Muslim di Britania Pasca Serangan Hebdo

Muslim di Britania Pasca Serangan Hebdo

Penyerangan majalah Charlie Hebdo di Perancis mendapat reaksi tajam dari publik Eropa, termasuk di Inggris. Hal ini dikarenakan selain brutalnya serangan, terdapat tren peningkatan jumlah jihadi dari Inggris, terutama setelah ISIS didirikan. Menanggapi hal ini, Jonathan Ware dari BBC Panorama menelisik keberadaan muslim di Inggris dan bagaimana pendapat mereka akan ekstrimisme dalam komuniti muslim.

Ware mewawancara kaum muslim moderat di Inggris dan mereka berpendapat, masalah terorisme muncul berakar dari pemahaman puritan Islam dan populernya gerakan yang mereka sebut sebagai ekstrimis-non-kekerasan. Para penganut paham ini mendakwahkan pemahaman mereka dengan jalan non-kekerasan namun isi ajaran mereka mencerminkan sisi keras Islam: mereka menganggap demokrasi sebagai paham yang bangkrut dan perlu diganti dengan syariah Islam; penegakkan hukum Islam ini termasuk sistem hukuman yang dianggap keji oleh banyak orang seperti rajam dan eksekusi.

Para ekstrimis ini kental dengan perasaan yang membedakan secara runcing antara “kita” dan “mereka.” ‘Kita,’ dalam anggapan ekstrimis adalah muslim yang menaati syariat sesuai dengan pemahaman kalangan ‘kita’. Gerakan mewujud dalam banyak rupa, pada penceramah yang terang-terangan mendaku diri memanfaatkan demokrasi sambil menunggu waktu menukar guling sistem itu dengan teokrasi, pada sekolah tertutup yang mendidik generasi muda menjadi puritan, hingga orang-orang yang menjadi jihadi. Telunjuk yang menuding ‘mereka’ tak hanya merujuk pada non-muslim, namun juga muslim yang tak sealiran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tertentu di kalangan moderat yang berusaha untuk merengkuh Islam nan demokratik.

Film dokumenter inilah yang didiskusikan dalam Sedap ke dua di bulan Januari 2015 yang dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 2015 pada pukul 16.00-18.00 di kantor PUSAD Paramadina.

Selain membincang dokumenter tersebut, diskusi kali ini membahas pengalaman Syafiq Hasyim saat dia berada di Jerman. Sebagai mahasiswa, dia tinggal di daerah urban yang relatif ramah terhadap keragaman. Selain itu, posisinya sebagai pelajar pun memungkinkan dia bertemu dengan kalangan moderat. Namun, catatnya, muslim di Jerman pada umumnya punya kecenderungan moderat dan dekat dengan pemerintah, karena mereka berasal dari wilayah cenderung sekuler seperti Turki, ataupun eksil dari wilayah keras seperti Indo-Pakistan dan Iran pasca-revolusi.

Para imigran ini membentuk wajah multikultural Jerman yang kehadirannya dibayangi oleh kaum ultra-nasionalis titisan Nazi. Beruntung, penegakan hukum Jerman yang melindungi kebebasan berekspresi termasuk yang bersangkutan dengan agama. Meskipun cenderung moderat dan dilindungi negara, jejak isu sektarian masih muncul di muslim Jerman. Mayoritas muslim di sana tetap menganggap Ahmadi bukan bagian dari mereka dan kedudukan mereka yang lebih istimewa di mata pemerintah kerap menimbulkan kecemburuan pada mayoritas muslim-Sunni.

Lebih jauh, Syafiq memberi konteks pada diskusi dengan memberi perbandingan liberalisme anglo-saxon dengan liberalisme kontinental, dengan merujuk pada penegakan hukum dan kebebasan berekspresi di Inggris dan Jerman. (tc)