Ulama Perempuan di tengah Pusaran Wacana Bias Gender

Ulama Perempuan di tengah Pusaran Wacana Bias Gender

Bulan April lalu, momen penting bagi sejarah pergerakan perempuan Islam di Indonesia: Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dihelat. Sudah hampir 90 tahun, sejak Kongres Perempuan Indonesia 1928 digelar, ruang jumpa perempuan yang mewadahi para pegiat belum hadir kembali. Bertempat di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Cirebon, sejumlah kalangan pro perempan, di antaranya ulama, aktivis, praktisi, akademisi, kumpul ramai-ramai.

Ada beberapa hal yang patut dicatat dalam rangkaian KUPI ini. Pertama, terminologi ulama perempuan belum populer di Indonesia. Meski dalam sejarah ditemukan bahwa Indonesia telah memiliki rekam jejak sejumlah ulama perempuan, nyatanya belum banyak diketahui berbagai kalangan. Tercermin selama KUPI berlangsung, percakapan dan diskusi yang timbul masih terus dalam rangka membumikan konsep ini.

Pengertian ulama perempuan perlu diluruskan, setidaknya berdasarkan konsensus. Ada kesan, ulama perempuan ‘seolah-olah’ dihadapkan/vis-a-vis dengan ulama laki-laki. KUPI membedakan terminologi yang jelas antara konsep ‘perempuan ulama’ dan ‘ulama perempuan’. Definisi perempuan ulama adalah ulama yang bergender perempuan, sedangkan ulama perempuan –apakah ia bergender laki-laki maupun perempuan– mengacu pada mereka yang memiliki perhatian pada isu-isu perempuan semisal poligami, kekerasan seksual, buruh migran atau pemerkosaan. Ulama perempuan, sama bobotnya dengan ulama tafsir, ulama fiqh. Ulama dengan fokus tertentu.

Sebetulnya, terlepas dari apakah penggunaan ulama perempuan ataupun perempuan ulama, saya tidak melihat keduanya merupakan hal yang tumpang-tindih. Baik ulama perempuan maupun perempuan ulama, tetap sangat berkaitan dengan semangat gender mainstreaming (pengarusutamaan gender) yang tengah digagas oleh banyak negara di dunia saat ini. Demikian, selama konsep itu mampu membumikan kiprah perempuan ke ranah publik (ranah yang selama ini masih sangat didominasi oleh laki-laki) tetap perlu diakomodir.

Kedua, menginisiasi sebuah kongres ulama perempuan di tengah ancaman radikalisme, islam yang mengarah pada ekslusivitas serta populisme global, merupakan langkah yang tepat. Berbagai temuan kasus mengenai radikalisme, disebutkan bahwa dalam tahun-tahun terakhir, keterlibatan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri meningkat. Dalam sesi seminar internasional KUPI, Zainah Anwar pendiri Sisters In Islam dari Malaysia menegaskan, bahwa kekerasan ekstrimisme bukanlah konsep yang abstrak, ini realitas yang harus dihadapi.

Memperkuat pendapat di atas, laporan yang dirilis IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict) tahun 2016, menyebutkan bahwa peran perempuan sebagai aktor yang terlibat dalam kelompok teroris bertambah dan beragam. Ancaman ini semakin nyata sebab pelaku perempuan bukan hanya mereka yang notabene sebagai istri para jihadis, tetapi berasal dari beragam latar seperti mahasiswa atau buruh migran. Orang yang sebelumnya tidak tahu-menahu, tetapi memutuskan untuk terlibat dan mengambil peran.

Tantangan kedua, meningkatnya sejumlah pemikiran Islam yang ekslusif; yaitu Islam yang tidak membuka diri dengan budaya, perkembangan zaman maupun modernisasi menjadi hal yang penting menginisasi KUPI. Pembatasan seperti aturan berbusana atau peraturan jam malam yang diinjeksikan ke dalam sejumlah Perda semakin banyak meminggirkan ruang gerak kaum perempuan. KUPI menunjukan kapasitasnya dan berbicara mewakili pengalamannya, bukan dibebani aturan yang bahkan tidak pernah mewakili suara perempuan.

Di sisi lain, konteks global juga ditandai dengan populisme yang menguat. Terpilihnya Presiden AS Donald Trump, menjadi sebuah penanda bahwa maskulinitas dan superioritas laki-laki lebih ‘memenangkan’ hati publik, sekalipun di negara demokratis. Ketimbang calon penantangnya Hillary Clinton yang banyak berbicara soal keberagaman, toleransi, dan representasi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin. Terlebih lagi, selama masa kampanye, Donald Trump juga banyak mengutarakan seksisme (perbuatan misoginis karena ia adalah perempuan) pada lawannya itu, dan menebarkan sentimen rasisme kepada buruh migran. Ini penting dicatat sebab pada perjalanannya, tidak mudah bagi perempuan untuk masuk ke dalam pusaran kekuasaan yang selama ini dikuasai laki-laki.
Mengacu pada beberapa faktor di atas, kemunculan KUPI termasuk salah satu langkah signifikan bagi kiprah para perempuan di Indonesia. KUPI menampilkan wajah Islam yang pro terhadap HAM, dua konsep yang tidak mudah untuk diterima satu sama lain. Hal ini disebabkan, pendekatan HAM masih dianggap beberapa kelompok sebagai milik Barat dan tidaklah sejalan dengan nilai-nilai Islam. Namun, KUPI berhasil menghimpun kekuatan dan suara kaum perempuan dari berbagai pelosok Indonesia, maupun dunia, untuk duduk bersama dan sepakat bahwa Islam tidaklah anti terhadap HAM. Konsep Islam yang ramah terhadap HAM ini menjadikan sebuah kekuatan baru, untuk menghantam wacana-wacana yang dinilai masih bias gender.

Salah satu bentuk perlawanan terhadap wacana patriaki dominan, yang kuat muncul selama KUPI, salah satunya mengenai poligami. Siti Rukhaini Dzuhayatin, mantan ketua IPCHR (Komisi Permanen HAM) OKI, dengan tegas menyatakan bahwa “Poligami Bukanlah Ajaran Islam.” Sebelum Islam datang, praktik poligami sudah banyak dilakukan oleh berbagai agama. Justru Islam datang untuk melakukan ‘humanisasi’ atas poligami.
Senada dengan Rukhaini, Nur Rofiah dari PTIQ Jakarta juga melontarkan pendapat yang sama. Cara yang proporsional dalam melihat konteks ayat yang perlu dijadikan acuan. Qur’an Surat An-Nisa ayat 3 merefleksikan indikasi ketidakadilan bagi laki-laki dalam memperistri lebih dari satu perempuan. Dengan demikian, dalam ayat tentang poligami, juga mengandung pesan monogami yang kuat. Di sinilah pentingnya peran perempuan dalam melihat celah ayat-ayat yang rentan diinterpretasi secara patriarki. Lewat KUPI, sejumlah ulama perempuan dapat menawarkan interpretasi ayat yang inklusif, seraya menyodorkan pandangan baru yang lebih pro gender.

KUPI ditantang untuk mampu menghadirkan wacana Islam yang ramah terhadap gender, sembari melawat berbagai interpretasi ayat yang bias bagi posisi perempuan. Ini bagian dari tantangan ulama perempuan untuk kerja-kerja ke depan. Politisasi ayat-ayat Qur’an yang dilegitimasi agar perempuan ‘tunduk’ kepada superioritas laki-laki tidak terhitung banyak praktiknya. Saya kembali mengutip Rukhaini untuk membuat ajeg upaya ke depan. Pertanyaannya: “maukah kita mengalokasikan energi, emosi, fokus dan waktu-waktu kita untuk melawan ketidakadilan bagi perempuan?”

Tentu saja, langkah KUPI akan mudah terhenti bila negara tidak menyambut baik inisiatif ini. Di akhir kongres, KUPI menghasilkan sejumlah rekomendasi mencakup 18 tahun usia minimal pernikahan anak, fatwa haram mengenai tindak kekerasan seksual dan pemiskinan perempuan akibat industrialisasi. Demikian, KUPI membutuhkan sinergi yang solid antara gerakan perempuan di level grassroot dengan sejumlah aktor pemangku kepentingan. Negara harus mampu dan mau berdiri di garis keadilan bagi perempuan. KUPI tidak hanya soal diseminasi sejarah bahwa ulama perempuan di Indonesia tak terhitung banyaknya, dan kiprah mereka memicu panggilan kita untuk upaya-upaya ke depan. KUPI juga sebagai acuan dalam menampilkan wajah Islam yang inklusif, pro HAM dan ramah bagi perempuan.