Indonesia Perlu Buat Program Deradikalisasi Khusus Perempuan dan Anak

Indonesia Perlu Buat Program Deradikalisasi Khusus Perempuan dan Anak

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) Sidney Jones menuturkan Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Kepolisian, perlu membuat program deradikalisasi khusus bagi perempuan dan anak-anak.

Dalam sebuah lokakarya internasional dengan tema “Radikalisasi dan Deradikalisasi” di Goethe Institut, Jakarta, Kamis (26/11/2015), ia mengatakan bahwa sekitar 45 hingga 50 persen warga Indonesia yang dipulangkan dari perbatasan Turki dalam perjalanan mereka ke Suriah adalah perempuan dan anak-anak.

Sebelumnya, mereka hendak bergabung dengan kelompok bersenjata ISIS.

“Ini menandakan bahwa Indonesia harus membentuk program khusus untuk perempuan dalam mencegah radikalisasi, khususnya memberdayakan perempuan untuk membendung masuknya pengaruh radikalisme dalam keluarga,” ucap Sidney.

Menurut dia, sebagian besar orang akan terfokus pada laki-laki saat bicara tentang radikalisasi dan terorisme. (Baca: Polri Mencatat Ada Sekitar 70 WNI Kembali dari Suriah)

Padahal, perempuan juga berperan besar dalam menggerakkan orang-orang terdekatnya, terutama anggota keluarga, untuk bergabung dengan kelompok radikal.

“Contohnya seorang pria di Batam yang dipulangkan dari Turki, dia mengatakan sebenarnya tidak ingin pergi ke Suriah, justru istrinya yang mendorongnya untuk bergabung dengan ISIS,” ujar peneliti Indonesia-Filipina-Pasifik Amnesti Internasional pada 1985-1988 itu.

Maka dari itu, Sidney mengungkapkan pemerintah Indonesia perlu memikirkan program anti-radikalisasi bagi peremuan. Kalau bisa, kata dia, yang menjalankan program tersebut juga perempuan.

Peran Muhammadiyah dan NU

Cara lain yang dinilainya cukup efektif untuk menangkal pengaruh radikalisme adalah memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lokal seperti Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) atau yang berafiliasi dengan Muhammadiyah di daerah-daerah.

Meskipun organisasi-organisasi pemudi Islam semacam itu tidak ditujukan untuk melawan terorisme. (Baca: Perempuan Indonesia Ingin Gabung dengan ISIS, Komnas Perempuan Kritik Deradikalisasi)

Namun, keberadaannya mampu dimanfaatkan untuk merangkul kembali warga Indonesia yang telah teradikalisasi, termasuk mereka yang gagal bergabung dengan ISIS di Suriah.

Peran organisasi-organisasi itu sangat penting untuk memastikan orang-orang yang sebelumnya berniat bergabung dengan ISIS, tidak memelihara kekecewaan yang bisa menjadi pemicu untuk radikalisasi lebih jauh.

“Banyak di antara keluarga-keluarga yang dipulangkan dari Turki itu tidak punya apa-apa sekarang, jadi organisasi seperti Fatayat dapat berperan sebagai pihak yang bisa membantu dan membawa orang-orang itu membaur kembali dengan masyarakat,” tutur Sidney yang merupakan pengamat pergerakan teroris di Indonesia.

Sebelumnya pada Maret, Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan ada 16 WNI yang ditahan di perbatasan Turki saat berupaya menyeberang ke Suriah karena tidak memiliki dokumen imigrasi lengkap.

Belasan WNI yang kemudian dipulangkan itu diisukan ingin menyeberang ke Suriah melalui Turki untuk bisa bergabung dengan kelompok bersenjata ISIS.

Isu radikalisme dan terorisme kembali marak diperbincangkan setelah pada 13 November lalu, ISIS mengaku bertanggungjawab atas serangkaian penembakan dan pengeboman di Paris, Prancis, yang menewaskan 129 orang dan melukai 352 orang lainnya.

Sumber: kompas.com, 26 November 2015