Tantangan Menteri Lukman

Tantangan Menteri Lukman

Presiden Jokowi memilih Lukman Hakim Saifudin sebagai Menteri Agama. Menurut Jokowi, Lukman pekerja keras, tekun dan terbukti melakukan banyak perubahan. Kabinet Kerja memang butuh sosok demikian, karena masalah yang dihadapi tidak ringan: konflik berbasis sekte keagamaan dan pendirian tempat ibadah.

Kualitas konflik keduanya meningkat beberapa tahun terakhir. Konflik sektarian yang semula menimpa kelompok kecil, seperti al-Qiyadah, kini melebar ke jemaah Ahmadiyah dan Syi’ah yang lebih besar. Sementara itu, ketegangan pendirian tempat ibadah, dalam hal ini masjid, kini terjadi di wilayah timur akibat konflik pendirian gereja di Jawa tidak tuntas.

Selama ini intervensi yang ditempuh pemerintah untuk kedua masalah tersebut secara retoris sudah tepat: dialog. Pemerintah, misalnya, menggelar “dialog” setelah kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Pemerintah juga mengundang para pihak berdialog untuk mengatasi kasus Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat.

Tapi dialog tersebut tak efektif dan jauh dari menyelesaikan masalah. Alih-alih, para pihak keukeuh dengan pendiriannya, dan kekerasan terulang.

Ini karena pemerintahan yang lalu, khususnya Menteri Agama Suryadharma Ali, menempatkan dialog sebagai reaksi, minus substansi dan strategi. Dialog baru dilakukan setelah kekerasan terjadi, jiwa melayang dan harta benda menghilang. Tanpa insiden, pemerintah tidak mengadakan dialog terbuka dan berkesinambungan antar-para-pihak.

Pertemuan yang diadakan pemerintah seringkali nampak seperti ruang pengadilan ketimbang forum yang setara, yang merupakan substansi dialog. Suryadharma misalnya mengatakan, “Mereka (penganut Syiah) dipulangkan dulu ke Sampang baru dicerahkan (ditobatkan), atau dicerahkan dulu baru pulang.”

Reaksi minus substansi ini, pada akhirnya, terlihat sekedar formalitas untuk menunjukkan kinerja pemerintah. Beberapa dialog yang melibatkan wakil GKI Yasmin, penentang gereja, dan pemerintah setempat, misalnya, tidak menghasilkan jalan keluar bersama, padahal Mahkamah Agung telah memutus izin gereja legal.

Konflik agama, sektarian maupun tempat ibadah, adalah masalah bersama. Berdasarkan penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (2011), konflik keagamaan selalu melibatkan kepentingan berlapis, mulai dari elit pusat hingga aktor-aktor di level lokal.

Karena itu, pemerintah perlu melibatkan para pihak, pemangku kepentingan di semua lini, melalui forum dialog setara dan terencana.

Pemerintah perlu menempatkan dialog sebagai strategi jangka panjang. Mempertemukan semua pihak, dari kelompok arus utama hingga mereka yang dipersepsi “sempalan”, layak menjadi agenda rutin. Interaksi damai yang rutin ini akan membenturkan keyakinan lama dengan fakta-fakta baru, yang kemudian mengguncang persepsi sempit tentang pihak lain. Bukan tidak mungkin para pihak menemukan kesamaan-kesamaan sebagai anak bangsa, ketimbang perbedaan-perbedaan teologi.

Perjumpaan tersebut akan berjalan dengan baik, apabila pemerintah menjadi narahubung yang netral, yang menempatkan para pihak “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Atas prinsip ini, para pihak bisa mengutarakan pendapat dan keluh kesahnya secara terbuka. Suasana tersebut bisa menciptakan sambungan (linking) antarpihak yang selama ini nampak bertolak-belakang.

Sambungan-sambungan itu, pada gilirannya, akan membentuk jembatan, yang memungkinkan para pihak saling menyeberang. Jembatan tersebut harus bisa dilalui Majelis Ulama Indonesia, misalnya, untuk mengenal lebih dekat kehidupan jemaah Ahmadiyah. Begitu juga sebaliknya. Jembatan itu juga harus menjadi jalan pemerintah mengenali para pihak dengan baik, sebagaimana sebaliknya.

Merajut sambungan dan membangun jembatan bukan tanpa tantangan. Jembatan bisa rusak oleh rayap, berjubah agama maupun identitas lain, yang tidak menginginkan suasana harmoni terwujud. Pemerintah perlu memaksimalkan komponen penegak hukum untuk menindak pelaku kekerasan, yang hendak merusak jembatan itu, tanpa pandang bulu.

Hambatan lain adalah regulasi. Surat Keputusan Bersama tahun 2008 mengenai Ahmadiyah, misalnya. Regulasi tersebut menjadi alasan pihak tertentu memutus upaya membangun jembatan para pihak dengan komunitas Ahmadiyah. Dalam hal ini, pemerintah wajib meninjau dan memperbaikinya menjadi rugulasi yang menjamin dialog terbuka, setara dan tanpa rasa takut.

Melihat sepak terjangnya, Lukman Hakim adalah pilihan tepat untuk memikul beban tersebut. Selama tiga bulan menggantikan Suryadharma Ali, dia telah melakukan sejumlah terobosan. Semoga dia tidak mengulang kesalahan menteri sebelumnya.

Majalah Geo Times, 3-9 November 2014.