Penghargaan bagi Perempuan di Masa Pandemi

Penghargaan bagi Perempuan di Masa Pandemi

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) menggelar webinar nasional bertajuk “Perempuan di Tengah Pandemi: Beban yang Bertambah, Penghargaan yang Tetap Rendah?” pada hari jumat, 19 februari 2021. Acara ini menghadirkan tiga narasumber yaitu dr. Hj. Faida, MMR (Bupati Jember Periode 2016-2021), Maria Ulfah Anshori (Komisioner Komnas Perempuan), dan Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina). Diskusi dipandu oleh Siswo Mulyartono (Peneliti PUSAD Paramadina) sebagai moderator.

Ihsan Ali-Fauzi selaku direktur PUSAD Paramadina menyampaikan bagaimana pandemi mendorong kita untuk semakin sadar akan pentingnya peran perempuan dalam masyarakat. “Namun sayangnya, penghargaan yang diterima tidak sebanding dengan besarnya jasa perempuan. Kami meliput beberapa tokoh perempuan dalam video Cerita Pandemi: Keberagaman di Tengah Corona untuk menghadirkan kiprah perempuan yang kerap luput oleh media,” tuturnya.

Selain banyak dari tenaga medis di Indonesia yang berjenis kelamin perempuan, banyak studi menemukan bahwa pandemi lebih membebani perempuan. Hal ini diakibatkan oleh pembagian peran gender tradisional yang mengharuskan perempuan untuk lebih menanggung pekerjaan rumah tangga ketimbang laki-laki.

Hal tersebut diamini oleh Maria Ulfah Anshori yang menyampaikan hasil riset dan pemantauan media oleh Komnas Perempuan. Hasil survei Dinamika Perumahan Rumah Tangga dalam Masa Pandemi COVID-19 menemukan bahwa perempuan bekerja dua kali lipat daripada laki-laki dalam hal mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari tiga jam. Jika dicermati berdasarkan penghasilan responden, terdapat dua kali lebih banyak responden dengan penghasilan di bawah lima juta rupiah yang menyatakan bahwa hubungan dengan pasangan semakin tegang sejak pandemi COVID-19.

Hal tersebut berpotensi menimbulkan kekerasan psikologis dan ekonomi yang kerap dialami perempuan. “Perempuan berpotensi mengalami dampak yang khas karena gendernya, termasuk kerentanan pada diskriminasi. Selain beban domestik yang meningkat, angka kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan juga meningkat. Hal ini dipersulit pengada layanan aduan dan rumah aman yang harus tutup akibat pandemi,” ucap Maria.

Selain tantangan di atas, studi Komnas Perempuan juga menemukan bahwa perempuan secara individu maupun kolektif memiliki daya lenting yang lebih besar dalam menghadapi pandemi. Melalui berbagai skema ekonomi solidaritas seperti dapur umum dan gerakan keagamaan inklusif untuk perempuan dan kemanusiaan, kelompok perempuan berkontribusi dalam membangun ketahanan masyarakat saat krisis pandemi. Kerja sama sipil dan pemerintah menjadi kunci untuk memberdayakan perempuan dan mengatasi tantangan yang dialami kelompok rentan.

Hal itu tercermin dalam paparan dr. Hj. Faida yang menyoroti upaya pemerintah daerah dalam menanggulangi dampak COVID-19. Permasalahan pemotongan insentif untuk tenaga kesehatan oleh pemerintah pusat juga menjadi tantangan besar. Perlindungan bagi tenaga kesehatan yang tidak terlibat langsung dalam unit khusus penanganan COVID-19 seperti bidan kerap dilupakan, khususnya pada masa kelangkaan APD. Padahal, mereka juga memiliki resiko terpapar COVID-19 yang besar.

“Selain menyediakan infrastruktur kesehatan, pemda juga melakukan koordinasi dengan sipil khususnya di sektor ekonomi seperti pasar agar tata niaga dapat berjalan dengan mematuhi protokol kesehatan,” imbuh Faida.

Di tengah berbagai tantangan dan peluang penanggulangan dampak pandemi COVID-19 di atas, Siswo Mulyartono selaku moderator mengingatkan peserta agar tidak semakin membebani perempuan di tengah pandemi. “Kita tidak boleh melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kita, terutama laki-laki, selama ini sudah banyak merepotkan perempuan. Jangan tambah buat masalah di masa pandemi ini,” tutupnya.