalah ekstremis atau teroris jelas salah kaprah, hanya akan memperumit masalah, bahkan berbahaya.

‘Islamisme’ awal

Cara mudah pertama mencirikan “Islamis” adalah dengan menunjuk siapa yang bukan mereka. Di Indonesia, kita mengenal istilah “muslim KTP” atau “muslim abangan”, yang dipopulerkan oleh antropolog Clifford Geertz. Mereka jelas bukan Islamis. Mereka muslim nominal. Tapi Muslim non-Islamis lebih luas dari itu. Saya punya banyak kawan yang dengan bangga menyebut diri “muslim sekuler”. Sebagian dari mereka salat lima waktu atau kurang dari lima, bahkan pergi haji, sebagian lainnya tidak. Tapi mereka sepakat dalam satu hal: Islam tidak boleh jadi ideologi yang didesakkan ke ruang publik.

Nah, semua muslim di luar kelompok-kelompok di atas adalah “Islamis”. Tapi dalam kelompok ini pun terdapat variasi. Dari genealoginya, variasi ini mulai tampak ketika dunia Islam diharuskan memberi tanggapan terhadap makin terasanya dominasi Barat atas dunia Islam, yang secara fisik disimbolkan dengan masuknya Napoleon ke Mesir pada akhir abad ke-18.

Tanggapan dominan pertama muncul dalam bentuk Wahhabisme. Paham ini belakangan menjadi paham resmi Arab Saudi, yang kemudian, berkat dana minyak, disebarkan ke seluruh dunia. Para pendukungnya menekankan pentingnya tauhid, yang salah satu eksesnya adalah pemurnian Islam dari apa yang mereka sebut syirik. Karena fanatisme tinggi para pendukungnya, pada titik tertentu mereka menerapkan takfir (peng-kafir-an) atas kaum muslim lain.

Mereka juga menyebut diri Salafi. Alasannya, mereka berseru untuk kembali ke Islam yang awal (al-salaf al-shalih). Tradisi Islam yang tumbuh setelah masa awal ini harus ditolak. Juga pengaruh apa pun yang datang dari luar Islam. Inilah sebab anti-intelektualisme mereka: filsafat diharamkan karena berasal dari Yunani, tasawuf dari Persia, dan seterusnya.

Tetapi para pembaru abad ke-19, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh, juga mengklaim diri Salafi. Namun, berbeda dari kaum Wahhabi, mereka tidak menolak tradisi Islam atau apa pun yang bersumber dari luar Islam. Mereka hanya berseru agar kita bersikap kritis terhadap semuanya.

Memasuki abad ke-20, krisis yang melanda dunia Islam makin parah dengan makin intensifnya kolonialisme dan dibubarkannya kekhalifahan Utsmani pada 1924. Semua ini mempengaruhi pemikiran dan gerakan kaum Islamis. Perang-perang melawan kolonialisme makin sering menggunakan jargon jihad, misalnya, sekalipun hal itu dilakukan untuk tujuan nasionalis.

Islam dan kekerasan

Dalam konteks inilah Hasan al-Banna membentuk Ikhwan al-Muslimin (IM) di Mesir pada 1929. IM menekankan kesalehan pribadi dan pentingnya persaudaraan. Masa krusial IM berlangsung pada pertengahan abad ke-20, ketika represi pemerintahan Mesir terhadap mereka mengharuskan IM terpecah dua. Sayap radikalnya, dipelopori Sayyid Quthb, menyatakan perang terhadap rezim sekuler Mesir, yang mereka sebut jahiliyah. Sayap lawannya lebih berseru ke arah perubahan gradual, tidak dengan cara merebut kekuasaan secara kekerasan. Hingga kini, IM menjadi prototipe organisasi Islamis paling banyak dicontoh di dunia, dengan kedua sayapnya.

Dua hal penting harus dicatat di sini sehubungan dengan meningkatnya kekerasan kalangan “Islamis”. Pertama, ketika direpresi pemerintah Mesir, sejumlah aktivis garis keras IM hijrah ke Arab Saudi. Karena lebih terampil dan terdidik dibanding kaum muslim di Arab Saudi, mereka menjadi otak di balik pembentukan banyak perguruan tinggi di Arab Saudi, tempat orang semacam Usamah bin Ladin belakangan menuntut ilmu. Dalam ruang-ruang inilah terjadi penjumbuhan antara paham IM yang radikal dan Wahhabisme. Inilah cikal-bakal gerakan “Salafis-Jihadis”, sayap gerakan Salafis kontemporer yang membolehkan penggunaan cara-cara kekerasan bahkan terhadap muslim yang dianggap bersekutu dengan musuh.

Kedua, terjalin hubungan saling menguntungkan di antara para aktivis di atas dengan pemerintah Arab Saudi. Sekalipun gerah dengan hedonisme kerajaan, para aktivis di atas diuntungkan karena mereka dilindungi dan diberi dana untuk menyebarkan paham ke seluruh dunia. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, hubungan ini memperoleh momentum baru dengan terjadinya Revolusi Iran (1979) dan invasi Uni Soviet ke Afganistan (1981). “Energi jihad” pun disalurkan dalam kerangka ini: (1) dengan melipatgandakan bantuan Saudi untuk membendung Revolusi Iran ke dunia Islam; dan (2) dengan mengirim para mujahidin ke Afganistan.

Yang amat krusial adalah butir kedua di atas. Perang Afganistan menjadi momen di mana kalangan Salafis-Jihadis dari seluruh dunia berkumpul, dilatih menembakkan senjata dan merakit bom oleh intelijen Pakistan dan AS, serta didanai Saudi, yang bersekutu untuk memenangi Perang Dingin. Semangat jihad mereka pun meningkat ketika mereka merasa bahwa mundurnya tentara Soviet disebabkan oleh hebatnya perlawanan mereka. Mereka adalah Frankenstein yang diciptakan tapi lalu memakan korban tuannya sendiri di AS, Arab Saudi, dan Pakistan. Konteks inilah yang harus dipahami ketika kita membaca tindakan Al-Qaidah atau bekas pejuang Afganistan belakangan ini, yang sebagiannya menyebarkan teror atas nama Islam.

Indonesia

Beragam variasi Islamis di atas dapat ditemukan di Indonesia, dengan corak lokal tertentu. Wahhabisme amat terasa pengaruhnya pada gerakan Padri di Padang. Belakangan, dengan mengusung nama gerakan Salafi, ekspresi Salafisme-Wahhabisme juga kita temukan pada kelompok-kelompok tertentu yang merasa wajib memelihara jenggot dan yang sejenisnya.

Gerakan tajdid jelas pengaruhnya pada Muhammadiyah, sekalipun sisi puritanismenya mengingatkan kita pada Wahhabisme. Model Salafisme Afghani dan Abduh jelas tampak, misalnya, pada pemikiran pembaruan Nurcholish Madjid, yang menempatkan tradisi Islam pada posisi amat penting dan apresiatif terhadap peradaban Barat. Melupakan sayap Salafisme ini adalah kerugian besar. Itu hanya menandakan ketundukan kepada keinginan kaum Wahhabi, yang mengklaim bahwa merekalah satu-satunya wakil Salafisme dalam Islam kontemporer.

Sayap MI yang tidak radikal jelas mempengaruhi gerakan tarbiyah, yang pada era 1990-an berkembang menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan, di era reformasi, menjadi tulang punggung Partai Keadilan (PK) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keputusan untuk membentuk partai politik menandakan bahwa para aktivis gerakan ini ingin mempengaruhi kebijakan politik dengan cara-cara damai dan demokratis.

Mereka yang tergolong Salafis-Jihadis, kita tahu, juga ada. Sebagiannya, umumnya dalam jajaran kepemimpinan, adalah “alumnus” Perang Afganistan. Mereka kadang berbeda pendapat dalam soal apakah kaum muslim bisa dijadikan korban teror mereka. Dibanding kalangan Islamis lainnya, jumlah kelompok terakhir di atas sangat kecil. Sayang, tak diperlukan banyak orang untuk melakukan aksi dengan korban yang besar seperti yang mereka lakukan. Sayang juga, merekalah yang disukai headline koran di mana-mana.

TEMPO: Kamis, 25 Februari 2010