Agama, Rekonsiliasi dan Keadilan Transisi

Agama, Rekonsiliasi dan Keadilan Transisi

Dalam merespons ketidakadilan masa lalu, pemuka agama sering terlibat dalam apa yang dikenal sebagai keadilan transisional. Mereka mendorong dan menjalankan komisi kebenaran, menuntut pengadilan, mengenang korban tewas dan menyokong penyintas. Yang menarik, pemuka agama juga mengutarakan paradigma rekonsiliasi yang sering diperlawankan dengan “perdamaian liberal” dalam keadilan transisional.

Di mana titik-temu dan titik-pisah antara model rekonsiliasi yang dipengaruhi agama dengan model keadilan transisional yang dipengaruhi paradigma “perdamaian liberal”? Bagaimana rekonsiliasi sebagai etika bina-damai dapat dijalankan dalam konteks keadilan transisional? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bahasan utama dalam Kuliah Agama dan Bina-Damai yang disampaikan Ihsan Ali-Fauzi, Direktur PUSAD Paramadina, pada Selasa (14/06) lalu.

Referensi kuliah kali ini adalah makalah Daniel Philpott yang diterbitkan dalam buku The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding (2015), berjudul “Reconciliation, Politics, and Transitional Justice.” Philpott adalah profesor di Departemen Ilmu Politik dan Joan B. Kroc Institute for International Peace Studies di University of Notre Dame. Studinya banyak membahas tentang agama dan politik global, serta agama dan keadilan transisi.

Philpott berargumen bahwa rekonsiliasi adalah konsep keadilan yang merupakan alternatif dari “perdamaian liberal” dan memiliki akar dalam berbagai tradisi keagamaan. Dia lalu menunjukkan perbedaan dan persinggungannya dengan perdamaian liberal dalam keadilan transisi. Kecuali praktik pemaafan (forgiveness) yang masih sering berbenturan, Philpott menemukan hampir semua praktik rekonsiliasi sejalan dengan keadilan transisi.

Di akhir kuliahnya, Ihsan Ali-Fauzi mengajak peserta untuk mendiskusikan gagasan Philpott dengan konteks Indonesia. Sebagian peserta masih menyangsikan bahwa pendekatan rekonsiliasi bisa disamakan dengan pendekatan keadilan transisi. Tapi mereka percaya bahwa kedua pendekatan tersebut sama-sama perlu diperjuangkan dalam merespons berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Sebagian peserta lain menyangsikan kontribusi agamawan terhadap rekonsiliasi, merujuk keterlibatan mereka dalam berbagai peristiwa konflik di Indonesia. Meski begitu, para peserta percaya agamawan memiliki potensi besar untuk mendorong rekonsiliasi. Prakarsa-prakarsa tokoh lintas-agama di Maluku serta upaya-upaya anak muda Nahdlatul Ulama lewat Syarikat Indonesia adalah beberapa contohnya.***