
13 Jan Keadilan berdasarkan Angka: Naiknya Bayang-bayang Vigilantisme di Indonesia
Vigilantisme tengah marak di Indonesia. Sana Jaffrey menyelidiki mengapa kapasitas koersif masyarakat semakin menguat dan apa implikasinya.
Tiga rentetan unjuk rasa Bela Islam di Jakarta dianggap sebagai tamparan keras terhadap wibawa Presiden Joko Widodo. Selain skala mobilisasi masyarakat di seputar isunya, para pengamat terheran-heran oleh ambivalensi pemerintah menghadapi desakan untuk menghukum Ahok, gubernur Jakarta yang Kristen-Tionghoa, atas tuduhan penodaan agama.
Presiden pun akhirnya mendatangi unjuk rasa 2 Desember 2016, meski kerap berjanji tak akan tunduk kepada tekanan massa. Duduk di antara para pengunjuk rasa, dia diceramahi soal ‘keadilan’ oleh pemimpin Front Pembela Islam yang dikenal sebagai kelompok vigilante. Kapolri juga bimbang. Sempat melarang kegiatan dengan peringatan keras untuk tidak mengganggu ketertiban umum, dia lalu membolehkan dengan syarat pindah tempat.
Menyusul aksi unjuk gigi di ibu kota, berbagai serangan terhadap kelompok minoritas agama di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya semakin memperbesar kekhawatiran akan mencuatnya tantangan Islamis terhadap pemerintahan Jokowi. Tak ada yang memungkiri dimensi sektarian dari peristiwa-peristiwa tersebut ataupun bobot politisnya. Tetapi, jika dilihat sebagai fenomena lebih besar di mana massa menuntut penegakan hukum sesuai kehendaknya dengan ancaman kekerasan atau menghukum langsung dugaan pelanggaran, vigilantisme atau main hakim sendiri sebenarnya cukup lazim di Indonesia.
Dari 2005 sampai 2014, database Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) mencatat 33.627 korban kekerasan main hakim sendiri di 16 provinsi yang mencakup 50 persen populasi penduduk Indonesia (Gambar 1). Dari jumlah tersebut, 1.659 di antaranya meninggal dunia. Sisanya menderita cedera parah.
Sebagai gambaran, kerusuhan komunal dan bentrokan politik di periode yang sama menelan 10.433 korban, termasuk 637 korban jiwa. Kekerasan skala-besar memang lebih mendapat sorotan nasional, tapi dampak kumulatif dari vigilantisme sebenarnya tiga kali lebih tinggi.
Beberapa sarjana pernah mencatat pengeroyokan membabi-buta terhadap terduga maling dan dukun di masa Orde Baru atau bahkan di masa kolonial. Tapi, frekuensi kekerasan vigilante meningkat drastis sejak Reformasi. Pada 1998, serangkaian pembantaian dukun santet di Jawa Timur membuat persoalan ini mendapat sorotan tapi para pengamat juga mengkhawatirkan maraknya insiden pengeroyokan di Jakarta.
Sebuah studi sistematis mengenai masa-masa awal transisi tadi mengakui tren naik ini dan mengaitkannya dengan perubahan pesat di tingkat lokal berkat kebijakan desentralisasi. Dia kemudian memprediksi vigilantisme akan mereda seiring masyarakat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang ada. Tapi data terbaru dari SNPK menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih menurun, frekuensi serangan massa mengalami peningkatan 25 persen antara 2007 dan 2014 (Gambar 2). Tren ini sejalan dengan naik dan mengakarnya vigilantisme di negara demokrasi baru lainnya seperti Guatemala, Nigeria, Filipina dan Afrika Selatan.
Selain peningkatan dari segi kuantitatif, data SNPK juga menunjukkan pergeseran kualitatif: vigilantisme di masa demokrasi di Indonesia menyasar pelanggaran yang jauh lebih luas. Serangan terhadap dukun santet relatif sedikit, tapi maling kelas teri masih menjadi pemicu utama vigilantisme di seputar pengendalian kriminal. Terduga pelaku kecelakaan lalu lintas, pemerkosaan dan pelecehan seksual juga merupakan sasaran langganan.
Tetapi yang paling menonjol adalah meningkatnya penargetan terhadap ‘kesalahan’ sosial dan ideologis. Ini mencakup pelacuran, perzinaan, hubungan sesama jenis dan penjualan makanan di bulan puasa. Pembubaran kegiatan kelompok agama minoritas dan kelompok yang dianggap kiri juga meningkat. Secara umum, data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar serangan vigilante menindak pelanggaran yang diatur oleh undang-undang hukum pidana (Gambar 3).
Rincian bentuk vigilantisme beragam. Di banyak insiden yang terkait dengan tindakan kriminal, tersangka biasanya adalah orang luar yang serta merta dihakimi warga. Dalam insiden lain, tersangka dibawa paksa oleh regu dadakan yang dibentuk lewat SMS dan media sosial, biasanya dari kantor polisi seperti pengeroyokan yang terjadi baru-baru ini di Nusa Tenggara Timur.
Jika vigilantisme pengendalian kriminal cenderung punitif, penindakan terhadap kesalahan sosial dan ideologis lebih mengatur perilaku. Insiden-insidennya seperti penggerebekan terencana di mana terduga pelaku dituntut memperbaiki kesalahannya atau bertobat. Ancaman kekerasan selalu menyertai tuntutan tersebut, tapi kekerasan fisik hanya benar-benar digunakan jika sasaran tidak menurut. Sejumlah studi melihat peran penting ormas atau milisi yang mempunyai komitmen ideologi tertentu, tapi data SNPK menunjukkan bahwa 88 persen serangan vigilante dilakukan oleh warga biasa yang tak terlalu bersangkutan dengan kelompok-kelompok tersebut.
Kepustakaan yang ada umumnya menjelaskan vigilantisme sebagai akibat dari lemahnya kapasitas negara. Penjelasan ini juga lazim di Indonesia; orang main hakim sendiri karena polisi tak bisa dipercaya. Masalah pemolisian masyarakat di Indonesia telah terdokumentasikan dengan baik dan merupakan kondisi penting yang melatari munculnya vigilantisme. Tapi, dua fakta empiris memperingatkan kita agar berhati-hati memandang vigilantisme secara sederhana sebagai pengganti kapasitas negara.
Pertama, vigilantisme naik terlepas dari lonjakan kapasitas polisi sejak Reformasi. Menurut Survei Potensi Desa, jumlah pos polisi meningkat hampir dua kali lipat dari 4.130 pada 1996 menjadi 8.712 pada 2014. Di periode yang kurang lebih sama, jumlah personel polisi meningkat dari 250.000 menjadi 400.000, sehingga rasio polisi dan penduduk Indonesia mendekati standar internasional 1:450, tertinggi sepanjang sejarahnya. Kedua, data yang sama juga menunjukkan bahwa tingkat vigilantisme per kapita 74 persen lebih tinggi di Jawa dan Sumatra dibanding Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara (Gambar 4). Malah di sana, lebih dari separuh insiden vigilante terjadi di pusat-pusat kota besar. Tren spasial ini mengejutkan mengingat di Jawa dan Sumatra tingkat kehadiran aparat keamanan lebih tinggi dan, karenanya, tingkat kerusuhan, bentrokan dan kejahatan kekerasan pun lebih rendah.
Paradoks merebaknya vigilantisme di tengah naiknya kapasitas polisi ini dapat ditelusuri hingga ke warisan pembangunan-negara otoritarian di Indonesia. Setelah memimpin perjuangan nasional, para milisi sipil berperan penting dalam pembantaian komunis 1965. Rezim Orde Baru tidak hanya terus mengerahkan organisasi-organisasi tersebut untuk mengendalikan pertikaian tapi juga menggalang pengawasan masyarakat lewat program-program pertahanan sipil. Sebagai imbalan atas kerjasamanya dalam mengelola ancaman yang lebih besar terhadap rezim, negara memberikan wewenang diskresi tertentu kepada masyarakat dalam menangani pelanggaran terhadap ketertiban setempat. Karena itu, kapasitas koersif masyarakat tumbuh bersamaan dengan negara, bukan sebagai gantinya.
Demokratisasi tidak mengubah bentuk pemeliharaan ketertiban bersama antara negara dan masyarakat di Indonesia ini. Meskipun jumlahnya jauh meningkat, aparat penegak hukum masih sangat bergantung pada dukungan masyarakat dalam mengelola ancaman-ancaman serius seperti terorisme dan konflik-konflik sektarian. Berbagai instansi pemerintah masih terus mengurusi kelompok-kelompok milisi, lama maupun baru. Program Bela Negara merupakan upaya terbaru untuk memanfaatkan tenaga sipil dalam urusan keamanan. Alhasil insentif untuk membiarkan vigilantisme tetap ada, sekalipun aksi-aksi tersebut melanggar hukum pidana. Jadi tak heran jika warga yang berang bisa main hakim sendiri, dan terbebas dari penyelidikan atau penangkapan aparat. Tapi, demokrasi telah membuka akses masyarakat terhadap negara, memungkinkan mereka untuk mendesakkan penafsiran dan penegakan hukum sesuai kehendaknya. Dengan demikian, vigilantisme telah berkembang dari upaya masyarakat untuk sesekali melangkahi negara menjadi daya koersif khalayak untuk mengubah negara.
Perubahan ini nampak dari sikap negara yang makin akomodatif terhadap vigilantisme. Ketika polisi tak mampu menghalangi kelompok vigilante untuk melakukan penggerebekan, mereka melegitimasi tuntutan massa dengan memfasilitasi aksinya. Kelompok vigilante baru dihukum jika sasarannya adalah polisi atau ketika aksinya dapat bereskalasi menjadi kekerasan komunal.
Pembuat undang-undang juga mengikuti pola serupa. Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) secara eksplisit menyebut vigilantisme sebagai justifikasi untuk menggolongkan perdukunan sebagai kejahatan, dan memperberat hukuman untuk pencuri dan pelaku pelecehan seksual. Pemerintah daerah juga mudah mengakomodasi tuntutan vigilante dengan menerbitkan regulasi ad hoc yang membatasi kebebasan beribadah kelompok agama minoritas. Pendeknya, vigilantisme naik karena ia berhasil.
Sana Jaffrey adalah kandidat PhD ilmu politik di University of Chicago dan Peneliti Tamu pada PUSAD Paramadina. Sebelumnya dia memimpin pengembangan dan pengoperasian database Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) di Bank Dunia dari 2008-2013.
Artikel ini pertama kali terbit di New Mandala pada 12 Januari 2017 dengan judul Justice by numbers: The rising spectre of vigilantism in Indonesia. Artikel diterbitkan atas kerjasama dengan Policy Forum – platform analisis kebijakan, opini, debat dan diskusi di Asia Pasifik.
latahzan
Posted at 11:01h, 07 Junitak masalah jika vigilantisme marak tapi terukur pemerintah tampaknya sudah berusaha keras hasilnya dapat anda lihat kita masih satu kesatuan, satu hal jika tidak ingin ada percikan api jangan pernah menyulut api