Keberanian Perempuan Bergaun Hitam

Keberanian Perempuan Bergaun Hitam

Cerita ini tentang mereka yang berpuasa. Tentang mereka yang berdoa. Kisah tentang kota kecil yang dikelilingi ranjau. Dua kelompok yang pata hati. Diterjang panas matahari…

Cerita diawali Nadine Labaki (Amale) bersama sejumlah perempuan berpakaian hitam berjalan beriringan menuju makam. Mata mereka dikelilingi lingkar gelap. Namun mereka menunjukkkan keberanian bersama: mencegah konflik terjadi.

Film Where do we go now? disutradarai dan dibintangi oleh Nadine Labaki (Amale), seorang aktris muda asal Lebanon. Seperti halnya realita yang dunia masa kini yang masih menunjukkan banyaknya titik zona konflik bersifat intra-state war, film ini juga mengangkat kisah yang berlatar di satu desa terpencil di Lebanon yang rentan konflik dengan melibatkan kelompok Muslim dan Kristen.

Dalam rangka merayakan Hari Toleransi Internasional yang diperingati setiap 16 November, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina bersama PPIM menggelar nonton bareng dan diskusi film Where do we go now? Bertempat di Ruang Teater, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 25 Desember 2016. Tampil sebagai pembicara, Anna Suwandi peneliti PUSAD Paramadina.

Konflik banyak menelan korban yang mayoritas laki-laki. Posisi tersebut membuat kaum perempuan menderita berlipat, baik dalam kehidupan sosial, finansial dan psikologis. Disinilah Nadine memonjolkan peran (gerakan) perempuan dalam resolusi konflik sebagai inisiator perdamaian untuk meredam dan mengakhiri konflik melalui cara-cara nir-kekerasan (damai). Ia juga ingin menyoroti dua esensi: menegaskan adanya dualisme posisi perempuan dalam konflik, yakni sebagai survivor dan peace maker; serta pembuktian atas argumentasi bahwa ajaran agama bukan sumber konflik, melainkan penganutnya yang menggunakan agama sebagai dalih berkonflik.

Dalam konteks perdamaian dan resolusi konflik, sejumlah tokoh perempuan sudah banyak terlibat dan berkonstribusi secara aktif. Tapi, dari data UN Women menunjukkan selama satu dekade terakhir baru 9% jumlah negosiator perempuan yang dilibatkan dalam meja perundingan perdamaian. Fakta ini memperjelas pentingnya aksi terus mendorong terbukanya akses-akses perempuan ke tingkat pembuatan kebijakan dalam konteks bina-damai.

Dari film ini terdapat dua hal untuk didiskusikan, yakni: kehadiran Gerakan perempuan yang merupakan anak dari Gerakan Sosial. sebagaimana yang dijelaskan oleh Melucci (1996) bahwa gerakan sosial merupakan “gerakan (yang mayoritas dilakukan oleh aktor perempuan) yang membangun formasi aksi kolektif memerlukan solidaritas untuk memanifestasi konflik, kemudian bertujuan mengubah atau merombak sistem yang lama”. Dan pentingnya mengutamakan Non-violence resistance, yakni segala bentuk perlawanan dengan cara nir-kekerasan yang berorientasi pada perdamaian. Seperti yang dicontohkan oleh kaum perempuan.

Melihat pengalaman di Indonesia, kita mempunyai banyak pengalaman dalam hal resolusi konflik. Mulai dari konflik antar agama, kelompok, baik dalam skala lokal maupun nasional. Dari pengalaman konflik di Ambon 1999, misalnya, terdapat banyak jejak-jejak damai yang dilakukan kaum perempuan. Contohnya bagaimana mereka mengawali interaksi lintas umat pada saat konflik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok. Dari Aceh kita juga mendapatkan banyak pembelajaran atas peran perempuan baik pada saat konflik maupun pasca konflik, bahkan satu orang perempuan menjadi anggota juru runding perdamaian. Dari gerakan perempuan yang fokus dalam aksi lingkungan juga menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia memainkan peran sentral dalam menjaga kelestarian alam yang juga termasuk dalam ranah perdamaian.

Dari catatan diatas, maka penting bagi kita semua (laki-laki dan perempuan) untuk saling membangun kerjasama berbasis ramah gender guna meningkatkan harmoni kehidupan sosial dalam toleransi dan menjaga perdamaian.***