Jalan Pulang Mantan Teroris

Jalan Pulang Mantan Teroris

Waktu pembebasannya pun tiba. Ini penantian panjang yang sungguh-sungguh ditunggu. Setelah 6 tahun 4 bulan mendekam di hotel prodeo, Rahmad kembali menghirup kebebasan. Ia pulang ke rumah tanpa sambutan seorang pun anggota keluarganya. Hanya suara sang kakak yang berkabar lewat telepon seluler.

Berbekal surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan, Rahmad mencoba menyambung hidup. Susah payah mencari pekerjaan, sekalipun hanya jadi tukang angkat-angkat barang. Banyak orang masih curiga, termasuk tetangganya. “Ngobrol apa saja sama Rahmad, jangan dekat-dekat, dia kan mantan teroris,” ujar Bu Yati kepada Fauzan, suaminya.

Rumah mereka berhadap-hadapan di kampung itu. Rahmad hanya geleng-geleng kepala ketika tak sengaja mendengar percakapan itu.

Nasib mempertemukannya dengan Andi, seorang teman yang juga sesama mantan narapidana teroris. Ia pun kemudian bekerja membantu Andi pada usaha sablon. Andi mulai membangun hidup, mencoba membaur dengan masyarakat yang cukup terbuka.

Kisah Rahmad adalah cerita yang dibangun oleh Arifudin Lako dalam film pendek berdurasi 40 menit. Film berjudul Jalan Pulang ini diputar dalam acara peluncuran buku Keluar dari Ekstremisme dan pemutaran film Jalan Pulang di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, 27 Februari lalu.

Cerita mengalir begitu saja. Sebetulnya kisah ini masih bisa dieksplorasi. Naskah dan sinematografinya masih bisa diperkaya. Namun niat sekaligus keberanian Arifudin Lako membuat film ini patut diberi apresiasi. Tak banyak film yang mengangkat kisah teroris.

Arifudin Lako atau akrab dipanggil Iin adalah mantan narapidana terorisme di Palu. Pemuda kelahiran 20 September 1978 ini pernah merasakan dinginnya tembok penjara karena terlibat pembunuhan Ferry Silalahi, jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu pada 26 Mei 2004 bersama beberapa temannya. Pada 13 Juli 2010, Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, menghukum penembak jaksa Fery ini 8 tahun 6 bulan penjara.

Lewat film ini, Iin telah menemukan jalan pulangnya, mengajak semua orang ke arah kerukunan dan perdamaian. Bersama Adriani Badrah, aktivis yang mendampinginya sejak 2005, Iin mulai membangun upaya perdamaian di Poso. Ia aktif menjalankan berbagai kegiatan di Rumah Katu.

Penggarapan Jalan Pulang dilakukan setelah ia memenangi kompetisi video pendek untuk karya berjudul 2/3 Malam yang diadakan Tempo Institut tahun lalu. Mereka menggandeng musikus asal Palu, Rival Himran. Iin menggarap naskah dan penyutradaraannya pada Agustus-September 2017. “Ya mengalir saja, main tulis sendiri saja naskahnya,” ujar Iin.

Awalnya, ia membuat film Jalan Pulang untuk membangun rasa percaya dirinya sebagai mantan narapidana terorisme. “Awalnya untuk membangun rasa percaya diri. Tidak mudah dengan stigma teroris, radikal.”

Selain itu, ia ingin membuat Poso lebih positif, tidak dicap sebagai daerah yang tidak aman, sarang teroris. Ia mengatakan Poso sudah berangsur membaik, aman, dan layak dikunjungi lagi. Kalau masih ada sisa teroris, menurut dia, itu sudah kecil sekali. “Banyak napi teroris yang sudah kembali,” ujarnya.

Dengan film ini, Iin ingin mengajak masyarakat ikut menerima para mantan napi teroris hidup kembali di tengah masyarakat, membangun hidupnya. Stigma menyulitkan mereka dan berpeluang mengantar mereka kembali ke kegiatan dan kelompok lamanya.

Iin terlibat dalam kegiatan terorisme dari kelompok Jamaah Islamiyah saat itu karena dendam. Ia bukanlah penganut Islam yang taat, apalagi radikal. Ia suka nge-band, bahkan tak pernah akrab dengan masjid. Yang ada malah nongkrong menggoda para gadis yang berangkat ke masjid. Bersama teman-teman gengnya, ia suka mabuk-mabukan.

Ketika konflik pecah di Poso pada 1998, Iin baru setahun lulus SMA. Tapi konflik saat itu tak lama. Konflik kembali pecah de-ngan eskalasi tinggi di Poso pada 2000. Keluarganya tercerai-berai. Beberapa saudaranya hilang dan meninggal. Rumah salah satu saudaranya juga terbakar. Hal ini membangkitkan kemarahan remaja ini.

Ia tergerak balas dendam dan berniat bergabung dengan Laskar Jihad yang pernah dilihatnya di televisi pada konflik di Ambon. Laskar Jihad waktu itu datang ke Poso. Iin kemudian mencari jalan bergabung dengan para guru ngaji dari Jawa itu dan aktif mengikuti pengajian mereka.

Iin mengaku bahkan tak tahu nama asli, tak hafal nama mereka, karena para guru ini menggunakan nama alias seperti Mustafa, Ahmad, atau Abdullah. Ia pun terpilih sebagai salah satu pemuda yang akan dilatih dalam operasi khusus mereka. “Saya pikir materi pengajian dan latihannya berguna untuk membunuh musuh.” Belakangan baru Iin dan kawan-kawannya tahu bahwa para guru itu bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah.

Selepas kasus penembakan jaksa Ferry Silalahi, Iin dan teman-temannya menjadi buron. Suatu saat ia bertemu dengan Adriani Badrah dan suaminya. Adriani mengajaknya berdiskusi hingga Iin berkeinginan menyerahkan diri kepada polisi. Kata Adriani, “Ibunyalah yang menguatkan niat Iin untuk menyerahkan diri hingga akhirnya mendapatkan jalan pulangnya.” DIAN YULIASTUTI

Read more at: https://koran.tempo.co/konten/2018/03/03/428187/Jalan-Pulang-Mantan-Teroris