Riset untuk Kebijakan Agama

Riset untuk Kebijakan Agama

PEMERINTAH, kampus, dan organisasi nonpemerintah dalam melakukan riset memiliki pendekatan dan cara masing-masing. Apakah selama ini riset-riset agama sudah mempengaruhi kebijakan pemerintah? Jika belum, naskah akademik yang dibangun untuk membuat undang-undang ataupun regulasi berlandaskan apa? Hal ini menjadi pemantik diskusi mengenai seberapa berpengaruhnya riset terhadap kebijakan di Indonesia.

Buku yang diterbitkan oleh Pusad Paramadina ini menggambarkan betapa pentingnya kebijakan pemerintah harus dilandasi riset. Namun, yang terjadi sebaliknya, kebijakan yang dihasilkan tidak berlandaskan riset. Dengan kata lain, pemerintah mengeluarkan kebijakan publik dulu, baru riset kemudian, sehingga riset dihasilkan untuk memperteguh dan memperkuat kebijakan. Alih-alih “evidence-based policy making”, yang terjadi di Indonesia adalah “policy-based evidence making”.

Buku ini memiliki dua premis utama. Pertama, pentingnya kebijakan yang ditopang oleh hasil penelitian yang kokoh. Kedua, sejauh ini banyak kebijakan di Indonesia yang tidak didasarkan atas pengetahuan yang kuat (halaman 2). Padahal riset-riset yang baik itu sebagai penopang kuat untuk pemangku kebijakan publik menggunakannya. Apalagi Indonesia termasuk negara dengan banyak peraturan mengenai agama. Banyak dari aturan tersebut menyangkut masalah kompleks, kontroversial, atau bahkan potensial menjadi sumbu konflik. Misalnya, masalah penodaan agama, pengaturan rumah ibadah, pendidikan agama, dan pencatatan administratif agama warga negara.

Polemik yang berkepanjangan antarlembaga serta egosentrisme lembaga kerap mewarnai tidak sehatnya interaksi di antara produsen pengetahuan dan pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan memiliki kebutuhan-kebutuhan praktis, sedangkan para akademikus yang memproduksi pengetahuan memiliki standar dan tujuan berbeda dan kerap dianggap terlalu teoretis untuk bisa bermanfaat secara praktis. Bisa jadi produsen pengetahuan tidak terlalu mengetahui kebutuhan para pengambil kebijakan yang risetnya tidak signifikan, sehingga terjadi jurang pemisah di antara keduanya.

Ada delapan hal yang dibahas dalam buku ini untuk memperkuat riset dan memperkuat kebijakan. Pertama, tulisan Samsul Maarif mengenai “Meninjau Ulang Definisi Agama, Agama Dunia, dan Agama Leluhur”. Dalam catatannya, masalah pendefinisian agama terletak pada rumusan yang didasarkan atas perspektif dominan (subyektif) dan kemudian digunakan secara universal. Definisi agama semacam itu bisa saja menjadi malapetaka konflik sosial dan menjadi “alat penekan” untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasikan agama tertentu yang tidak sesuai. Samsul menawarkan pendefinisian agama yang lebih akomodatif dan terbuka.

Kedua, catatan Zainal Abidin Bagir, “Kajian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan Implikasinya untuk Kebijakan”. Pentingnya negara demokratis seperti Indonesia memahami arti kebebasan beragama dan berkeyakinan serta memiliki regulasi yang tepat berlandaskan hasil temuan riset. Bagaimana negara menghadapi persoalan yang tengah dihadapi, seperti kasus penodaan agama, persekusi, pemurtadan, dan perpindahan agama. Zainal melihat, di Indonesia, pengaruh riset masih lemah terhadap pemangku kebijakan.

Ketiga, tulisan Irsyad Rafsadi, “Catatan Satu Dasawarsa Pengukuran dan Pemantauan Kebebasan Beragama di Indonesia”. Irsyad mengklaim maraknya pelanggaran kebebasan beragama di berbagai negara telah mendorong dikembangkannya instrumen pengukuran dan pemantauan. Era pengukuran dan pemantauan berbasis empiris ini bisa menjadi “peta jalan” bagi pemangku kebijakan. Data empiris memperkuat dan mendorong pemangku kebijakan melihat persoalan krusial kebebasan beragama di Indonesia. Dengan begitu, pengukuran dan pemantauan kebebasan beragama harus dilandasi riset yang memadai.

Keempat, M. Adlin Sila mengutarakan “Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Mengelola Keragaman dari Dalam”. Adlin memaparkan konsep kerukunan sebagai kebijakan pemerintah dalam mengelola masyarakat Indonesia yang majemuk. Bagaimana pemerintah dan masyarakat sipil memiliki ruang dialog yang lebih luas untuk bersama-sama mencari titik temu atau jalan tengah di antara penghormatan terhadap hak-hak komunal. Di sini pentingnya diskursus atau komunikasi deliberatif yang memadai antara berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat sipil untuk memahami bentuk kerukunan umat beragama yang memiliki sejarah panjang di Indonesia.

Kelima, Nathanael G. Sumaktoyo menulis “Meneliti Toleransi Indonesia: Ke Arah Praktik-praktik Terbaik”. Nathanael mencoba menelisik berbagai literatur mengenai toleransi dan riset-riset tersebut kemudian mengubah kebijakan publik. Tinjauan literatur menjadi basis untuk melihat riset-riset yang terkait dengan toleransi dan kebebasan beragama di berbagai negara dengan mencontoh metode dan pendekatan yang telah dilakukan. Hal ini menjadi kunci riset-riset empiris terhadap perkembangannya dan mampu menemukan hal praktis dalam proses pengambil kebijakan.

Keenam, Sana Jaffrey mengulas “Mempelajari Konflik Keagamaan di Indonesia: Pengetahuan dan Implikasi Kebijakan”. Menurut dia, konflik antarkelompok keagamaan telah lama berlangsung di Indonesia sehingga data empiris dan literatur sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi faktor sebab-akibat konflik keagamaan dapat digambarkan secara komprehensif.

Pada potret ini, kita bisa memahami persoalan konflik keagamaan dengan pendekatan teoretis ataupun praktis. Identitas keagamaan kerap melekat pada diri individu dan kelompok yang biasanya mereka memiliki klaim kebenaran yang kerap berbenturan dengan klaim kebenaran yang lain. Hal ini tentu bisa menyulut konflik berkepanjangan. Riset-riset konflik sejatinya bisa memberikan rekomendasi kepada negara untuk melakukan tindakan preventif dalam menyelesaikan konflik sosial keagamaan di Indonesia.

Ketujuh, esai yang dipaparkan oleh Ihsan Ali-Fauzi dan Solahudin, “Deradikalisasi di Indonesia: Riset dan Kebijakan”. Ihsan dan Solahudin mengklaim bahwa riset-riset tentang deradikalisasi di Indonesia masih berada pada masa awal. Sebagian riset itu juga masih bersifat deskriptif-evaluatif dan kurang teoretis. Selain itu, para pemangku kebijakan kurang memberi perhatian yang cukup pada hasil-hasil riset. Pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang bertanggung jawab pada proses deradikalisasi, sebaiknya lebih membuka diri dengan memperlihatkan data mereka kepada publik sehingga dapat dielaborasi lebih jauh. Ini perlu agar program deradikalisasi dan kontra-radikalisasi dilakukan berdasarkan riset.

Kedelapan, tulisan Nava Nuraniyah dan Ihsan Ali-Fauzi, “Suara yang Terabaikan: Perspektif Gender dalam Studi-studi tentang Kekerasan Teroris di Indonesia”. Nava dan Ihsan melihat kecenderungan meningkatnya keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme di dunia, termasuk bom bunuh diri. Perempuan kerap dijadikan sebagai alat dan “pengantin” untuk melakukan tindakan teror. Perempuan dianggap makhluk lemah yang bisa kapan saja disublimasi oleh ideologi kekerasan dan tindakan terorisme. Pada pengujung 2016, seorang mantan tenaga kerja Indonesia bernama Dian Yulia Novi berencana melakukan aksi bom bunuh diri. Kasus ini menunjukkan perempuan juga bisa menjadi kombatan aksi terorisme.

Delapan tulisan tersebut mengadvokasi bahwa riset dan kebijakan tidak dapat dipisahkan, layaknya dua sisi koin. Pada gilirannya, riset sebagai koleksi data empiris lapangan dan pemangku kebijakan bisa menghasilkan kebijakan publik yang tepat sasaran.

Akhirnya, pengetahuan dan perubahan bisa berjalan beriringan. Produsen pengetahuan dan pengambil kebijakan bisa bekerja sama sehingga persoalan keagamaan di Indonesia dapat diantisipasi dengan kebijakan berdasarkan riset. Hasil riset yang bisa mempengaruhi kebijakan dan mampu mengkomunikasikannya pada pengambil kebijakan adalah sesuatu yang mesti dilakukan. Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi?

Pengambil kebijakan sudah tidak bisa lagi abai terhadap riset-riset agama di Indonesia. Produsen pengetahuan–akademikus, aktivis, dan lembaga swadaya masyarakat–bisa membahasakannya dengan lebih mudah dan bernilai strategis untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada pengambil kebijakan. Keduanya mesti ngopi bareng agar Indonesia dapat meminimalkan konflik sosial-agama yang terus mengemuka.

Kebebasan, Toleransi dan Terorisme 
(Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia)

Editor : Ihsan Ali-Fauzi, Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi
Penerbit : Pusad Paramadina
Tahun : I, Mei 2017
Tebal : i + 297 halaman