Pidato Kapolri dalam Lokakarya Nasional Penanganan Ujaran Kebencian serta Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Pidato Kapolri dalam Lokakarya Nasional Penanganan Ujaran Kebencian serta Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Sambutan dan Pidato Kunci
Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti 
Lokakarya Nasional Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) serta Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Jakarta, 23-24 Juni 2016
Kerjasama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dengan Divisi Hukum Mabes Polri

Assalamu’alaikum wr. wb.

Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya, pagi ini kita masih diberikan kesehatan dan kekuatan untuk hadir dalam Lokakarya Nasional yang mengambil tema “Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) serta Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.” Saya berterima kasih kepada panitia dan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan acara ini. Masalah penanganan ujaran kebencian dan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini memang masih belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh jajaran di berbagai wilayah.

Ketika Polri mengeluarkan Surat Edaran Penanganan Ujaran Kebencian, muncul polemik karena ada kekhawatiran SE ini akan menjadi alat polisi untuk membungkam kebebasan berekspresi, terutama yang kritis terhadap pemerintah. Ini karena kami memasukkan pasal 310 dan 311 dalam SE tersebut. Sebetulnya ada latarbelakang kenapa dua pasal itu kami masukkan. Betul bahwa narasinya bukan termasuk ujaran kebencian. Tapi kami melihat konteks Indonesia berbeda. Jika ada tokoh agama dihujat, yang marah adalah pengikutnya. Jangan sampai kita salah menerapkannya. Diskusi mengenai hatespeech sudah sering kita lakukan persis karena kekhawatiran akan adanya penyalahgunaan.

Karena itulah kita mengeluarkan SE ini agar semua anggota dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Di dalam SE ini juga sudah ada pedoman langkah-langkah yang bisa dilakukan. Pendekatannya ditekankan agar lebih lunak, ada proses pencegahan, tidak harus diproses secara hukum. Kecuali yang sudah kelewatan memang harus kita proses dan kita pidanakan. Jadi pelaksanaannya bisa berbeda-beda. Karena itu sangat penting anggota Polri, khususnya Anda para Dir Binmas, memahami apa itu ujaran kebencian. Edarannya sudah tersebar ke seluruh Indonesia.

Selain itu, kita juga berharap dapat mengedukasi masyarakat, terutama dalam berekspresi di ruang publik, termasuk media sosial. Orang bebas berekspresi tapi jangan melanggar hukum, jangan seenaknya. Ada norma hukum yang mengatur. Syukurlah waktu itu hasil survei menunjukkan pasca-SE ini ada penurunan dalam penggunaan kata-kata yang menghina dan melecehkan.

Sementara yang terkait dengan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tugas polisi sudah ada dasarnya di Undang-undang Dasar negara. Negara wajib melindungi kebebasan beragama. Masalah kebebasan beragama ini dapat terjadi dalam lingkup intra-agama dan antar-agama. Konflik dalam lingkup intra-agama biasanya berkaitan dengan aliran, perbedaan khilafiah, bukan pokok. Hal ini sering terjadi, contohnya antara Sunni-Syiah di Sampang yang menimbulkan korban dan sekarang masih mengungsi. Contoh lain yang menimbulkan korban jiwa dan korban mengungsi adalah anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Mataram, dan terakhir di Bangka Belitung.

Indonesia adalah negara demokrasi. Di negara demokrasi, semua aliran boleh masuk kecuali yang dilarang undang-undang. Syiah boleh, Wahabi boleh, Salafi boleh, aliran apa saja boleh. Tidak ada larangan. Itu amanat konstitusi. Di sinilah polisi sering kali tidak memahami konstitusi padahal polisi adalah representasi negara. Saya sering sampaikan kalau ada masalah seperti ini, polisi harus melindungi secara maksimal. Kalau perlu bentrok, bentrok saja tidak apa-apa. Tapi memang masing-masing Kasatwil (Kapolda, Kapolres) berbeda. Ada yang berani ambil risiko dan ada yang tidak. Saya bisa melihat mana Kasatwil yang berani dan mana yang tidak.

Demikian halnya dengan ujaran kebencian. Ini sering terjadi namun tidak ada penindakan oleh polisi. Saya sering dengar di Bangil, ada ceramah yang mendorong kekerasan antara Sunni-Syiah, “bakar”, “bumihanguskan”, namun polisi diam saja. Padahal ini sudah melanggar hukum dan masuk kategori ujaran kebencian, yaitu menebar kebencian terhadap kelompok tertentu.

Di Pilkada Jakarta juga kemungkinan nanti akan marak ujaran kebencian terhadap salah satu calon. Kampanye dan provokasi anti-Cina dan non-Muslim pasti akan marak. Saya minta ini diwaspadai dan ditindak. Tidak harus selalu diproses secara hukum, tapi bisa dipanggil dan ditegur agar jangan diulangi lagi. Tindakan semacam ini sudah banyak dilakukan polisi, terutama terhadap ujaran kebencian di media sosial. Kita panggil, kita jelaskan masalahnya, dan buat pernyataan tak akan mengulangi. Ini pekerjaan polisi. Kalau kita tidak berbuat, lalu mau mengandalkan siapa?

Anda sebagai Dir Binmas punya infrastruktur hingga ke desa, ada Bhabinkamtibmas. Kepada mereka itulah Anda harus jelaskan apa itu ujaran kebencian, apa itu kebebasan beragama. Mana yang masuk ujaran kebencian dan melanggar konstitusi, mana yang bukan. Banyak ujaran tokoh agama yang sebenarnya masuk kategori ujaran kebencian tapi kita ragu menindaknya. Bukan berarti harus selalu ditangkap dan diborgol. Kita panggil saja, beri penjelasan, dan minta agar tak terulang kembali. Kalau kita tidak mendidik mereka, lalu siapa yang akan memberi tahu. Mereka begitu karena tidak mengerti ada undang-undang. Jangankan tokoh agama, kita sendiri saja banyak yang tidak tahu, betul kan? Karena itu saya minta Anda memahami betul apa itu ujaran kebencian dan kebebasan beragama.

Selain intra-agama, masalah kebebasan beragama terjadi dalam lingkup antar-agama. Ini biasanya menyangkut pendirian tempat ibadat, termasuk ruko-ruko yang dipakai untuk kegiatan ibadat. Kita tidak boleh berpikir dengan cara pandang mayoritas-minoritas. Kalau demikian, nanti kelompok mayoritas akan seenaknya saja. Jika mayoritas Muslim di satu daerah mempersulit pendirian pura atau gereja padahal ada izinnya, nanti di tempat lain yang mayoritas non-Muslim, masjid akan dipersulit dan diganggu juga. Tidak ada ujungnya. Karena itu kita tak boleh berpikir seperti itu. Dalam bernegara dan berbangsa kita harus mengacu pada konstitusi kita. Mayoritas atau minoritas sama tak ada bedanya, semua dijamin konstitusi. Kita harus mengacu ke sana.

Masalah pendirian tempat ibadat ini tidak selesai-selesai, seperti GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi. Di setiap daerah pasti ada. Kadang polisi hanya menjaga saja agar tidak terjadi bentrok. Instansi lain di pemerintah daerah kadang tidak peduli dan seenaknya saja. Kelompok minoritas seringkali tidak diperhatikan. Kalau sudah berurusan dengan kepentingan politik dan Pilkada, yang minoritas ini sering dikalahkan. Siapa yang harus bertindak adil dalam hal ini? Polisi! Polisi itu representasi negara. Ada yang merusak, tegakkan hukum. Ada yang unjuk rasa, jaga. Kalau ada yang ngotot memaksa, bentrok saja tidak apa-apa. Jangan sampai kalah oleh mereka.

Saya sering minta Kasatwil memberi paparan di Mabes Polri. Kita lihat apakah upaya mereka sudah maksimal atau belum. Kalau sudah maksimal berarti tidak ada kesalahan. Tapi kalau usahanya belum maksimal tapi sudah menyerah, itu berarti dia tidak pantas jadi pemimpin. Terkait masalah perizinan rumah ibadat, saya minta kepala daerah didorong untuk dapat menyelesaikan. Ada Kepala Kantor Kementerian Agama, Kesbanglinmas. Kita dorong mereka untuk dapat menyelesaikan.

Tugas kita jelas. Mulai dari pencegahan, penegakan hukum, dan pengawasan. Pemahaman terhadap hal ini perlu disampaikan ke seluruh jajaran. Saya berharap Anda semua yang mengikuti pertemuan ini dapat betul-betul memahami masalah ujaran kebencian dan kebebasan beragama sehingga bisa mengawasi dan menegakkan aturannya. Saya juga berharap usaha pencegahan dilakukan secara maksimal. Kita sosialisasikan ini hingga ke Bhabinkamtibmas dan kepada masyarakat, apa saja yang termasuk kategori ujaran kebencian. Kalau kebencian ditujukan kepada kelompok tertentu, apakah itu karena alasan suku, ras, agama, maka itu sudah masuk kategori ujaran kebencian. Dalam Surat Edaran saya yang lalu sudah ada pedoman apa saja yang harus dilakukan. Hanya mungkin yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan kita harus merujuk ke konstitusi.

Upaya kita selama ini belum maksimal dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kita harus sadar bahwa kita sebagai negara demokrasi sangat terbuka dengan kemungkinan masuknya ajaran agama dari luar. Nanti masih akan banyak aliran dan ajaran dari luar dan kita pasti akan menemukan penolakan masyarakat. Misalnya, ada penolakan warga Nahdlatul Ulama terhadap ulama-ulama Wahabi. Perlu kita lihat mengapa ada penolakan, apa isi ceramahnya, jangan asal menyetujui penolakan tersebut. Banyak yang bisa didiskusikan berdasarkan temuan di lapangan. Narasumber tentu dapat menyampaikan secara lebih jelas dan Anda dapat bertanya agar persoalannya lebih jelas.

Itulah yang perlu saya sampaikan. Akhirnya dengan mengucap basmalah, Lokakarya Nasional “Penanganan Ujaran Kebencian serta Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”, secara resmi saya nyatakan dibuka.

Sekian dan terima kasih. Wassalamau’alaikum wr. wb.