Potensi dan Adaptasi Survei di Masa Pandemi

Potensi dan Adaptasi Survei di Masa Pandemi

Krisis COVID-19 mengancam berbagai segi kehidupan setiap orang. Dampaknya tidak hanya dirasakan terhadap kesehatan tetapi juga terhadap perilaku, sikap, dan norma. Dalam upaya memahami dan menanggulangi krisis ini, muncul banyak pertanyaan riset yang mendesak untuk dijawab. Riset survei dalam hal ini memiliki potensi untuk berkontribusi, tetapi juga menghadapi sejumlah tantangan yang memerlukan penyesuaian.

Pada awal Juni 2020 lalu, jurnal Survey Research Methods menerbitkan volume khusus tentang survei di tengah COVID-19. Beberapa artikel dari volume tersebut dibahas dalam Reading in Social Sciences, diskusi rutin di PUSAD Paramadina yang mengkaji metode dan temuan di bidang ilmu sosial. Diskusi diselenggarakan secara daring melalui aplikasi telekonferensi Zoom pada Kamis, 18 Juni 2020, pukul 15.00 s.d. 17.00 WIB.

Diskusi dipandu oleh Irsyad Rafsadie, peneliti PUSAD Paramadina, dan dihadiri oleh sekitar 30 orang yang terdiri dari mahasiswa, serta peneliti di lembaga riset kebijakan dan lembaga pemerintah. Para peserta diskusi membincang potensi dan keterbatasan metode survei di tengah pandemi serta berbagi inspirasi dan strategi riset survei di tengah pandemi.

Vivi Zabkie dari Katadata Insight Center meyakini bahwa riset survei dapat berperan menyediakan wawasan seputar persoalan kebijakan publik dan perilaku masyarakat. Tapi di masa pembatasan fisik saat ini, survei tatap muka sulit dilakukan dan selama beberapa bulan terakhir, Katadata hanya melakukan survei jarak jauh.

Survei jarak jauh ini memiliki kelebihan karena umumnya lebih rendah biaya dan dapat menghindari risiko penyebaran virus lewat kontak fisik. Tetapi survei jarak jauh juga memiliki sejumlah keterbatasan, di antaranya adalah bias coverage karena tidak semua orang memiliki kemampuan dan akses yang sama kepada alat komunikasi jarak jauh.

Keterbatasan tersebut kerap mempersulit generalisasi untuk populasi besar seperti penduduk suatu wilayah. Beberapa penelitian mencoba mengatasi kendala tersebut dengan melakukan pembobotan, memadukan beberapa metode, dan mengolah data yang sudah tersedia. Tetapi meski demikian, pengakuan akan keterbatasan dan kehati-hatian dalam menarik kesimpulan tetap diperlukan.

Salah satu survei jarak jauh paling besar di masa pandemi ini barangkali adalah survei global terhadap pengguna Facebook hasil kolaborasi berbagai lembaga dan akademisi lintas negara sebagaimana digambarkan Kreuter et al. (2020). Memanfaatkan Qualtrics, survei singkat (kurang dari 5 menit) ini ditampilkan di newsfeed Faceboook dalam 53 bahasa dan menerima sekitar 1 juta respons setiap minggunya. Data agregasinya bisa diakses publik, sedangkan data non-publik atau non-agregasi bisa diakses oleh peneliti yang memiliki izin.

Berbeda dengan survei tatap muka, instrumen survei jarak jauh umumnya jauh lebih singkat dan sederhana karena ketahanan responden dalam menjawab pertanyaan lebih rendah dan tidak ada pewawancara yang dapat menjelaskan jika mereka ada pertanyaan. Dari pengalaman peserta diskusi, durasi kuesioner survei jarak jauh berkisar antara 10-25 menit. Lebih dari itu, responden biasanya akan merasa jenuh.

Salvatore Simarmata, kandidat doktor di Australia National University, menuturkan bahwa durasi survei bergantung pada seberapa banyak variabel yang ingin diketahui. Jika terlalu pendek, tak banyak juga yang bisa dijawab. Karena itu, peneliti sebaiknya bisa menyeimbangkan durasi yang paling sesuai dengan variabel yang sedang dikajinya.

Penyusunan instrumen survei jarak jauh umumnya tidak terlalu sulit untuk riset baru. Tetapi untuk riset jangka panjang atau yang sudah berjalan sebelumnya, perubahan instrumen tidak mudah karena harus menjaga komparabilitas.

Hal ini tergambar dari pengalaman Will et. al. (2020) dalam melanjutkan survei longitudinal terhadap kaum pengungsi dalam menjalani pendidikan di Jerman. Surveinya tidak bisa ditunda karena jika demikian tahun ajaran sudah berganti dan risetnya akan terputus. Akhirnya survei dilanjutkan secara daring dan instrumen disesuaikan dengan perubahan seminimal mungkin agar bisa dibandingkan dengan survei sebelumnya. Selain itu, wawancara dilakukan oleh pewawancara lama yang sudah akrab dengan responden.

Tantangan lain survei jarak jauh adalah dalam memastikan bahwa jawaban yang diberikan benar-benar datang dari orang yang bersangkutan. Hal ini diungkapkan salah seorang peserta diskusi yang pernah diminta oleh ibunya mengisi survei atas nama ibunya. Peneliti biasanya memastikan hal ini dengan melakukan spotcheck secara random dan melihat tingkat konsistensi jawaban. Peneliti lainnya mengatasi hal ini dengan melakukan wawancara secara langsung dengan telepon atau video konferensi.

Survei jarak jauh juga sering menghadapi kendala dalam hal tingkat respons yang rendah. Untuk mengatasi ini, peneliti biasanya menyediakan insentif bagi responden yang berpartisipasi. Menurut Akmal Salim, peneliti Litbang Kementerian Agama, hal ini cukup ampuh dalam meningkatkan respons terhadap survei online yang dilakukan lembaganya dalam mengetahui kegiatan ibadah masyarakat selama pandemi.

Para peserta diskusi memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam menentukan besaran insentif untuk responden. Ada yang ditentukan berdasarkan aturan keuangan lembaga, tapi ada juga yang ditentukan berdasarkan waktu yang dihabiskan responden dalam menjawab kuesioner.

Ashma Afifah, peneliti dari PPIM UIN Jakarta, menuturkan bahwa insentif survei biasanya tidak diberikan kepada semua responden karena hal itu dikhawatirkan melanggar kode etik dan mempengaruhi respons partisipan. Mereka yang ingin mendapatkan insentif biasanya diminta untuk meninggalkan nomor kontak. Tapi sebenarnya tak semua orang termotivasi oleh insentif karena banyak juga yang tidak mengisi nomor kontak.

Hal terakhir ini penting diperhatikan karena kemungkinan besar akan banyak penelitian daring yang dilakukan di masa seperti sekarang. Peneliti tentunya tidak ingin tingkat respons surveinya rendah karena orang sudah jenuh, dan tidak ingin mereka yang merespons hanya orang-orang yang hanya mengejar insentif saja.***