27 Feb Sejumlah eks napi teroris ‘bertobat atas inisiatif pribadi’, peran pemerintah ‘minim’
Akademisi dan mantan narapidana kasus terorisme (napiter) menilai pemerintah kurang berperan dalam proses deradikalisasi pelaku teror dan rekonsiliasi pasca konflik.
Mereka menyebut dorongan untuk berhenti dari aktivitas teror lebih kerap muncul atas kesadaran pribadi atau dari kelompok masyarakat sipil (LSM).
“LSM dan komunitas warga di sekitar sayalah yang membukakan jaringan dan menyokong aktivitas saya (setelah keluar dari penjara),” kata Arifuddin Lako kepada wartawan BBC Indonesia, Abraham Utama, Selasa (27/02).
- Serangan terhadap pemuka agama: teror, intoleran atau aksi kriminal?
- Basri ditangkap, Santoso tewas, bagaimana radikalisme di Poso?
- Saling bunuh, saling bakar sampai… ‘sayang kamu semua’: Mantan tentara anak Islam dan Kristen Ambon
Arifuddin alias Iin Brur adalah mantan terpidana kasus Poso yang pernah berhubungan dengan kelompok teror, Jamaah Islamiyah.
Sempat menjadi buronan, tahun 2010 ia dihukum 8,5 tahun penjara karena membunuh jaksa bernama Ferry Silalahi.
“Ada teman napiter bebas, tapi karena pendekatan pemerintah dan masyarakat kurang, akhirnya dia kembali ke komunitas lama,” ujarnya.
Arifuddin menyebut napiter berpeluang besar menjadi residivis atau mengulangi perbuatan teror. Alasannya, kata dia, stigma negatif sebagai bekas pelaku teror menyulitkan mereka mendapatkan pekerjaan.
Selain faktor kesejahteraan, Arifuddin menyebut pula fenomena sosial yang selalu mendiskreditkan mantan pelaku teror.
Di jejaring teror, Arifuddin pernah berhubungan dengan Santoso dan Basri, dua pentolan kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Santoso tewas ditembak Satgas Tinombala pada Juli 2016, sementara Basri ditangkap tiga bulan sesudahnya.
Jalan pulang
Usai menyelesaikan masa pemidanaannya tahun 2015, Arifuddin bergiat bersama LSM lokal yang mengadvokasi HAM. Ia lalu membentuk lembaga Rumah Katu dan menyutradarai film berjudul Jalan Pulang.
Arifuddin berkata, tidak semua mantan napiter mulus menjalani proses deradikalisasi seperti dirinya.
Hal senada dikatakan Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict. Menurutnya, sejumlah mantan pelaku teror menolak disebut berhasil kembali ke masyarakat setelah mengikuti program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Mereka sebetulnya sangat tidak setuju pernyataan BNPT, bahwa napiter keluar dari jejaring kekerasan atas program BNPT.”
“Sebagian besar dari mereka keluar bukan karena program pemerintah tapi kesadaran sendiri,” kata Sidney.
Jacky Manuputty, asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antariman dan Antarperadaban, tak membantah dua pendapat tersebut.
Namun ia menyebut pemerintah secara perlahan mengubah pendekatan deradikalisasi dan penyelesaian konflik yang pernah terjadi.
“Pemerintah biasanya menggunakan pendekatan keamanan dan bantuan kemanusiaan, tapi proses sosial dan kultural kadang tidak diperhatikan,” tuturnya kepada BBC Indonesia.
Jacky merupakan agen perdamaian yang mendapatkan sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri. Ia pernah menjadi pelaku sekaligus korban konflik Ambon di awal dekade 2000-an.
“Pemerintah berupaya keras tapi program mereka perlu dikombinasikan dengan proses di akar rumput,” tutur Jacky.
Menurut data yang dipaparkan Deputi Bidang Pencegahan BNPT, Mayjen Abdul Rahman Kadir, hingga Maret 2017 sebanyak 187 mantan napiter telah lulus deradikalisasi.
Pada periode yang sama, ia menyebut lebih dari 400 napiter belum mengikuti program tersebut.
Menurut Jacky, pemerintah membutuhkan asistensi kelompok masyarakat sipil dalam deradikalisasi dan rekonsiliasi pasca konflik.
Jacky mencontohkan, usai konflik Ambon, sembilan badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ratusan LSM menerjunkan tim untuk memuluskan proses perdamaian antara dua pihak yang bertikai di provinsi itu.
“Dari situ kita belajar, bukan hanya masyarakat yang diperkuat, tapi juga pemerintah karena tidak punya skill (keterampilan) dan knowledge (pengetahuan) mengelola konflik sebesar itu,” ucapnya.
Read more at: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43214086