Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi

Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi

Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik, dengan digelarnya sejumlah pemilihan kepala daerah serentak di beberapa wilayah di Indonesia. Di satu sisi, seperti yang terjadi pada pilkada DKI, ujaran kebencian marak terjadi dan fenomena persekusi atas nama agama juga mengemuka di beberapa tempat. Terdapat  buku “Hate Spin” atau Pelintiran Kebencian karya Cherian George yang diterjemahkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, menarik dipelajari bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam bukunya George melihat orang tergerak melakukan kekerasan karena ujaran kebencian tapi juga karena tersinggung oleh suatu ujaran. Penulis Freedom from the Press ini kemudian mengajukan konsep baru bernama hate spin, menjabarkan beberapa metode dan mengusulkan beberapa langkah penanganannya.

Untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai fenomena pelintiran kebencian, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina atas dukungan Asia Foundation menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku “Hate Spin” yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia berarti Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi.

Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara; Ihsan Ali-Fauzi selaku direktur PUSAD Paramadina, Endy M. Bayuni selaku editor The Jakarta Post dan Alissa Wahid dari jaringan Gusdurian. Acara dimoderatori oleh An-Nisa Tri Astuti selaku peneliti PUSAD Paramadina. Diskusi dan peluncuran buku bertajuk “Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi” digelar di Jakarta, Kamis, 21 Desember 2017.

Presentasi pembuka diskusi diawali paparan Ihsan Ali-Fauzi, menjelaskan isi, substansi dan urgensi penerjemahan buku Hate Spin kepada publik. Buku ini sangat relevan karena tahun 2018 dan 2019 tahun politik. Tahun 2018, Indonesia akan menyambut pilkada serentak. Sedangkan puncak pada 2019, adalah pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Data menunjukkan, bahwa pelintiran kebencian masih sangat potensial untuk digunakan elit politik dan bahkan menunjukkan tren yang meningkat akhir-akhir ini.

Lebih lanjut, Ihsan Ali-Fauzi menjelaskan mengenai bagaimana pemelintiran kebencian digunakan di tiga negara; Indonesia, India dan Amerika Serikat. Ketiga negara ini merupakan negara dengan mayoritas tiga agama yaitu Indonesia dengan Muslim, India dengan Hindu dan Kristen di Amerika Serikat. Pemelintiran kebencian menjadi tantangan yang spesifik bagi demokrasi di tiga negara tersebut, dan bagaimana ia bersinggungan dengan agama mayoritas. Namun demikian, karena tantangan mengenai pemelintiran kebencian ini terjadi di negara demokrasi, maka penyelesaiannya perlu dilakukan dengan cara yang demokratis pula.

Secara konseptual, Ihsan menjelaskan apa itu itu Hate Spin. “Kita perlu mengetahui dua konsep; yang pertama adalah hasutan dan kedua adalah keterhasutan” paparnya. Adapun yang dimaksud dengan kategori hasutan adalah Hate Speech atau dikenal dengan ujaran kebencian. Hate Speech adalah sebuah ujaran yang dengan sengaja, sistematis dan dibuat masif ditargetkan kepada pihak tertentu. Biasanya, hubungan ini pada umumnya terjadi antara ujaran kebencian yang dilakukan oleh mayoritas kepada minoritas. Contoh kasus yang relevan adalah ujaran kebencian yang dilontarkan oleh Sobri Lubis, sekjen Front Pembela Islam (FPI) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah harus dibunuh dan halal darahnya. Ujaran Sobri Lubis tersebut masuk dalam kategori Hate Speech. Yang kedua adalah Hate Spin atau pemelintiran kebencian. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh Cherian George dan ini merupakan konsep yang “murni” dari Cherian George sendiri.

Sementara Endy M. Bayuni menjelaskan mengenai signifikansi buku Hate Spin dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia memuji mengenai cara penyajian dan bagaimana buku ini dapat dinikmati ke oleh masyarakat Indonesia. Menurutnya, pelintiran sudah menjadi bagian dari proses politik. Hate Spin bisa dianggap sebagai fenomena baru dalam percaturan politik. Ini merupakan buku pertama yang membahas mengenai fenomena pelintiran kebencian dengan studi kasus tiga agama: Indonesia, AS dan India dengan pendekatan ilmu politik. Negara masih berupaya untuk mencari jalan tengah untuk melindungi dari fenomena pelintiran kebencian. Dalam buku ini, para wiraswasta politik mencari celah yang ada, ditambah meluasnya internet.

Dalam buku ini, Cherian Goerge masih percaya bahwa ada mekanisme koreksi diri dalam mengatasi ketersinggungan ini. Jika kita lihat konteks Indonesia, ada pasal 28 yang menjamin hak kewarganegaraan. Selain itu sudah ada KUHP yang mengatur mengenai ujaran kebencian. Jadi secara peringkat hukum dan kewargaan, kita sudah memilikinya. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa UU penistaan agama menjadi sumber maraknya intoleransi. Undang-undang ini menjadi anomaly karena bukan hanya menjadi penyebab terjadinya ujaran kebencian, tetapi UU ini yang menjadi tumbuh suburnya ujaran kebencian.

Mengenai peran media, menurut Endy, kelompok media, baik media arus utama maupun online seringkali mencari rating, klik, dan sebagainya untuk memanfaatkan momen politik. “Kita masih bisa berharap kepada beberapa media yang bebas dari kepentingan politik dan publik agar jurnalis dapat menjalankan fungsinya dengan baik” Ungkap Endy. Selain itu, Endy menegaskan perlu adanya peningkatan kapasitas jurnalis untuk memuat berita yang netral dan imparsial.

Di samping itu, Lanjut Endy, diperlukan ruang publik yang bebas untuk semua. Poin terakhir yang perlu dikembangkan adalah etika dalam bermedia sosial. Untuk sebuah demokrasi yang berkualitas, harus ada sebuah usaha untuk melakukan kode etik di media sosial. Poin terakhir, sebuah negara demokrasi: Indonesia, AS dan India tengah menghadapi “ujian” dari praktik-praktik yang tidak demokratis, semisal pelintiran kebencian.

Alissa Wahid selaku pegiat media sosial dan Jaringan Gusdurian menjelaskan bahwa Cherian George ini sedang mengkonfimasi apa yang tengah kita alami dan bukan hanya terjadi di Indonesia. Hate spin merupakan kejahatan politik. Sebagian besar umat beragama selalu menyatakan bahwa, mereka adalah kelompok terpilih. Tetapi kelompok beragama yang ekslusif, merasa bahwa mereka adalah pemilik kebenaran. Ketika ekslusivitas agama bersanding dengan mayoritarianisme, ini akan sangat berimplikasi kepada hak-hak sipil. Alissa merujuk data SAFENet yang menunjukkan bahwa terjadi kenaikan drastis persekusi oleh agama. Database dari Muslim Cyber Army, bahwa yang masuk dalam persekusi adalah karena “rizieq”.

“Saya pernah memposting di media sosial seperti ini: Pilkada Jakarta sudah selesai, politisi bisa bertransaksi yang lain, tetapi sampah-sampah sosial intoleransi ini siapa yang akan bertanggung jawab? Dan hal ini terkonfirmasi di buku Cherian George ini,” ungkap Alissa.

Lebih lanjut, Alissa menjelaskan bahwa sejak tahun 2016, jaringan Gusdurian melakukan pemetaan media sosial dan internet di Indonesia. Ternyata yang ditemukan adalah narasi ekstrim dan populisme. Dan ini terjadi tidak hanya di Indonesia. Intinya, yang berbeda hanyalah pelaku, tetapi dorongannya sama. Untuk konteks di Indonesia, narasi besarnya adalah lebih tajam lagi. Rezim sekarang dinarasikan sebagai rezim anti Islam. Dengan demikian, intoleransi sudah sampai pada kondisi yang merasuk ke banyak kelompok masyarakat. “Cherian George menyatakan bahwa hate spin ini murni adalah bisnis. Sentimen agama/kebencian sebetulnya komoditas politik saja,” jelas Alissa.

Diskusi kali ini bertujuan membahas substansi buku dan membedah tawaran Cherian George dalam upaya menangkal hate spin. Terjemahan buku ini adalah salah satu upaya untuk memperkuat jalannnya demokrasi di Indonesia dari ancaman intoleransi dan marginalisasi kelompok agama minoritas. Isi, substansi, urgensi serta solusi yang diurai dalam buku ini menjadi poin penting untuk didiskusikan***