Semangat feminisme dalam pemikiran Cak Nur

Semangat feminisme dalam pemikiran Cak Nur

Tahun 1995 silam, ketika generasi millenial masih belia, Cak Nur menulis sejumlah esai yang tertuang dalam buku Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Buku ini refleksi Cak Nur dalam mencari titik temu masyarakat Indonesia yang majemuk dan berkelindan terus-menerus dengan masalah kemanusiaan, keadilan dan Hak-hak Asasi Manusia.

Banyak juga yang menulis tentang pemikiran Cak Nur. Tapi, dari beberapa tulisan itu, timbul kesan bahwa Cak Nur tidak terlalu banyak mengulas isu perempuan. Bahkan, ada kritik dari kalangan Feminis bahwa perjuangan hak perempuan tidak disinggung secara gamblang oleh Cak Nur dalam refleksi-refleksi esainya.

Sebagai generasi millenial, yang dihadirkan dengan ragam ideologi dan sudut pandang serta interaksi sosial yang demikian luas, saya menilai bahwa muatan pemikiran Cak Nur tetap mengandung semangat Feminisme. Ide Cak Nur yang banyak membincang soal demokrasi, pluralisme dan HAM senafas dengan perjuangan Feminisme. Pada prinsipnya, tema-tema yang diangkat Cak Nur sejalan dengan cita-citanya dalam mewujudkan relasi-relasi yang adil terkait hubungan antar manusia.

Meski tidak secara gamblang diulas, namun apa yang Cak Nur kemukakan soal pentingnya memperjuangkan otoritas individu juga merupakan basis dari ideologi Feminisme. Sebab apa yang ia urai sebagai keadilan atau kemanusiaan berarti menjunjung otoritas manusia sebagai individu. Semangat ini juga selaras dengan apa yang diajarkan oleh agama.

Cak Nur menyebutnya sebagai wawasan kemanusiaan dalam agama. Agama menanamkan pemahaman bahwa setiap manusia adalah fitrah (suci). Konsep fitrah manusia dapat diartikan pula sebagai pemahaman yang sensitif gender, sebab kesucian seseorang tidak dirujuk berdasarkan apakah ia laki-laki atau perempuan.

Argumen tersebut penting sebagai legitimasi perjuangan gender agar sejalan dengan nilai-nilai agama. Pasalnya, dalam konteks ideologi, baik Indonesia maupun masyarakat global, masih ada sebagian kalangan yang berpikir bahwa Islam tidaklah sejalan dengan konsep kesetaraan gender.

Pemahaman mengenai gender dan HAM dianggap sebagai budaya yang datang dari Barat sehingga berpotensi menimbulkan dehumanisasi jika diimplementasikan dalam masyarakat Islam. Cak Nur tidak berpandangan demikian. Ia dengan gamblang menyebutkan bahwa usaha mewujudkan HAM merupakan salah satu dari sekian banyak ‘kenyataan’ dalam agama. Artinya, keadilan dan kemanusiaan yang selama ini kerapkali dianggap sebagai ajaran Barat, sesungguhnya sudah terkandung semangatnya dalam Islam.

Maraknya Verbalisme

Jauh sebelum media sosial menjadi wadah yang kritis, progresif sekaligus juga gandrung, kita diingatkan oleh Cak Nur mengenai verbalisme. Nasihat Cak Nur soal verbalisme ini bukan hanya berguna bagi perjuangan hak-hak perempuan, tetapi semua nilai yang mengandung muatan kemanusiaan. Dalam salah satu esai berjudul Kesadaran Tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Usaha Peningkatannya Cak Nur mengatakan bahwa komitmen pribadi merupakan hal yang penting bagi HAM.

Baginya, lemahnya komitmen pribadi terkait perjuangan HAM salah satunya disebabkan oleh verbalisme. Seseorang merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan, menyebarkan dan melafalkan rumusan-rumusan serta pemahaman tertentu. Verbalisme, bagi Cak Nur, seolah memperoleh legitimasi. Sejak duduk di bangku sekolah, ujian-ujian atau tes hanya sebatas seberapa jauh orang hafal di luar kepala atas suatu persoalan, namun tidak ada formula untuk mengarahkan apakah ia benar-benar mengerti makna dan substansi.

Dalam konteks relasi sosial saat ini, verbalisme yang diurai Cak Nur semakin relevan. Era digital menyisakan pertanyaan, bagaimana kita meneruskan upaya-upaya kemanusiaan? Apakah sekadar slogan dan tagar semata? Perlu ada sesuatu yang dilakukan secara beyond(di luar) dari ungkapan-ungkapan yang emosional itu.

Refleksi Feminisme juga perlu memaknai ungkapan-ungkapan verbal secara adil. Sebab kita mengetahui bahwa gender adalah konstruksi sosial, dan subordinasi perempuan disebabkan oleh kultur yang mengendap sangat lama dalam masyarakat. Upaya-upaya beyond verbalisme adalah sebuah perjuangan tanpa henti.

Jika melihat bagaimana kemahiran Cak Nur dalam mengelaborasi isu-isu kemanusiaan dan cara-cara untuk tetap melestarikannya, substansi ajaran Cak Nur hendaknya tidak dilihat oleh kalangan Feminis sebagai sesuatu yang pragmatis atau instrumental semata. Hanya karena Cak Nur tidak membahas secara spesifik mengenai isu perempuan, bukan berarti substansi atau semangat ajarannya tentang kemanusiaan tidak dapat diadopsi oleh kelompok Feminis di Indonesia.

Paradigma Feminisme di Indonesia justru harus banyak bersentuhan dengan semangat humanisme yang dibawa oleh nilai agama, dan salah satunya digagas Cak Nur. Hal ini tantangan tersendiri bagi ideologi Feminisme di Indonesia, terutama dalam menghadapi kelompok non-moderat yang sering sekali menginterpretasikan Feminisme tidak sejalan dengan Islam.

Langkah Selanjutnya

Dua hal yang menurut Cak Nur harus dipenuhi dalam mewujudkan HAM ialah lewat dimensi historis dan dimensi perjuangan. Dimensi historis berarti harus timbulnya pemahaman memadai bahwa apa yang sudah didapat hari ini (deklarasi universal HAM misalnya) bukanlah sesuatu yang taken for granted. Sebelum tatanan itu hadir, ada proses yang tidak instan dan memerlukan waktu panjang, serta ditempuh dengan cara susah payah.

Bagi Cak Nur, pemahaman ini harus dibumikan, agar mendarah-daging pada setiap individu. Usaha menanamkan dan meluaskan penghayatan akan pentingnya HAM adalah dengan melihatnya sebagai sebuah usaha panjang dan berliku. HAM bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja bagi perjalanan sebuah bangsa di dunia, tetapi merupakan sesuatu yang direbut, ‘dipaksa’ untuk hadir dalam sendi kehidupan manusia.

Kedua, pemahaman HAM sangat baik jika diperkuat pula oleh pengamalan agama. Cak Nur mengutip sebuah pidato Nabi Muhammad SAW yang sangat penting bagi perlindungan HAM. Pidato tersebut ialah:

“Wahai manusia, ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu (budak, buruh, dan lain-lain). Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, berilah pakaian seperti yang kamu kenakan! Janganlah mereka kamu bebani dengan beban yang mereka tidak mampu memikulnya, sebab mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah bahwa orang yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu di Hari Kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka.”

Pidato di atas sangatlah esensial untuk menjustifikasi pentingnya perjuangan HAM. Tidak hanya berlandaskan kemanusiaan, tetapi masuk dalam kategori pengamalan nilai-nilai dalam agama Islam. Dengan demikian, justifikasi ini tidak hanya diilhami sebagai antar-individu yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban, tetapi juga sebagai identitas makhluk yang beriman.

Senada dengan humanisme Cak Nur, problem pemahaman gender di Indonesia juga bukan hal yang mudah untuk ditanamkan pada individu. Sebab gender adalah konstruksi sosial yang tertanam sejak lama, maka membumikan pemahaman yang adil gender juga memerlukan konstruksi yang solid. Kita perlu mengamini cara Cak Nur bahwa usaha membumikan pemahaman adil gender dengan terlebih dahulu mewanti-wanti bahwa perjuangan ini amat tidak mudah, bahkan masih menyisakan ‘pekerjaan rumah’ di berbagai belahan dunia.

Dalam konteks Indonesia, dengan mayoritas perempuan yang menganut Islam, pemahaman soal pentingnya kedudukan perempuan dalam agama adalah fondasi yang patut ditekankan. Al-Quran sebagai sumber utama dan universal bagi umat Islam menyebutkan bahwa Tuhan selaku otoritas tertinggi tidaklah membedakan status dan posisi antara perempuan dan laki-laki. Islam, dalam jejak-jejak Al-Quran tidak memberikan porsi yang parsial bagi kaum perempuan ataupun laki-laki. Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 195 menyebutkan bahwa;

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik” (Ali Imran ayat 195).

Kemudian juga dalam Surat An-Nisa ayat 124 menjelaskan;

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun (An-Nisa ayat 124).

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat kita simpulkan. Pertama, secara tekstual dan universal, Al-Quran selaku kitab suci umat Islam bersifat sensitif gender. Tidak ada pengistimewaan terhadap satu jenis kelamin tertentu. Perempuan dan Laki-laki ditempatkan secara setara dalam teks-teks Quran.

Kedua, Quran, dengan penegasan kesetaraannya, telah menjamin ruang gerak perempuan yang sama dengan laki-laki. Demikian, kritis mengenai isu gender dan Feminisme serta kaitannya dengan semangat pembaharuan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Cak Nur.

Sumbangsih Cak Nur dalam kehidupan keagamaan dan masyarakat di Indonesia tidaklah diragukan lagi. Ide-idenya harus terus kita segarkan, tak terkecuali semangat bagi hadirnya relasi sosial yang adil bagi perempuan di Indonesia.

Read more at https://beritagar.id/artikel/ramadan/semangat-feminisme-dalam-pemikiran-cak-nur