03 Feb Kesaksian Tuan Kahin
George McTurnan Kahin, Southeast Asia: A Testamen (London and New York: Routledge Curzon, 2003), xxii + 350 halaman.
Di kalangan akademisi Barat, khususnya mereka yang punya prestasi besar, menulis memoar bukanlah tradisi aneh. Tapi tak banyak buku sejenis yang ditulis peneliti Asia Tenggara atau, lebih khusus, Indonesia. Seingat saya hanya Clifford Geertz, yang sudah dianggap “duta besar antropologi untuk ilmu-ilmu sosial,” yang beberapa tahun lalu menerbitkan memoarnya, After the Fact.
Kesaksian George Kahin ini melanjutkan tradisi bagus di atas. Dan prestasi Kahin sama sekali tak kalah dari Geertz. Kita layak bersyukur bahwa ia mau menuliskannya. Kahin bukan pengamat biasa: ia akademisi-cum-aktivis dan pembuat sejarah; ceritanya bisa mengubah cara lama kita memandang sejarah, dan jejak langkah para aktornya, termasuk peran Amerika Serikat (AS), adikuasa baru pasca Perang Dunia II.
Kahin tergerak menuliskan memoarnya karena catatan sejarah yang umum diterima tidak sejalan dengan apa yang ia alami dan ketahui. Ia juga kesal karena banyak hal penting yang sengaja atau tidak telah diputarbalikkan, atau dicocok-cocokkan agar sejalan dengan mitos AS sebagai kaisar baru yang “baik” dan “bersih,” kawan rakyat Asia Tenggara yang bisa diandalkan. Lewat buku ini, kata Walter LaFeber dalam pengantarnya, Kahin ingin “speak knowledge to power.”
Kahin (1918-2000) adalah salah satu perintis studi kawasan Asia Tenggara di AS: ia ikut membentuk Program Studi Asia Tenggara di Universitas Cornell (1951), dan pendiri sekaligus direktur (1954-1988) proyek studi-studi mengenai Indonesia modern yang amat terkenal di universitas yang sama. Sebagai akademisi, ia paling dikenal karena karyanya mengenai revolusi Indonesia, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), dan mengenai keterlibatan AS di Vietnam, Intervention: How America Became Involved in Vietnam (1986). Keduanya kini sudah menjadi klasik.
Tapi Kahin bukan akademisi berhati kering: ketaatannya pada tetapan-tetapan kesarjanaan tak menutup simpatinya pada nasionalisme yang menggejolak di Asia Tenggara dan, sebaliknya, kecamannya pada Washington yang cupet akan hal itu. Padanya, kesetiaan pada fakta dan – betapapun elusifnya – kebenaran, memungkinkannya untuk menjadi akademisi-aktivis yang bermanfaat bagi orang banyak. Maka, selain berjasa besar untuk perkembangan studi-studi Indonesia lewat Cornell, Kahin juga dikenal sebagai oposan perang Vietnam yang omongannya terbukti benar.
Kahin masuk ke Indonesia pada Juli 1948. Dalam masa genting itu, lebih karena kenekadannya ketimbang keberaniannya, ia berhasil menjalin hubungan dengan aktor-aktor utama dari pihak Republik Indonesia (yang baru merdeka), Belanda (yang hendak menjajah lagi), dan AS (yang kepengin agar kekuatan Komunis tidak menang). Memoar ini, ditulis berdasarkan catatannya di “lapangan,” kadang dengan cara amat terus terang, dimulai dari titik ini.
Sebagian ceritanya sudah pernah kita dengar atau baca hanya sebagiannya, darinya atau orang lain. Misalnya tentang Jeepnya yang terkenal, yang membuat marah Belanda dan sejumlah pejabat AS: Kahin meletakkan bendera Indonesia dan AS di depannya, dengan yang pertama lebih tinggi 10 sentimeter; kadang mobil itu digunakan untuk kepentingan RI, yang artinya menambah lima persen kekuatan transportasi RI. Ia juga mengungkap wawancaranya dengan Bung Karno soal “Testamen Politik,” yang menganggap Tan Malaka berkhianat karena mendaku hanya kepadanyalah wasiat itu diberikan, tanpa menyebut empat orang lainnya.
Tapi banyak pula yang baru dan menarik. Soal bersatunya Amir Syarifuddin dan Musso pasca Perjanjian Renville, misalnya. Kahin bersaksi, hampir semua orang yang diwawancarainya menyatakan bahwa Amir “terlalu religius untuk menjadi Komunis”: di atas kapal Renville, ia pernah dipergok tengah membaca Bibel pada jam dua malam. Masih sekitar Amir, Kahin juga mengungkap bahwa Hatta marah besar kepada Nasution, yang langsung mengeksekusi Amir dalam peristiwa Madiun. Kahin juga cerita soal Mohamad Natsir, Menteri Penerangan, yang hanya punya satu pakaian resmi yang harus dicuci tiap hari. Dan sekalipun mengkritik Van Mook karena terlalu meremehkan nasionalisme RI, paparannya mengenai tokoh kontroversial Belanda itu cukup bernuansa.
Ketika bicara soal peran AS di tengah kemelut di atas, nada memoarnya meninggi. Bertentangan dengan mitos yang terus dipertahankan, kata Kahin, pemerintahnya lebih berpihak ke Belanda. Banyak detail menarik di sini, tapi ringkasnya: total bantuan AS ke Belanda selama masa krisis ini, yang sebagiannya digunakan untuk menggempur bayi RI, sembilan kali lebih besar dari jumlah hutang yang dijanjikannya untuk RI, 100 juta dolar, yang baru terealisasi beberapa tahun kemudian. Peran Merle Cochran, pejabat Menlu AS yang kemudian menjadi duber AS pertama untuk RI, amat menentukan. Semuanya berakibat fatal: karena dibohongi AS, Amir menjadi komunis dan Hatta, sepanjang hayatnya, terus bicara getir mengenai Cochran. Ironisnya, kebijakan AS itu baru berubah ketika peristiwa Madiun, yang dipicu konflik internal RI sendiri, meletus dan akibatnya kekuatan Komunis dipreteli.
Karena perannya sebagai koresponden Overseas News Agency (ONA) dan kedekatannya dengan para wartawan, kritisisme atas kebijakan AS ini ikut disuarakan Kahin, sekalipun tak banyak didengar. Ia karenanya dibenci Cochran, dituduh simpatisan Komunis. Di AS awal 1950-an, kebencian Cochran didukung Senator McCarthy yang tengah memburu kaum Komunis, dan karenanya paspor Kahin dicabut selama lima tahun.
Pada masa inilah Kahin membangun institusi Cornell. Pada bagian ini, yang paling menarik adalah cerita Kahin mengenai upaya pemerintah Orde Baru “meluruskan” Cornell. Ini berawal dari “Cornell Paper” mengenai peristiwa 1965, yang selesai ditulis pada awal 1966 dan berkesimpulan sementara bahwa peristiwa itu bukan kudeta PKI dan skenarionya harus ditelusuri ke sejumlah perwira menengah di Divisi Diponegoro, Semarang. Karena bertentangan dengan versi resmi, Cornell didekati untuk mengubah kesimpulan di atas. Ini berlangsung sejak Juni 1967 dan berpuncak pada Oktober 1975, dengan kedatangan Ali Moertopo dan Benny Moerdani ke Cornell. Pandangan Kahin dan kolega-koleganya tidak berubah dan “Cornell Paper” resmi diterbitkan pada 1973. Ajakan CSIS agar ada kerjasama CSIS-Cornell mereka tolak. Akhirnya, Benny mengirimkan anak buahnya ke Cornell, membawa 200 pound dokumen. Sayangnya, kata Kahin, tak satu pun dokumen yang mereka minta ada di antaranya.
Ajakan damai yang gagal ini mempengaruhi Kahin secara pribadi. Sejak 1975, ia dan istrinya, Audrey, dilarang masuk ke Indonesia hingga 1991. Bukunya mengenai revolusi tidak pernah berhasil diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Kata Kahin, ini mungkin karena Orde Baru alergi dengan istilah “revolusi” dan karena ia tidak bicara mengenai enam jam di Yogya di mana Soeharto menjadi hero. Sayang, memoar ini, yang terbit setelah Kahin sendiri wafat, tidak menyinggung apa kesan Kahin ketika ia diberi tanda jasa, pada 1995, oleh Orde Baru, sebagai orang asing yang simpati pada perjuangan RI.
Beberapa segi retrospeksi Kahin juga menarik. Misalnya, ia tak habis mengerti mengapa peran rakyat biasa dalam perang kemerdekaan kurang diperhatikan, dan fokus penelitian melulu ditujukan pada sisi diplomasi atau perjuangan bersenjata. Seakan, kata Kahin, keduanya bisa jalan tanpa rakyat yang berbondong-bondong mendatangi rapat politik di mana Bung Karno pidato, atau tanpa orang kampung yang sedia berasnya dimakan tentara yang sedang gerilya. Pada titik tertentu, Kahin tak bisa menyembunyikan kegeramannya kepada Soeharto dan Nasution, yang versi sejarah militeristiknya menyayangkan tunduknya para pemimpin RI kepada Belanda, di Yogyakarta, 19 Desember 1948, padahal mereka dilindungi tentara RI. Kata Kahin (96): “What protection?”
Tapi, dalam beberapa butir penting, memoarnya tidak beranjak jauh dari disertasinya, yang mengisyaratkan sekaligus kelebihan dan kelemahan Kahin. Kaya dengan sumber primer, ia tampak terlalu menempel dengan tokoh-tokohnya, kurang mengambil jarak. Dalam soal Tan Malaka, misalnya, ia sepenuhnya mengandalkan cerita lawan-lawannya. Ini diakuinya sendiri dalam pengantarnya untuk buku muridnya Ben Anderson, Java in a Time of Revolution (1972), yang “merehabilitasi” peran tokoh itu. Dalam memoar ini ia katakan, ia tidak bisa mewawancarai tokoh itu, karena Tan Malaka tidak mau bertemu dengan siapa pun orang AS.
Dalam tradisi akademis AS, Kahin mungkin juga akan dikritik karena mambawa-bawa politik ke dalam kelas. Di sini ia tampak terlalu bersemangat: mengajak mahasiswanya ikut menentang perang Vietnam (182). Bahkan akademisi-aktivis seradikal Edward Said pun sengaja menghindarinya, justru untuk membersihkan kampus dari godaan politisasi.***
Diterbitkan dalam Tempo (2 Februari 2004)
[wpfilebase tag=file id=44]