Agama Gagal Bawa Damai?

Agama Gagal Bawa Damai?

Di dinding Facebooknya, seorang kawan menulis, “Agama gagal bawa perdamaian.” Itu sesudah dia berdiskusi dengan M. Dawam Rahardjo, seorang pakar yang juga guru yang amat saya hormati. Saya duga, otak dan hati mereka sedang panas melihat kasus-kasus kekerasan agama di Banten dan tempat-tempat lainnya. Dan mereka tak sendirian.

Maunya, saya setuju dengan pernyataan itu. Ekspresi agama belakangan ini memang menjengkelkan. Sepertinya, di mana ada kekerasan, di situ ada agama. Sebab, sudah banyak contohnya, dan–ya, itu tadi–menjengkelkan, saya tak mau menyebutnya lagi di sini. Ini juga yang membuat sejumlah kalangan di tempat lain marah kepada agama. Pada 2005, sekelompok orang menulis buku empat jilid, lebih dari seribu halaman, khusus tentang tema itu: The Destructive Power of Religion: Violence in Judaism, Christianity, and Islam.

Tapi, jika betul begitu, bahwa agama pada dasarnya begitu, apa yang bisa kita perbuat? Saya bertanya begini karena saya tak suka menjadi seseorang yang tak bisa berbuat apa-apa di depan takdirnya. Seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin dengan laki-laki yang tak disukainya. Itu bukan karena saya agamis-agamis amat, melainkan karena kita hidup di tengah banyak orang yang percaya pada pentingnya agama–kadang untuk alasan yang masuk akal. Walhasil, jika pun Anda seseorang yang amat sekuler, bahkan membenci agama, Anda tetap perlu mengajukan pertanyaan itu.

Pilihannya memang tak gampang. Membubarkan agama tentu tak bisa, karena guru saya itu sendiri seseorang yang sangat agamis. Melarang agama juga tak boleh, sebab itu melanggar hak asasi manusia, seperti yang dilakukan di Cina atau Arab Saudi. Jadi, bagaimana? Jangan-jangan kita salah bertanya. Pertanyaan kita seharusnya bukan apakah pada dasarnya agama “gagal” atau “berhasil” membawa perdamaian. Pertanyaan ini, yang esensialis, memandulkan kita sebagai manusia, aktor yang bisa berbuat sesuatu, sekalipun kita bukan seseorang yang agamis.

Kita juga tahu bahwa pernyataan itu salah karena ada orang seperti Martin Luther King Jr., Mahatma Gandhi, atau Malcolm X, yang mati justru karena mereka menentang rasisme dalam berbagai bentuknya. Fakta ini menunjukkan kebenaran sederhana yang mustahil dibantah: agama melahirkan banyak warna, tergantung para aktornya, pemeluknya.

Maka, semestinya kita bertanya: bagaimana, kapan, mengapa, dan sejauh mana agama bisa (atau tidak bisa) menjadi sumber daya atau agen perdamaian? Memang ini lebih sulit dijawab, karena untuk itu diperlukan riset dengan otak dan hati yang dingin. Kadang juga tidak populer, karena ada kesan kita tak peduli-peduli amat kepada kekerasan berlabel agama. Itu juga menuntut kita untuk melihat masalah lebih mendetail, tidak serampangan.

Tapi pertanyaan itu jelas lebih “manusiawi”, lebih membuka peluang bagi kita untuk melakukan intervensi. Pertanyaan itu lebih berorientasi pada pemecahan masalah, karena kita bisa tahu lebih banyak mana das sein dan mana das sollen, dan mengapa di antara keduanya ada jarak. Untuk memahami mengapa Jemaat Ahmadiyah di satu tempat tertentu menjadi sasaran tindak kekerasan, misalnya, kita juga perlu mengetahui mengapa jemaah yang sama tidak menjadi sasaran yang sama di tempat lain. Kita wajib bertanya: jika fatwa MUI dianggap menjadi pemicunya, mengapa fatwa yang sama tidak menjadi pemicu di tempat lain?

Strategi bertanya ini penting, karena dengannya kita bisa tahu lebih banyak apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah ekspresi agama yang penuh dendam dan kekerasan. Dengannya, kita tahu bagian mana dari negara atau pemerintah (dan siapa) yang patut disalahkan dan dibenahi. Juga bagian mana dari doktrin, praktek, atau organisasi massa keagamaan yang patut didukung dan mana pula yang patut diluruskan.

Sayangnya, pertanyaan ini jarang sekali kita tanyakan, apalagi kita pelajari sungguh-sungguh. Kita sudah tak adil kepada diri sendiri: maunya agama membawa perdamaian, tapi tentangnya kita tak banyak tahu dan tidak ada niat untuk tahu lebih banyak. Diam-diam kita bertindak seperti polisi yang datang sesudah aksi kekerasan terjadi. Kita hanya bisa mencatatnya, mengecamnya secara ad hoc, untuk kembali kaget dan sedih ketika hal yang sama terjadi lagi.

Kita perlu mencontoh para sarjana dan aktivis agama serta perdamaian, seperti Scott Appleby atau Marc Gopin. Atau Mohammed Abu-Nimer, yang bukunya, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam baru-baru ini diterbitkan Paramadina. Maaf jika ada kesan saya sedang mempromosikan buku terbitan sendiri. Saya hanya ingin menekankan pentingnya arah yang ditempuh orang-orang ini, dan banyak lagi yang lainnya, dalam rangka mencari tahu dan menomorsatukan sisi positif agama dalam kaitannya dengan kekerasan dan perdamaian.

Kalau tidak begitu, saya khawatir kita kehabisan akal melihat kasus-kasus kekerasan berlabel agama. Dan kita seperti Siti Nurbaya: tidak bisa berbuat apa-apa di depan aksi-aksi kekerasan itu, karena hal itu sudah dianggap suratan takdir, sudah “pada dasarnya begitu”.

Sumber publikasi: Koran Tempo, 17.02.2011