Beyond Religious Freedom

Beyond Religious Freedom

Alih-alih makin pudar dan terkucil, seperti yang sering dibayangkan orang, agama kini justru makin berpengaruh dan makin menguasai ruang publik. Menariknya, hal ini berlangsung bersamaan dengan bangkitnya demokrasi, setidaknya sejak 1970-an. Penyebaran nilai-nilai demokrasi pun tak luput menempatkan kebebasan beragama sebagai salah satu prinsip utamanya yang dilancarkan dengan berbagai proyek internasional.

Elizabeth Hurd, Guru besar Ilmu Politik di Northwestern University, mengkritisi perkembangan tersebut dalam bukunya Beyond Religious Freedom: The New Global Politics of Religion yang terbit pada 2015. Buku ini diulas Zainal Abidin Bagir dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada, dan didiskusikan bersama sejumlah peneliti dan penggiat kebebasan beragama di ruang diskusi PUSAD Paramadina pada Senin, 26 September 2016.

Bagir mengapresiasi buku ini sebagai sumbangan penting dalam diskursus politik agama. Argumen utama Hurd, menurut Bagir, adalah bahwa kebebasan beragama tidak hanya melindungi penganut agama, tetapi mengonstruksi objek yang dilindunginya itu. Ini karena ia memberangus berbagai macam keyakinan dan praktik ke dalam agama yang didefinisikannya. Ia bukan doktrin universal semata tapi juga merupakan jenis pengaturan keragaman sosial dengan segala konsekuensinya.

Inilah yang dimaksud Hurd dengan governed religion atau agama yang dikonstruksi negara dan lembaga keagamaan demi kepentingan negara. Ini berbeda dengan dua jenis lain dalam tipologi agama yang dia ajukan, yaitu expert religion atau agama yang dikonstruksi akademisi untuk kepentingan “pemahaman,” dan lived religion agama sehari-hari yang cakupannya paling luas.

Bagir melihat bahwa argumen-argumen Hurd sebetulnya sebagiannya sudah lama menjadi keresahan para sarjana dalam studi agama. Tapi ketika gagasan Hurd dikemukakan ke publik, reaksi yang sering muncul adalah kekhawatiran jika ia akan melemahkan perjuangan kebebasan beragama di Indonesia.

Hal ini memang nampak dalam tanggapan peserta diskusi. Seorang peserta menganggap argumen tidak keliru, tapi juga tidak banyak manfaatnya, baik dari segi akademik maupun advokasi. Apalagi Hurd tidak menawarkan alternatif sama sekali. Peserta lain menganggap Hurd luput memerhatikan bahwa perjuangan kebebasan beragama juga muncul dari “bawah” dan tidak hanya “dikonstruksi dari atas.”

Terlepas dari itu, Bagir melihat bahwa justru di situlah letak kontribusi Hurd. Dia memang tidak berpretensi memberikan model terbaik tapi dia mengajak kita untuk memperluas cakrawala dan memperbanyak pilihan, jangan hanya terpaku pada argumen kebebasan beragama yang dalam banyak kasus tidak banyak membantu dan justru malah memperumit persoalan.[]