Kekerasan Keagamaan dan Absennya Pemerintah

Kekerasan Keagamaan dan Absennya Pemerintah

Mengawali tahun 2010, kebebasan beragama di Indonesia tercoreng kembali oleh perusakan rumah ibadah di Lampung. Beberapa orang tidak dikenal melempari gereja hingga beberapa kaca pecah. Juga ada peristiwa aliran Surge Eden yang didatangi warga dan diteriaki dengan kata-kata kasar. Sebuah kelompok keagamaan yang lain berhasil memobilisasi massa dan berakhir dengan kekerasan.

Umumnya mobilisasi digerakkan oleh segelintir orang. Secara teori, seharusnya kekerasan bisa diredam. Faktanya, kekerasan keagamaan, khususnya yang dilakukan oleh kelompok muslim tertentu, berulang terjadi pada waktu dan tempat yang berbeda. Bagaimana mengelola konflik keagamaan agar tidak sampai menjadi peristiwa kekerasan?

Sebagian aktivis perdamaian dan akademisi menilai bahwa faktor kekerasan keagamaan di Indonesia disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama kekerasan yang terjadi. Jarak antara orang kaya dan orang miskin semakin menjulang. Situasi sulit ini mendorong warga terlibat dalam aksi-aksi kekerasan. Terlebih jika aksi tersebut didasari doktrin keagamaan.

Argumen lain yang juga sering dijadikan faktor terjadinya kekerasan adalah konspirasi. Teori ini meyakini bahwa sekelompok orang mengendalikan aksi-aksi kekerasan keagamaan dari pusat untuk memperkeruh situasi politik-sosial negara. Mereka membutakan penglihatan massa dengan suntikan argumen keagamaan untuk melegitimasi aksi kekerasan tersebut.

Argumen kemiskinan sebagai penyebab kekerasan keagamaan tidak cukup meyakinkan. Betul bahwa kemiskinan di Indonesia cukup besar. Harga-harga bahan kebutuhan pokok terus melonjak. Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa di beberapa tempat yang bisa dikategorikan wilayah miskin, kekerasan keagamaan tidak terjadi.

Begitu pula dengan teori konspirasi. Argumen ini dibangun atas dasar asumsi dan dugaan belaka. Sebagai argumen dalam kata-kata, teori konspirasi kelihatannya meyakinkan. Namun, di lapangan, kekerasan keagamaan umumnya memiliki latar belakang dan aktor yang berbeda-beda dan spesifik. Aktor-aktor aksi kekerasan keagamaan bukan orang bodoh yang dengan mudah dikendalikan. Dengan latar belakang konflik yang sangat lokal, mereka memilih cara kekerasan untuk menyelesaikannya.

Peran negara
Julie Chernov Hwang dalam bukunya, Peaceful Islamist Mobilization (2009), mengajukan dua variabel kenapa gerakan sekelompok muslim tertentu menggunakan kekerasan atau cara-cara damai mengekspresikan keyakinannya. Pertama, partisipasi politik. Gerakan apa pun akan menyampaikan aspirasinya dengan cara damai jika negara membuka arena berkompetisi. Kekerasan adalah cara terakhir bagi gerakan sekelompok muslim tertentu, karena arena formal tertutup bagi mereka. Partisipasi politik tersebut harus terinstitusikan. Usulan dan aspirasi gerakan “sekelompok muslim tertentu” akan dipertaruhkan dalam pemilu, lobi politik, koalisi, dan sebagainya. Cita-cita ideologi kelompok muslim tertentu bertarung di arena tersebut secara sehat dan di bawah payung hukum formal.

Kedua, kapasitas negara yang efektif. Variabel ini diukur dengan sejauh mana negara menegakkan hukum di wilayahnya dan memberi layanan sosial secara efektif. Jika negara menjalankan hukum yang berlaku melalui perangkatnya–polisi, jaksa, dan hakim–kekerasan dapat diatasi dan gerakan keagamaan tidak berani mengekspresikan lewat kekerasan.

Di samping penegakan hukum, pemerintah dapat mengendalikan gerakan sosial, termasuk keagamaan, agar tidak anarkistis dengan memberi pelayanan sosial yang efektif. Kebijakan yang menguntungkan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, menumbuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya. Sehingga, alih-alih main hakim sendiri, masyarakat malah percaya bahwa pemerintah dapat mengatasi konflik yang ada.

Membangun wibawa
Membandingkan antara Indonesia masa Orde Baru dan masa reformasi, Julie menyimpulkan bahwa kini Indonesia merupakan ineffective participatory state. Yaitu negara yang secara politik membuka lebar ruang semua elemen masyarakat–kecuali PKI–berkompetisi menentukan kebijakan berdasarkan ideologi masing-masing. Kehadiran PKS, PPP, dan PBB, yang secara terang-terangan memperjuangkan syariat Islam dalam dua-tiga pemilu terakhir, membuktikan partisipasi tersebut.

Namun, di pihak lain, pemerintah Indonesia belum mampu memberikan layanan publik yang efektif. Temuan LSI terakhir menunjukkan bahwa tren kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan kinerja pemerintah dalam layanan publik menurun. Aparat pemerintah masih lamban menegakkan hukum. Wibawa aparat kian buruk pascaperseteruan antara “cicak” dan “buaya”. Situasi ini adalah puncak dari wibawa polisi yang mendapat citra “pemalak jalanan”, atau “lembaga negara terkorup”, dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan layanan publik. Pemerintah masih setengah hati. Slogan sekolah gratis belum juga terbukti. Betul bahwa pemerintah menggelontorkan uang untuk dana pendidikan hingga 20 persen, tapi uang pendidikan tidak juga murah. Begitu juga dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, yang merupakan wilayah yang masih dipenuhi setengah hati.

Wibawa penegakan hukum yang masih rendah ini memungkinkan gerakan keagamaan menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengekspresikan pendapatnya. Dalam konteks ini, perusakan gereja dan penyerangan terhadap aliran Surga Eden pada awal tahun memperlihatkan kinerja penegakan hukum yang tidak jalan. Penegak hukum diacuhkan kelompok muslim tertentu karena ketidakpercayaan.

Evaluasi 100 hari seyogianya menyentuh masalah-masalah mendasar ini. Sebab, kekerasan atas nama agama bukan kekerasan tiba-tiba. Kekerasan yang mereka lakukan penuh dengan pertimbangan. Semakin negara memberi ruang partisipasi politik dan memberi layanan publik yang efektif, kekerasan atas nama agama sulit menjadi pilihan. Jika tidak, sudilah kita hidup layaknya di rimba raya.

Sumber: Publikasi Koran Tempo, Opini 22 Januari 2010