Pemuda dan Gerakan Perdamaian

Pemuda dan Gerakan Perdamaian

Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), mencatat setidaknya 1.051 orang tewas akibat kekerasan yang terjadi sejak Juni 2013 hingga Mei tahun ini. Jumlah insiden dan korban kekerasan ini amat memprihatinkan. Tak pelak, pemerintah dan kitaa semua harus ambil bagian dalam kampaye nirkekerasan di Indonesia. Target grup paling potensial dalam konteks ini adalah pemuda.

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, atas dukungan The Asia Foundation (TAF), mengunjungi Cirebon untuk mempromosikan gagasan dan gerakan nirkekerasan di kalangan anak muda. Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis (28/08) sore ini diawali pemutaran film The Imam and the Pastor dan Provokator Damai. Diskusi ini mengundang Jacky Manuputty (Lembaga Antar-Iman Maluku) dan Ihsan Ali-Fauzi (PUSAD Paramadina) sebagai narasumber. 

Studi perdamaian

Ihsan Ali-Fauzi membuka diskusi dengan pepatah lama: mencegah lebih baik daripada mengobati. Bagaimana caranya? Menurutnya, warga Cirebon harus mempelajari, mengamati dan memantau bahkan ketika Cirebon dalam keadaan damai. Untuk apa? “Agar kita tahu, faktor-faktor apa saja yang bisa menjaga situasi damai tetap terpelihara. Jika potensi kekerasan mulai tercium, kita bisa segera mengambil tindakan pencegahan sejak dini” imbuhnya.

Dalam berbagai studi, lanjut Ihsan, perdamaian itu terdiri dari: peacebuilding, peacemaking dan peacekeeping. Dalam konteks Cirebon, lanjut Ihsan, peacekeeping atau memelihara perdamaian perlu mendapat perhatian lebih agar konflik tidak berakhir dengan tindak kekerasan.

Gerakan perdamaian

Dalam rangka peacekeeping, Jacky mengatakan bahwa pemuda di Ambon telah mengupayakan banyak hal. Bahkan pada saat awal-awal konflik, sudah ada upaya merajut jejaring sesama pegiat perdamaian, misalnya lewat komunitas tari. Mereka berasal dari berbagai suku dengan latar belakang agama yang berbeda. Mereka merasa perbedaan agama bukan masalah, meski suasana sedang memanas. Mereka terus berlatih meski harus sembunyi-sembunyi. Jangankan berkumpul bersama, mengkampanyekan kata “damai” saja, papar Jacky, nyawa kita terancam.

Karena itu, strategi pergerakan di Ambon menggunakan “menganyam pandan,” pertemanan antarindividu. Masing-masing kemudian membawa teman untuk bekerja bersama. Teman tersebut memiliki komunitas, jejaring komunitas terbentuk. Jejaring tersebut akhirnya terhubung antar komunitas se-Ambon. Semua memiliki visi yang sama, mengupayakan perdamaian. Belakangan, mereka menyebut diri “provokator damai”, yang kemudian menjadi judul film. Provokator itu pada dasarnya netral. Dia bisa menggerakkan orang untuk kepentingan apapun. Maka, gerakan yang ingin perdamaian terwujud, bisa menggunakan istilah tersebut.

Kini, menurut Jacky, para pegiat perdamaian di Ambon sudah sampai pada persepsi bahwa sejahat-jahatnya orang, mesti memiliki benih damai, kasih, dan energi positif. Asumsi terseut mendorong semua pihak yang terlibat untuk tidak lelah mengajak mantan-mantan pejuang dari kedua belah pihak untuk merajut kebersamaan.

Merajut perdamaian bukan pekerjaan mudah. Para pegiatnya, lanjut Jacky, harus pintar mencari terobosan strategi dan cara yang paling nyaman semua pihak bisa bekerja sama. Anak-anak muda, dalam hal ini, perlu dilatih dan diberi kesempatan untuk membuat terobosan-terobosan cara dan strategi yang inovatif.

Di Ambon, Jacky bercerita, memulai dengan kegiatan live in dimulai tahun 2005. Kegiatan ini mendorong pendeta-pendeta di Ambon untuk tinggal di rumah penduduk Muslim selam satu malam. Panitia tidak memberitahu bahwa rumah yang akan ditinggali sudah diinformasikan program ini. Peeserta live in ketar-ketir. Mereka khawatir akan terjadi sesuatu kalau harus tinggal di rumah orang Islam.

Toleransi

Salah seorang santri dalam acara ini bertanya, apa syarat agar terobosan menebus segeregasi bisa tercapai? Menurut Ihsan, kuncinyaa adalah toleransi. Toleransi, menurutnya, berasa dari kata dasar tolerare. Artinya, kesediaan orang untuk menanggung beban. Setiap orang beda-beda. Beda agama, hobi, etnis, keyakinan dan lainnya. Agar hubungan bisa dilakukan, kita harus rela menanggung perasaan tidak suka kepada orang lain agar bisa bekerjasama. Meski saya tidak suka kepada pihak lain, saya bisa menanggung beban agar hubungan satu sama lain dengan baik.

Salah seorang peserta mengatakan bahwa toleransi itu berbaur bukan melebur. Menanggapi pandangan ini, peserta lain bertaya, apa batasan toleransi? Menurut Ihsan tidak ada kepastian di mana batasan itu berada. Batasan itu muncul pertama-tama dari stereotipe, sak wasangka, di antara dua pihak atau lebih. Sak wasangka tersebut pada gilirannya membentuk persepsi mengenai orang lain, dan di situlah batas-batas mulai diciptakan.

Untuk mengatasinya, menurut Ihsan, perbanyak pergaulan. Semakin banyak teman, semakin banyak yang bisa dikerjakan bersama, semakin tahu pula di mana batasan kerjasama satu sama lain. Kita akan selalu curiga terhadap sesuatu yang baru kita ketahui. Kita akan segera tahu juga bagaimana mengatasi kecurigaan setelah kita tahu detailnya dengan segala bukti yang menyertainya.

Jacky menutup diskusi dengan ajakan agar kita pintar-pintar mencari titik kesamaan daripada titik perbedaan. Sebagai pendeta, ia kesulitan jika harus bekerjasama dengan seorang mufti dari Iran dan seorang Yahudi dari Israel. Namun, paparnya, ia bisa bekerjasama dalam satu hal: masak memasak. Mereka berhasil menemukan titik persamaan, sembari pada saat yang sama tahu batas masing-masing.***