Membela Ahok, untuk (Si)Apa?

Membela Ahok, untuk (Si)Apa?

Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memainkan telepon selularnya saat menerima pengaduan warga di Rumah Lembang, Jakarta, Rabu (16/11). Ahok ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri terkait kasus dugaan penistaan agama. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/16.

 

 

Ratusan ribu massa hadir pada aksi protes 411 dan 212 di Jakarta. Mereka menuntut Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dihukum atas dugaan tindakan penodaan agama. Polisi telah menggulirkan proses hukum dan kini perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan hari ini siap untuk disidangkan di pengadilan.

Di tengah-tengah itu, mungkin Anda merasa heran, kok masih ada orang yang sedia membela Ahok. Untuk (si)apa mereka membela Ahok? Apa yang sedang diperjuangkan di balik pembelaannya itu?

Beberapa kawan saya menduga-duga. Misalnya, seorang kawan berkomentar sinis di salah satu status Facebook saya: “Jadi ingin tahu, berapa ya para pembela Ahok dibayar. Salut selalu pasang badan untuk Ahok.”

Sementara itu, akun anonim di Twitter segera melabeli anti Islam kepada mereka yang masih mendukung Ahok dan tidak setuju aksi 212 di Jakarta. Di lain tempat, ada penilaian sebagai pemuja fasis kepada mereka yang mendukung Ahok.

Ketiga jawaban di atas mungkin saja terjadi. Namun, jika rajin ngobrol dengan mereka, kita akan menangkap argumen yang lebih bernuansa dan jangka panjang daripada tujuan sepintas seperti pilkada. Kasus Ahok, bagi mereka, seperti sedang mempertaruhkan masa depan demokrasi kita.

Salah satu aspek demokrasi yang dipertaruhkan, bagi mereka, adalah masa depan penegakan hukum. Dalam sistem demokrasi, hukum harus menjadi panglima. Supremasi hukum yang tegak tanpa tekanan penguasa maupun aksi jalanan. Hukum yang objektif adalah prasyarat utama pemerintahan demokratis.

Penetapan Ahok sebagai tersangka yang kini masuki ke pengadilan nampak serba terburu-buru. Setelah penyidikan dua minggu, kini pemeriksanaan berkas perkara di kejaksaan hanya dalam hitungan jam. Demonstrasi 411 nampak turut menekan proses ini. Hukum seperti tunduk pada “hakim” jalanan.

Selain itu, kasus Ahok menjadi unik karena melibatkan pasal penodaan agama, yang menurut sebagian sarjana seperti karet. Pasal ini bisa ditarik ke sana ke sini, bergantung siapa mayoritas dan siapa minoritas. Tuntutan ini begitu menggema karena terlapor, dalam hal ini Ahok, berasal dari identitas minoritas, beragama non Islam dan beretnis Tionghoa.

Padahal kalau kita renungkan, perkataan Ahok tak ada beda dengan salah satu ceramah Habib Rizieq. Ia mengatakan, ada di dunia ini pihak-pihak (ulama Su’) yang memakai ayat-ayat Qur’an untuk membohongi umat. Banyak pihak tidak melihat ada masalah dengan perkataan kedua orang itu. Ahok kemudian dikriminalisasi semata-mata karena ia minoritas.

Pada kasus ini, misalnya, mayoritas saksi ahli (hukum dan bahasa) mengatakan bahwa tidak ada tindak pidana pada pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu. Polisi menyatakan ada tindak pidana karena ada pendapat lain yang menilai ada tindak pidana dilihat dari segi niat di balik pernyataannya itu.

Aspek lain, kenapa membela Ahok bagi mereka adalah kesamaan hak sipil. Dalam demokrasi, siapa pun berhak memilih dan dipilih, secara adil (fair). Konstitusi kita menjamin setiap warga negara mencalonkan diri menjadi pejabat pemerintah, mulai dari presiden hingga ketua rukun tetangga. Tak terkecuali. Sampai di sini, tidak ada masalah dengan Ahok. Ia sudah resmi menjadi salah satu calon kandidat Pilkada DKI Jakarta.

Menjadi masalah kemudian ketika orang menyeret-nyeret dia menjadi tersangka. Kasus penistaan agama kali ini adalah usaha kesekian dari berbagai upaya menjebloskannya ke penjara. Kita masih ingat desakan orang untuk menyeret Ahok ke penjara melalui kasus korupsi. Lantaran bersih, usaha itu gagal.

Tentu kita tak ingin menghasilkan pemimpin dari hasil dan cara yang tidak fair (adil). Tidak adil jika kontestasi di mana dua kandidat bebas, satu lainnya terikat. Terlalu nampak untuk tidak mengaitkan kriminalisasi Ahok dengan penjegalan dalam Pilkada DKI Jakarta.

Aspek terakhir adalah menjunjung prinsip bahwa demokrasi harus membawa kemaslahatan kepada umat. Kriminalisasi kandidat calon dalam pilkada merugikan penduduk, dalam konteks Jakarta, umat Islam.

Pemilihan kepala pemerintahan adalah waktu paling tepat bagi publik menghukum atau mengapresiasi pemimpin politik. Pilkada adalah momen terbaik untuk menentukan petahana lanjut atau diganti para penantangnya. Mekanisme ini memungkinkan pencarian pemimpin terbaik yang bisa mengelola dana publik untuk kemaslahatan umat.

Kriminalisasi Ahok ini membuat debat program, adu ide, dan kontestasi janji sama sekali tidak mendapat porsi sebagai materi debat. Padahal hal itu sekali lagi terkait kemaslahatan umat. Media massa seperti tidak punya ruang banyak untuk mendiskusikan usulan dan rencana para calon. Kita seperti tak kuasa melawan gelombang itu.

Petahana, dalam hal ini Ahok, telah menjabat selama empat tahun. Selama itu pasti tidak semua kebijakannya sempurna. Publik bisa menginterogasi kebijakan penggusuran terkait banjir. Periksa rencana-rencana para kandidat untuk mengatasi masalah tersebut.

Debat lain misalnya soal reklamasi. Reklamasi ini menyangkut masa depan kita, bukan sebatas lima tahun saja, tetapi menyangkut anak cucu kita. Di balik kebijakan ini, ada masalah banjir, penurunan tanah, dan hilangnya air dari dalam perut buku Jakarta, yang semuanya menyangkut kita semua.

Semua isu di atas wajib menjadi arena debat para kandidat. Kriminalisasi Ahok menenggelamkan tema-tema ini. Kesempatan pasangan calon penantang, Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Rasyid Baswedan, untuk tampil mengemukakan pendapat dan gagasan kemudian sirna. Suara mereka seperti hilang ditelan massa anti penodaan dalam aksi.

Seandainya situasi ini dan kasus penodaan agama menenggelamkan debat program, siapa yang rugi? Tentu saja penduduk Jakarta dan sekitarnya, yang sebagian besarnya Islam. Publik tidak mendapat kesempatan untuk menilai calon dari janji poltik, seberapa masuk akal program bila menjabat gubernur. Publik hanya akan memilih karena ia tidak menista dan berparas wajahnya saja.

Jangan heran jika kelak kita akan menyaksikan penggusuran dan banjir tak tertangani jika kita tidak sempat menginterogasi para kandidat sebelum mereka kita pilih. Kita mungkin masih akan menyaksikan Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap pejabat pemerintah Jakarta, jika kita tidak sempat menengok apa rencana mereka untuk reformasi birokrasi kita.

Para pembela Ahok, dengan demikian, bukan semata-mata membela sosok Ahok. Mereka nampaknya tengah membela hal yang jauh lebih besar, yakni masa depan demokrasi kita. Selain menangkal dari mereka yang mengusulkan sistem khilafah, demokrasi juga harus terus-menerus diperkuat sistem dari dalam.

Nampaknya, tidak peduli seberapa besar aksi massa menekan kriminalisasi, mereka akan tetep membela Ahok. Mereka akan bersuara bila demokrasi terancam oleh krimialisasi. Masa depan demokrasi bukan untuk siapa pun, kecuali kita dan anak cucu kelak.

Sumber: geotimes.co.id, pada tanggal 13 Desember 2016.