Ongkos-Ongkos “Aksi Bela Islam”

Ongkos-Ongkos “Aksi Bela Islam”

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (ketiga kiri) menerima kaligrafi dari ulama saat zikir dan berdoa bersama di kawasan silang Monas, Jakarta, Jumat (2/12). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/16.

 

 

 

 

Ongkos finansial demonstrasi yang oleh penggeraknya disebut “Aksi Bela Islam” sama sekali tak kecil. Ongkos itu makin mahal selaras makin banyaknya peserta demo, seturut makin meluasnya pesan-pesan demo. Jika aksi pertama melibatkan hanya hard core organisasi radikal Front Pembela Islam (FPI), aksi-aksi berikutnya diikuti peserta lebih luas, termasuk ibu-ibu seperti Titik dan Mamiek, dua putri mantan Presiden Soeharto.

Mahalnya ongkos di atas bisa disimak dari angka-angka yang disebutkan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. Katanya, Polri mengeluarkan dana masing-masing Rp 33 miliar untuk (menangani) demo 411 dan Rp 43 miliar untuk demo 212. Dia juga sudah mengajukan anggaran Rp 95 miliar, dan sudah disetujui Menteri Keuangan, “untuk cadangan pengamanan akhir tahun” (Detik, 5 Desember 2016).

Tidak jelas apakah angka di atas sudah termasuk ongkos yang dikeluarkan TNI dalam program “bela negara” dan sejenisnya, di mana Panglima TNI Gatot Nurmantyo berkeliling ke berbagai tempat. Jika belum, jumlah yang disebutkan Kapolri terus bertambah.

Silaturahmi Presiden Joko Widodo dengan para tokoh agama, partai, atau lainnya pasti juga berongkos. Makan siang Jokowi dengan Ibu Megawati mungkin tak mahal. Tapi bagaimana dengan ongkos pengawalan Jokowi bertandang ke PBNU atau kediaman Prabowo Subianto?

Para pendukung aksi tentu juga mengeluarkan ongkos. Walau detailnya berapa dan dari mana asalnya kita tak tahu persis, jumlahnya bisa jadi tak kalah besar. Ingat, seorang pemimpin demo saja pernah menyebut angka sekitar Rp 100 miliar.

Tak lupa, aksi-aksi demo dalam rangka menandingi demo bela Islam juga berongkos. Dibayar baik oleh individu atau partai, ongkos tetap ongkos.

Daftar di atas terkait langsung dengan aksi-aksi demo. Ke dalamnya harus juga dimasukkan ongkos-ongkos yang secara tak langsung dikeluarkan sehubungan dengan berlangsungnya aksi-aksi itu. Tak perlu ekonom untuk menduga ada kerugian yang diderita kantor-kantor tertentu, misalnya, yang meliburkan-diri karena adanya beragam aksi di atas.

Alhasil, total ongkos berlipat lebih besar dari yang sudah disebutkan Kapolri. Akan terasa sangat mahal jika diingat bahwa semuanya dikorbankan untuk membela (atau menangani) satu kasus yang sebenarnya sudah bukan kasus (lagi): tuduhan bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menista kitab suci, yang sudah diproses secara hukum.

Tapi ada ongkos-ongkos yang nilainya jauh lebih mahal dibanding itu semua. Ongkos-ongkos ini bersifat non-finansial, ketika mobilisasi massa dalam rangka demo dan dinamika penanganannya telah menggerogoti sendi-sendi yang selama ini menopang demokrasi kita.

Ini bermula dari fakta keras bahwa demo-demo “Aksi Bela Islam” terkait dengan—jika bukan bermula dari, atau membesar karena—pelaksanaan Pilkada di Jakarta dengan Ahok (seorang Kristen, keturunan Tionghoa, kelahiran Bangka Belitung) ikut sebagai salah satu pasangan calonnya.

Daya tarik Jakarta yang besar dan gaya kepemimpinan serta rekor Ahok sebagai gubernur selama ini, yang melahirkan para Ahok-lovers dan Ahok-haters, menjadikan pilkada ini sangat kompetitif di satu pihak, tapi juga sensitif dan kontroversial di pihak lain. (Seorang kawan menaksir-naksir, sambil bercanda, apa yang akan menjadi nasib Ahok seandainya dia beberapa tahun lalu masuk Islam dan pergi haji, apalagi lahir di tanah Jawa, seperti yang sudah menjadi jalan hidup politisi Golkar Setya Novanto.)

Dengan kata lain, yang dipertaruhkan dalam pilkada ini sangat besar, pemenangannya menjadi kepentingan banyak pihak, bersifat zero-sum, dan kekuatannya untuk memecah-belah sangat tinggi. Dengan alasan ini, mudah dimengerti jika para elite (politik, ekonomi, intelektual, agama, you name it) yang sehari-hari mungkin tak mendukung FPI akan mau beraliansi dengan organisasi ini, dalam rangka memobilisasi massa.

Dan perlahan tapi pasti, beberapa pilar demokrasi kita telah tergerogoti dalam proses dan dinamika terkait Pilkada Jakarta ini, dengan konsekuensi melampaui hanya Jakarta. Yang paling parah adalah wibawa pemerintah di dalam penegakan hukum.

Menyimak langkah-langkah pemerintah dua bulan terakhir, khususnya Presiden Jokowi dan Kapolri Tito, tampak jelas bahwa maksud baik untuk bersikap persuasif terhadap penggerak demo tidak dibarengi tindakan represif yang terukur dan tepat terhadap mereka. Dan ketika langkah represif itu tak dilakukan di awal, hal itu menjadi terlalu berisiko untuk dilakukan ketika mobilisasi ke arah aksi sudah membesar. Semuanya menjadi too little, too late.

Aspek kerusakan inilah yang digambarkan majalah Tempo pekan ini (5-11 Desember 2016) sebagai menguatnya mobocracy dalam panggung politik kita, satu “keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan massa.” Ini menegaskan temuan riset saya dan kawan-kawan dalam Pemolisian Konflik Agama di Indonesia (2014), di mana langkah-langkah penegakan hukum hampir selalu tergantung kepada opini publik atau ada atau tidaknya dukungan kelompok mayoritas.

Tapi, lebih luas dari itu, dinamika di atas juga telah menggerogoti wibawa para pemimpin Muslim yang sering disebut “moderat”. Pada Jumat 212 lalu, ketika nama Islam disebut berkali-kali, kita tak mendengar suara yang tegas mengenainya dari para pemimpin Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar dan yang sering dinisbatkan sebagai “rangka baja” bersatunya Islam dan demokrasi di Tanah Air.

Meskipun ada wakil NU dan Muhammadiyah di Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga itu seperti sudah habis dibajak para penggerak demo, yang dengan cerdik menamakan gerbong gerakan mereka sebagai Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.

Rasa kebersamaan dalam ikatan “Bhinneka Tunggal Ika” juga tergerogoti. Ini ongkos mahal lainnya. “Aksi bela Islam” memang berlangsung makin ke sini makin damai, tapi itu tidak menghilangkan alasan demo itu dilakukan in the first place, yakni pemaksaan kehendak lewat tekanan massa, mobocracy. Dan kita tahu, retorika anti-Tionghoa bukan tak ada, setidaknya di belakang panggung terbuka, menghidupkan lagi ketakutan orang, khususnya kelompok yang bersangkutan, akan peristiwa mengerikan di tahun 1998. Seorang peneliti CSIS yang keturunan Tionghoa menulis renungan terbuka yang menggugah sekaligus menggugat: “Is Indonesia Still Our Home?”

Sendi-sendi demokrasi di atas harus kembali dirajut dan diperkuat. Belajar dari kasus dengan ongkos mahal ini, pemerintah dan organisasi masyarakat madani yang peduli pada penguatan demokrasi Indonesia, bahkan pada keberlanjutan NKRI, harus berkomunikasi lebih sering, ikhlas dan terbuka kepada saling kritik, dan saling mendukung. Saya tak mengatakan mereka tidak bekerja dengan baik. Hanya saja, mereka sama-sama bekerja, sendiri-sendiri, tapi belum atau kurang bekerjasama.

sumber: geotimes.co.id pada tanggal 7 Desember 2016.