Pasca Edaran Polri Terkait Ujaran Kebencian, Warga Harus Ekstra Hati-hati di Media Sosial

Pasca Edaran Polri Terkait Ujaran Kebencian, Warga Harus Ekstra Hati-hati di Media Sosial

JAKARTA, KOMPAS — Munculnya surat edaran terkait ujaran kebencian dari Kepolisian Republik Indonesia menjadi pengingat bagi masyarakat, terutama warga pengguna internet (netizen), untuk ekstra hati-hati dalam menyampaikan pendapat di ruang publik, khususnya di jejaring media sosial. Literasi media digital pun menjadi sesuatu yang penting dikembangkan untuk mengedukasi masyarakat.

Dalam surat edaran yang ditandatangani Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 tersebut, jejaring media sosial menjadi salah satu sarana yang dipantau terkait penyebaran ujaran kebencian ini. Sementara aspek yang dianggap dapat menyulut kebencian juga tak terbatas pada suku, agama, ras, etnis, dan golongan. Aspek mengenai warna kulit, jender, kaum difabel, hingga orientasi seksual juga menjadi perhatian dalam surat edaran ini.

Padahal, fenomena yang berkembang saat ini di jejaring media sosial, setiap orang tak memiliki batasan dalam mengunggah sesuatu atau memberikan komentar terhadap suatu peristiwa. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Roichatul Aswidah, saat dijumpai di Jakarta, Kamis (29/10), sepakat dengan adanya surat edaran ini karena dapat melindungi hak asasi manusia seseorang agar tidak dilecehkan atau difitnah.

“Selama ini, ujaran kebencian berdampak pada pelanggaran HAM ringan hingga berat. Selalu awalnya hanya kata-kata, baik di media sosial maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu menggerakkan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah. Dengan adanya surat edaran ini, paling tidak upaya pencegahan dapat dilakukan terlebih dahulu,” kata Roichatul.

Kecepatan penyampaian informasi di era saat ini rentan disalahgunakan sehingga pendidikan kepada masyarakat, baik mengenai penggunaan teknologi maupun masalah hak asasi manusia, harus diperkuat. Pihak kepolisian pun, lanjut Roichatul, harus mendapat bekal pengetahuan dan pemahaman yang cukup dalam menangani perkara ujaran kebencian ini.

Secara terpisah, pegiat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto, juga setuju dengan keberadaan surat edaran ini. Menurut dia, pemerintah memang sudah waktunya mengambil bagian untuk menangani persoalan ujaran kebencian ini. Ia pun menilai wajar jika muncul ketakutan dalam penggunaan media sosial nantinya, terutama setelah surat edaran ini diterapkan.

Untuk itu, literasi media digital perlu dilakukan. Sebab, masyarakat Indonesia, bahkan generasi muda yang melek teknologi, belum memahami perbedaan antara mengekspresikan pendapat dan menyebar kebencian. “Ini yang sering kali tidak dipahami ketika mengunggah sesuatu. Dalam hal ini, penegak hukum juga harus mengetahui perbedaannya untuk mengambil tindakan. Jika hanya sekali dilakukan, tidak bisa serta-merta ditindak. Tapi jika sudah berkali-kali, berarti terlihat ada niat jahat,” ungkap Damar.

John Muhammad dari Public Virtue Institute juga mendorong agar literasi media digital ditingkatkan. “Sudah waktunya, literasi digital masuk ke pendidikan formal. Di era teknologi, hal semacam ini tidak bisa dianggap sepele karena literasi digital ini penting untuk menata etiket dalam dunia digital yang sebenarnya sama dengan dunia nyata hanya berbeda perantara,” ujar John.

Ia menambahkan, melalui literasi digital, generasi muda akan mengetahui aturan-aturan yang harusnya dijalankan ketika menggunakan jejaring media sosial dalam menyampaikan pendapat atau ketidaksukaan pada suatu hal. Begitu pula dalam menyebar berita yang masuk melalui jejaring media sosial atau aplikasi pengiriman pesan di gawai, biasakan mengutip sumber ketika ingin meneruskannya ke orang lain atau ke kelompok lain.

Contoh ujaran kebencian

Damar Juniarto mengingatkan kita agar tidak mencampuradukkan antara kebebasan ekspresi dan ujaran benci. “Ujaran kebencian itu bahkan musuh besar dari kebebasan ekspresi,” katanya.

Tingkatan ujaran kebencian bisa mulai dari pelecehan, menghasut, sampai mengajak orang untuk menumpas/membunuh orang lain. Damar mencontohkan, pernah ada seorang pembicara yang memberi ilustrasi bahwa autis itu karena main gawai. Menurut Damar, hal seperti itu sudah masuk ujaran kebencian terhadap mereka yang difabel di tingkat pelecehan.

Sang pembicara tersebut tidak sadar. Namun, jika hal seperti itu terus berlanjut dan dilakukan secara sadar serta ditujukan untuk menyakiti orang lain, hal itu sudah termasuk kategori pelanggaran berat.

Contoh ujaran kebencian lain adalah baru-baru ini seorang pengguna Facebook mengirim komentar yang rasis dan menghasut. Pengguna Facebook tersebut mengekspresikan kemarahannya dengan mengatakan ingin berburu dan menyembelih orang berdasarkan kebenciannya terhadap ras tertentu.

Menurut Damar, orang seperti itu tidak sedang menyatakan ekspresinya secara bebas, tetapi sedang melakukan kekerasan lewat ujaran kebencian. Ujaran kebencian sering dicari-cari alasan pembenarannya, misalnya dikaitkan dengan ketimpangan ekonomi. “Tetapi, itu tidak bisa dijadikan landasan tanpa mengaitkannya dengan aspek sejarah, politik, dan sosiologis,” kata Damar.

(Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/10/29/Pasca-Edaran-Polri-Terkait-Ujaran-Kebencian%2c-Warga)