Kekerasan (Bukan) Jalan Terbaik

Kekerasan (Bukan) Jalan Terbaik

Harus diakui, maraknya tindakan kekerasan atas nama agama (sunni-syiah di Sampang), pelaku aksi terorisme (Bandung, Solo) ini merupakan bukti nyata atas kegagalan pemerintah terhadap warganya dalam memberikan rasa aman, damai, perlindungan, hingga jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah diatur Undang-undang.

Betapa tidak, hasil pemantauan konflik kekerasan di Indonesia dalam catatan The Habibie Center menunjukkan aksi kekerasan kian meningkat. Pasalnya, untuk periode Januari-April 2012 terjadi 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi yang dipantau dalam program Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional (National Violence Monitoring System-NVMS). Dari total insiden kekerasan tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. (Catatan Kebijakan NVMS edisi Juli 2012)

Absennya, penguasa dalam memupus pelaku tindakan kekerasan ini menjadi bukti pemimpin untuk tetap melanggengkan kekerasan secara struktural. Ini diyakini oleh Johan Galtung, aktivis perdamaian asal Norwegia. Kendati perlu dibedakan antara kekerasan yang bersipat persolan (pemukulan, perampokan, peperangan) dan struktural (ketidakadilan, ketidakmerataan, atau struktur vertival dan asimetris). Namun, ujung-ujungnya tak dapat dinafikan kekerasan personal merupakan reaksi atas kekerasan struktural. (Johan Galtung, 1980:68)

Bila kekerasan dilakukan pemegang kebijakan, maka akan terjerumus pada spiral kekerasan. Ini yang diramalkan oleh Dom Helder Camara, seorang aktivis anti kekerasan dari Brazilia, mewartakan “Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan”

Upaya mengurai tindakan tak terpuji ini dengan mempertanyakan; Benarkah berperilaku kekerasan dalam menyelesaikan segala bentuk persoalan (ketidakadilan) dengan main hakim sendiri dibenarkah atas nama agama?

Antikekerasan

Mari kita belajar antikekerasan terhadap Badshah Khan (1890-20 Januari 1988), pejuang risalah muslim antikekerasan dari Perbatasan Barat Laut yang menjadi teman dan berguru kepada Mahatma Gandhi. Baginya, perlawanan antikekerasan merupakan satu-satunya cara efektif melawan kezaliman.

“Hanya dengan antikekrasan, dunia masa kini bisa bertahan hidup menghadapi produksi masal senjata-senjata nuklir. Sekarang ini dunia lebih mumbutuhkan pesan cinta kasih dan perdamaian Gandhi daripada waktu-waktu sebelumnya. Andai saja dunia sunguh-sungguh tidak ingin menyapu habis peradaban dan kemanusiaannya sendiri dari muka bumi ini”, ungkapnya

Keseriusanya untuk menebarkan gerakan antikekrasan Ia mendirikan sekolah bernama Azad di Utmanzai. Guru dan muridnya menggunakan mimbar “Kebebasan Bercibara” supaya terbuka, toleran dan peka terhadap persaolan di sekitarnya.

Ia gencar mengajak banyak pemuda untuk mendukung gerakan khudai Khidmatgar (pelayan Tuhan dan Kemanusiaan), sebuah antikekerasan yang dilancarkan untuk membendung kekerasan atas nama apa pun dengan semboyan; Pertama, Aku berjanji akan melayani kemanusiaan dalam nama Tuhan.Kedua, Aku berjanji akan menolak kekerasan dan balas dendam. Ketiga, Aku berjanji akan mengampuni mereka yang menindasku atau memperlakukanku dengan kejam. Keempat, Aku berjanji akan menolak terlibat dalm permusuhan dan perselisihan serta tidak mencari musuh. Kelima, Aku berjanji akan memperlakukan setiap orang Pathan sebagai saudara dan temanku.

Kekerasan dapat menciptakan kebencian di antaraumat manusia dan menciptakan ketakutan. Saya orang yang percaya pada antikekerasan. Saya menyatakan bahwa tidak akan ada perdamaian atau keselarasan terlahir di tengah-tengah umat manusia di dunia ini kecuali antikekerasan diperaktikan, karena antikekerasan adalah cinta kasih dan cinta kasih ini mengorbankan keberanian di hati manusia.

Di mata Mahatma Gandhi saat ditanya apakah menurutnya antikekerasan sungguh-sungguh cara terbaik untuk menyelesaikan konflik. “Tidak” jawabnya. “Antikekerasan bukanlah cara terbaik, melainkan satu-satunya cara”.

Kekerasan menciptakan kekerasan lain. Baginya, pejuang antikekerasan yang bisa memutus lingkaran kekerasan itu dan menggerakan hati nurani para pelaku kekerasan untuk menciptakan perdamaian. (Eknath Easwaran, 2009: XII, XVIII, 134-135)

Bina Damai

Maraknya kekerasan kolektif, perang, dan jihad teroris perlu dikaji–karena insiden-insiden ini tak hanya menimbulkan headlines di media tapi juga menarik perhatian peneliti yang ingin supaya masyarakat bisa menghindari atau membebaskan diri dari kekerasan. Untuk itu, diperlukan riset-bina damai dan nirkekerasan di dalam tradisi Islam, seperti yang dilakukan oleh Mohammed Abu Nimer, pegiat Perdamaian Internasional dan Resolusi Konflik dari Palestina.

Dengan melakukan riset tentang bina-damai dan penyelesaian masalah nirkekerasan di dalam sejarah dan praktik masyarakat Muslim kontemporer, maka hasilnya akan lebih selaras dengan realitas.

Riset yang difokuskan pada proses-proses bina-damai dan ajaran perdamaian dalam Islam “akan memajukan pemahaman di antara kalangan Barat dan Timur, Muslim dan non-Muslim, yang beriman dan tak beriman.”

Efek strategi riset yang diterakan ini tak hanya dialami riset kekerasan dan nirkekersan dalam Islam. Juga riset perdamaian, sering timbul kecaman karena riset perdamaian yang terlalu banyak mengaji peristiwa peperangan–“terobsesi” oleh perang.

Padahal, dalam sejarah negara bangsa dan masyarakat internasional, perdamaian lebih unggul dari peperangan, kesepakatan damai lebih sering dipatuhi daripada dilanggar, dan hidup berdampingan secara damai lebih tahan daripada kekerasan komunal. (Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi, 2011:100-103)

Hilangnya bina damai sebagai upaya memberanguskan konflik dan kekerasan akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mari kita kutuk aksi kekerasan di Sampang, terorisme di Bandung, Solo dan membudayakan setiap menyelesaikan dengan cara duduk bersama, berdialog, bukan dengan cara main hakim sendiri.

Kiranya, kita perlu meneladani Jawdat Said, ulama asal Suriah tentang mazhab nirkekerasan (mazhab allâ `unf) yang berasal dari pertengkaran (kekerasan) kisah Qabil dan Habil. Mari meneladani Habilketika hendak dibunuh, Habil justru tidak melawan dan pasrah-menyerah.

Kisah ini memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Itu menjadi ibarat teramat penting bagi Said. Karena itu, ia berharap mazhab nirkekerasan juga menjadi bagian dari prinsip yang dianut aktivis Islam yang ketika itu sedang bergelora dalam mengobarkan perlawanan bersenjata. (Majalah Madina, Edisi Juli 2008)

Dengan demikian, tindakan kekerasan bukan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan. Apalagi yang melakukan perbuatan tak lalim itu beragama Islam. Ini akan memperburuk sekaligus menegaskan citra Islam yang sangat akrab dengan kekerasan.***

Sumber: http://bandungekspres.com/online/2012/12/14/kekerasan-bukan-jalan-terbaik/#sthash.VAFy3Gui.feLviiLA.dpuf