Menjawab Rumor Seputar Vaksin COVID-19

Menjawab Rumor Seputar Vaksin COVID-19

Vaksin menjadi sebuah harapan untuk menanggulangi penyebaran COVID-19. Namun, kehadiran vaksin tak sepenuhnya dipercaya masyarakat. Terlebih lagi dengan beredarnya beragam rumor dan hoaks terkait vaksin. Untuk merespon tantangan di atas, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) menggelar webinar nasional bertajuk “Menjawab Rumor seputar Vaksin COVID-19: Tinjauan Kesehatan dan Agama” pada hari jumat 29 januari 2021.

Acara ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Irma Hidayana (Lapor COVID-19), Zubairi Djoerban (Ketua Satgas COVID-19 PB Ikatan Dokter Indonesia), dan Abdul Mu’ti (Sekum PP Muhammadiyah). Diskusi dipandu oleh Husni Mubarok (peneliti PUSAD Paramadina) sebagai moderator.

Ihsan Ali-Fauzi selaku direktur PUSAD Paramadina dalam sambutannya menyampaikan kegelisahan masyarakat di tengah beredarnya beragam rumor terkait vaksin COVID-19. Hal ini dikhawatirkan dapat mengancam kerukunan di Indonesia. “Kami ingin mendapat masukan dari narasumber yang hadir mengenai arah konsolidasi kita dalam menghadapi pandemi yang tidak kunjung usai. Sejauh mana vaksin bisa menjadi solusi? Bagaimana kita bisa menjawab rumor dan misinformasi yang beredar di masyarakat?” ucapnya.

Rumor yang paling sering beredar mengklaim bahwa vaksin COVID-19 buatan Cina tidak aman dan efektif digunakan. Zubairi Djoerban meluruskan rumor ini dengan memaparkan mekanisme uji klinik vaksin yang terdiri dari berbagai fase sehingga keamanan dan efektivitas vaksin yang digunakan terjamin.

“Efektivitas vaksin Sinovac yang bervariasi di setiap negara diakibatkan perbedaan relawan dan epidemiologi. Mengapa kita pilih Sinovac dan bukan vaksin dari Eropa? Karena penyimpanannya lebih mudah dan sesuai dengan infrastruktur yang dimiliki Indonesia saat ini.” ucap Zubairi.

“Kekebalan pasca divaksin juga tidak bisa instan. Perlu waktu. Itu mengapa kita tetap harus menjalankan protokol kesehatan meskipun sudah divaksin. Kita tetap bisa terinfeksi COVID-19 meskipun sudah divaksin bukan karena vaksin dapat menularkan COVID-19, tetapi karena pasien terpapar virus sebelum daya imunitas terbangun,” imbuhnya.

Maraknya rumor dan misinformasi juga dipicu oleh ketersediaan data dan informasi yang tidak memadai dari pemerintah. Keselarasan data antara pemerintah pusat dan daerah juga kerap menjadi masalah dalam penanganan COVID-19. Irma Hidayana menekankan pentingnya ketersediaan data yang komprehensif dan komunikasi yang terbuka dari pemerintah untuk membantu masyarakat dalam mengawal penanganan COVID-19.

“Komunikasi kemantapan ilmiah vaksin COVID-19 perlu digencarkan untuk mengatasi kesimpangsiuran terkait vaksin. Hal ini penting agar kecurigaan masyarakat soal vaksin bisa teratasi. Akses dan ketersediaan vaksin juga harus dijamin oleh negara sebagai wujud pemenuhan hak warga negara khususnya di situasi darurat pandemi,” tutur Irma.

Irma juga menambahkan bahwa komunikasi resiko vaksin juga perlu disampaikan, bukan hanya sekadar promosi manfaat vaksin. Hal ini penting untuk meningkatkan literasi ilmiah masyarakat dan membiasakan masyarakat dalam membaca data.

Mengingat konteks masyarakat Indonesia yang relijius, upaya komunikasi publik terkait vaksin oleh tokoh agama menjadi penting. Hal ini diamini oleh Abdul Mu’ti dalam paparannya terkait peran agamawan. “Peran agamawan dan argumentasi berbasis agama penting untuk meyakinkan masyarakat yang masih bimbang soal vaksin. Penolakan terhadap vaksin sering bersumber pada narasi keagamaan sehingga perlu legitimasi agamawan pula untuk menjawabnya,” tutur Abdul Mu’ti.

Upaya penanganan pandemi memerlukan kerja sama dari berbagai pihak baik pemerintah, sipil, maupun kelompok berbasis agama. Adanya sinergi dan keterbukaan informasi diharapkan mampu menyebarkan informasi yang utuh dan benar kepada seluruh lapisan masyarakat.