Perdamaian dan Kekerasan: Dua Sisi Mata Uang dalam Studi Perdamaian

Perdamaian dan Kekerasan: Dua Sisi Mata Uang dalam Studi Perdamaian

Perdamaian dan kekerasan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Karenanya, dalam mengkaji kekerasan, penting sekali membincang prihal perdamaian. Begitulah kesan pertama yang timbul tatkala membaca tulisan Johan Galtung “Violence, Peace, and Peace Research”. Sebuah tulisan yang menjadi tonggak penting dalam diskursus studi konflik dan perdamaian di seluruh dunia.

Sebagai seorang sosiolog, Galtung mengajak para aktivis perdamaian melihat kekerasan secara lebih luas, yakni dengan mendefinisikan kekerasan sebagai usaha yang menghambat seseorang merealisasikan potensi dirinya. Berpijak dari definisi itulah Galtung kemudian berpendapat bila kekerasan tak melulu hanya berupa kekerasan personal yang dilakukan secara langsung lewat serangan fisik maupun mental, melainkan terdapat pula kekerasan struktural yang dilakukan secara tidak langsung, semisal yang dilakukan melalui tatanan sosial yang tidak adil. Dalam pandangannya, bentuk perdamaian juga ikut berkembang dengan mencakup perdamaian negatif (lawan dari kekerasan personal) serta perdamaian positif atau keadilan sosial (lawan dari kekerasan struktural).

Gagasan Galtung yang terangkum dalam artikel “Violence, Peace, and Peace Research” ini didiskusikan dalam forum RISOS (Reading in Social Sciences) hari Jumat 20 Oktober 2017. Sebuah kegiatan diskusi mingguan yang diselenggarakan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina untuk mendiskusikan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu sosial bersama para peneliti-peneliti muda. Pada kesempatan kali ini forum diskusi berlangsung intens dan hangat, dengan dihadiri oleh peserta magang PUSAD, beberapa peneliti, beserta Direktur PUSAD Ihsan Ali-Fauzi.

Diskusi dibuka Ryan Muhamad, salah seorang peserta magang, yang memuji posisi Galtung sebagai seorang pemikir yang dinamis dan menolak finalitas. Galtung mengakui bila perdamaian adalah suatu proses yang selalu berkembang. Kejelian pandangan Galtung disoroti oleh peserta diskusi lainnya, Hodari, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, melihat kelebihan utama dari tulisan Galtung tersebut tak hanya menghendaki penyelesaian kekerasan yang terjadi, tetapi menghendaki untuk mencegah terjadinya kekerasan.

Pencegahan kekerasan tergambar dalam tulisan Galtung ketika ia menjelaskan mengenai perdamaian positif yang menjadi lawan dari kekerasan struktural. Kekerasan struktural akan menciptakan tatanan sosial yang tidak adil dan rentan memunculkan polarisasi di masyarakat, yang pada akhirnya dapat berujung pada terciptanya konflik. Maka dengan menggagas perdamaian positif atau social justice, yang juga diiringi sudut pandang kajian pembangunan, Galtung berharap hal itu dapat mengikis tatanan sosial yang tidak adil. Ketika suatu kelompok masyarakat mengalami kekerasan struktural, maka mencegah sejak dini pecahnya potensi konflik perlu diusahakan.

Salah satu kritik gagasan Galtung diutarakan An Nisa, peserta magang dari mahasiwa FISIP UI, menilai sekalipun Galtung berhasil memberi kerangka dasar kajian perdamaian, namun luput memberikan penjelasan mendetail, khususnya dalam menjelaskan kondisi ketidaksetaraan yang muncul di dalam kekerasan struktural.

Hal senada diutarakan Husni Mubarok, Peneliti PUSAD, melihat salah satu tantangan utama yang belum terjawab dalam artikel Galtung tahun 1969 ini ialah bagaimana menemukan tolok ukur bagi kekerasan struktural. Mengingat sampai saat ini tidak ada suatu kesepakatan universal akan kondisi apa yang membuat suatu masyarakat dianggap melakukan kekerasan struktural.

Terkait dengan kritik dan tantangan yang diutarakan Husni dan Nisa, Ihsan Ali-Fauzi menegaskan bahwa salah satu jalan yang dapat dipilih untuk memecahkan masalah terkait tolak ukur kekerasan struktural ialah dengan menetapkan indikator-indikator perdamaian. Ihsan merujuk pada Peace Index, sebagai mekanisme yang dapat dipilih untuk menentukan indikator perdamain. Mewujudkan mekanisme Peace Index merupakan pekerjaan utama yang harus diwujudkan oleh para pegiat perdamaian, dan terutama PUSAD sendiri sebagai pelopor kajian perdamaian di Indonesia.

Forum rutin minguan Reading in Social Sciences yang dihadiri sebelas para peneliti ini berlangsung dinamis dan hangat. Salah satu kesimpulan dalam diskusi kali ini bahwa konsep Galtung mampu menjadi payung bagi kajian maupun advokasi perdamaian. Meskipun tulisan tersebut masih memiliki beberapa kelemahan dan tantangan, kedepannya akan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para aktivis perdamaian selanjutnya.

Lanjutan forum diskusi minggu depan akan membahas artikel Johan Galtung “Cultural Violence” (1990). Seperti biasa, para peserta diskusi diwajibkan untuk membuan respon paper. Diskusi gratis yang terbuka untuk umum bertempat di kantor PUSAD Paramadina, Lebak Bulus,Jakarta Selatan.

Abdurrachman Satrio, mahasiswa Hukum UNPAD yang sedang mengikuti Program Intership  PUSAD Paramadina tahun 2017.