Membaca Memoar

Membaca Memoar

Belakangan ini toko-toko buku kita dibanjiri buku-buku memoar. Kadang rak yang disediakan untuknya (plus biografi atau tokoh) bahkan lebih besar dari rak yang disediakan untuk genre ilmu-ilmu sosial, yang biasa saya tengok.

Buku-buku itu ditulis beragam orang. Ada artis seperti Krisdayanti, pemimpin agama dan intelektual publik seperti Buya Syafii Maarif, politisi seperti mantan Presiden BJ Habibie, bekas tentara seperti Prabowo Subijanto, dan seterusnya.

Mereka kadang menulis sendiri. Tapi umumnya mereka dibantu penulis profesional. Ini mudah dipahami, karena buku yang baik, bagus isinya (lepas dari kita setuju atau tidak) dan enak dibaca, memang tidak gampang membuatnya.

Inspiratif, Menggugah

Ini gejala apa? Ada macam-macam penjelasan. Yang pasti: ada cukup banyak orang membelinya. Ini termasuk jenis buku yang kemungkinan larisnya tinggi di pasar. Dus, bagus buat industri buku kita. Soal seseorang membelinya karena memoar mudah dicerna dan tidak mendalam, itu hal lain. Toh, tak ada paksaan bagi konsumen untuk membelinya, seperti mahasiswa wajib beli buku teks.

Tapi, kedua, pernyataan itu bisa sangat diperdebatkan. Siapa bilang memoar tidak berpengaruh? Mendatangkan simpati atau antipati? Mempertajam kesadaran kritis? Anda tidak tersentuh membaca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, memoar Pramoedya Ananta Toer dari Pulau Buru? Saya sangat tersentuh membacanya. Sangatnya seperti saya sangat membenci terorisme yang membawa-bawa nama Islam, setelah membaca memoar Imam Samudera.

Dan pengaruh ‘kan tidak mesti politis? Apalagi ketika banyak orang sekarang sedang gregetan dengan yang namanya “politik”, yang hampir identik dengan “politik uang”: kalau situ banyak uang, situ pasti bisa beli kekuasaan!

Banyak orang senang membaca memoar karena contoh-contoh dari hidup si penulis memoar menawarkan inspirasi, daya juang, semangat baru. Bukankah Laskar Pelangi sebagian berisi memoar penulisnya, Andrea Herata? Novel Ahmad Fuady, kawan saya yang terbit baru-baru ini dan laku keras, Negeri 5 Menara, juga didasarkan pada pengalamannya nyantri di pesantren.

Teman saya yang biasa sinis, punya faktor penjelas lain. Katanya, “Mereka ‘kan menulis memoar biar tambah kaya, ketika mereka berada di puncak ketenaran!” Ini mumpungisme.
Faktanya tidak selalu begitu. Ada banyak orang biasa, bukan tajir, yang menulis memoar. And toh, kalaupun benar, apa salahnya, bertambah kaya dengan menulis memoar? Juga jelas: kalau Anda sudah kaya, royalti hasil menulis memoar pasti tidak seberapa dibanding kekayaan Anda.

Demokrasi, Keterbukaan

Yang saya mau tekankan di sini faktor penting lain: demokrasi dan keterbukaan. Ya, menjamurnya memoar hanya dimungkinkan jika ada iklim politik yang menopangnya. Ketika mengutarakan pendapat, termasuk dalam bentuk menerbitkan memoar, diizinkan. Untuk ini, saya suka sekali kutipan Voltaire, pujangga Prancis: “Kita boleh beda pendapat. Tapi hak Anda untuk mengutarakan pendapat akan saya bela sampai mati.” Maka kita prinsipnya harus menolak sensor, apalagi pembakaran, buku-buku.

Tapi bukankah dulu, di bawah rezim otoriter Orde Baru, Bang Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI itu, sudah menulis memoarnya? Juga banyak yang lain, seperti Sudharmono atau Pak Harto sendiri? Ya, tapi tak semua orang bisa. Memoar Pramoedya yang saya kutip di atas, misalnya. Saya dulu membacanya sembunyi-sembunyi, sesudah memfotokopinya dari seorang teman.

Di bawah demokrasi, tiap “saya” punya kans sama untuk dipandang penting. Persis seperti tiap suara punya makna dalam pemilu. Kata Nurcholish Madjid: “Kita akan kehilangan kesempatan memperoleh pilihan yang terbaik, jika ada orang yang dilarang mengutarakan pendapat.”

Sebagai masyarakat, kita sekarang juga makin terbuka. Di luar topik ekonomi dan politik yang pasti akan disensor pemerintah, dulu banyak topik yang masih tabu untuk dibicarakan: terjerat narkoba atau penyakit seperti AIDS, kemiskinan, homoseksualitas, perceraian, dan seterusnya. Di masa lalu, mengakui bahwa kita terkait dengan masalah-masalah seperti itu adalah aib dan memalukan. Sekarang topik-topik itu mulai bebas dibicarakan. Kalau belum sampai ke memoar, minimal topik-topik itu sudah mulai muncul di koran atau infotainmen di televisi.

Keterbukaan juga membuat kita ingin tahu lebih banyak tentang orang-orang lain yang jalan hidupnya beda dari kita, secara etnis, agama, latar belakang pendidikan, dan lainnya. Di tengah maraknya dugaan bahwa terorisme Islam terkait dengan pesantren, bukankah menarik membaca Negeri 5 Menara, yang bercerita tentang hidup sehari-hari di pesantren?

Di luar itu, dalam masyarakat yang makin individualistis dan impersonal seperti sekarang, kita sering merasa lega dan amat terbantu jika kita bisa menimba pengalaman dari mereka yang senasib dengan kita. Kalau Anda atau keluarga Anda pernah punya kesulitan pendengaran dan berhasil mengatasinya, please share, bagi-bagi, karena kami juga punya masalah yang sama dan mau dengar pengalaman Anda. Itu misalnya sambutan pembaca atas penerbitan I can (not) Hear, sebuah memoar yang baru terbit tentang anak tunarungu, yang ikut disusun Feby Indirani.

Mengungkap, Menyembunyikan

Keterbukaan di atas tentu perkembangan baik, dari banyak segi. Tapi tentu kita juga bisa bosan, bahkan muak, dibuatnya.

Itu kalau seorang penulis memoar, misalnya, terlalu terfokus pada dirinya sendiri, tidak peduli pada pembacanya. Kala dia menekankan saya, saya, dan saya melulu. Memoar seperti ini pasti menjemukan. Jika ceritanya tidak mengandung nilai-nilai yang bisa dibagi, memangnya apa peduli kita pada memoarnya?

Yang lebih serius adalah memoar yang terkait dengan fakta-fakta sejarah dengan signifikansi publik yang luas. Memoar jenis ini biasa ditulis mantan “orang besar”, yang perilakunya (baik atau buruk) berpengaruh pada orang banyak, atau para korban mereka. Memoar Habibie dan Prabowo menimbulkan kontroversi, karena keduanya datang dengan informasi berbeda tentang peristiwa yang sama: detik-detik reformasi 1998.

Karena makna sosial dan politik memoar-memoar seperti ini, para penulisnya bicara tentang “meluruskan sejarah”. Perhatikan misalnya banyak memoar yang ditulis para korban peristiwa yang oleh pemerintah Orde Baru disebut Gestapu, yang bermunculan sesudah Pak Harto lengser.

Apa pun klaim penulisnya, plus kejujurannya, memoar terkait dengan pengetahuan subyektif. Penulis memoar pertama-tama peduli bukan pada “meluruskan sejarah”, melainkan pada mengisahkan apa yang diketahui atau dialaminya menyangkut momen-momen tertentu. Memoar adalah lensa dengan apa Anda menyaksikan dan mengalami momen-momen itu. Dan salah satu manfaat memoar adalah kemungkinan bahwa kita, lewat memoar itu, bisa melihat satu momen secara lebih terang dan masuk akal.

Tapi itu bukan jaminan segalanya, termasuk jika si penulis memoar adalah korban. Sebagai pengetahuan subyektif, informasi yang disampaikan penulis memoar hanya terbatas pada apa yang dia ketahui atau alami. Dan ini bukan informasi yang lengkap, obyektif, atau imparsial.

Apalagi jika ditimbang fakta bahwa seorang penulis memoar pasti memilih apa yang mau dan tidak mau dikatakannya. Karena, seraya membuka sesuatu, bukankah kita sedang menyembunyikan yang lain?

Maka biarkan memoar terus terbit. Dan kita memilah-milahnya dengan otak dan hati kita: untuk suka atau tidak, percaya atau tidak.***

Kolom “Ruang Baca” Koran Tempo, 26 Oktober 2009.
Penulis adalah penggemar memoar, dosen ilmu politik yang sedang kesal dengan politik Tanah Air.

 

[wpfilebase tag=file id=46]