Sisi Gelap Demokrasi Kita

Sisi Gelap Demokrasi Kita

Salah satu capaian penting reformasi di Indonesia adalah tumbuhnya masyarakat madani (civil society) yang kuat. Namun demokrasi kita juga masih memiliki sisi gelap, yakni kelompok-kelompok garis keras yang mendakwahkan intoleransi dan menyebarkan kebencian. Mengapa sisi gelap ini belum juga kunjung terang? Bagaimana mengatasinya? Dan, sejauh mana rezim Jokowi – Jusuf Kalla dinilai mampu menerangi sisi gelap demokrasi kita?

Kepemimpinan yang tidak tegas, termasuk dalam memilih menteri yang cakap, serta buruknya sistem penegakan hukum meningkatkan kekerasan vigilantisme atau main hakim sendiri. Demikian pemaparan Sidney Jones dalam diskusi buku Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, Kamis siang (26/02/2015) di Jakarta. Menurutnya, vigilantisme ini makin mendorong kelompok intoleran untuk tumbuh dan menggunakan aksi kekerasan.

Sementara itu, Maman Imanulhaq, anggota DPR RI Komisi VIII menyayangkan kelompok Islam moderat, Nadlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak cukup berkontribusi dalam menghadapi kelompok intoleran ini. Hal ini terlihat dari sikap pseudo pluralism, mengampanyekan pluralisme namun melakukan tindakan intoleran, dan tidak adanya kolaborasi berkelanjutan yang ditampilkan keduanya.

Munculnya kelompok intoleran bukanlah sisi gelap, tetapi konsekuensi dari demokrasi, jelas Zainal Abidin Bagir narasumber lain dari CRCS UGM. Menurutnya, sisi gelap adalah ketika negara lemah saat kelompok ini melakukan kekerasan. Sehingga, memberangus kelompok tertentu bukanlah solusi, tetapi kekerasan yang harus diatasi. Untuk itu, perlu untuk meningkatkan kemampuan, kemauan, dan dukungan pada polisi, mewaspadai keberadaan dan hubungan antar kelompok intoleran, dan mendorong kelompok moderat untuk bertindak.

Peneliti PUSAD, Samsu Rizal Panggabean, menyoroti monopoli kekerasan yang harusnya dikuasai negara. Ketika negara gagal memonopoli kekerasan, maka harus berganti strategi. Rizal menyarankan agar masyarakat Indonesia mengubah perspektif bahwa keamanan tidak disediakan negara, tetapi harus diperjuangkan bersama. Indonesia membutuhkan demokrasi yang tidak menunggu sehingga gerakan sosial harus diperkuat.

Buku yang dibahas dalam diskusi ini berasal dari orasi ilmiah Sidney Jones dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), pada Desember 2013. Pidato tersebut kemudian ditanggapi sejumlah intelektual dan peneliti dari berbagai latar belakang: Zainal Abidin Bagir (Kepala Program Studi Agama & Lintas Budaya, UGM), Muhammad Najib Azca (pengajar di Fakultas Sosiologi UGM), Titik Firawati (pengajar di Fakultas Hubungan Internasional UGM), Sana Jaffrey (mahasiswa doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat), Elga J. Sarapung (Direktur DIAN/Interfidei, Yogyakarta), dan Jeremy Menchik (asisten profesor di Universitas Boston, Amerika Serikat). [Ayu Mellisa]