Menghadapi Hoaks dan Disinformasi selama Pandemik

Menghadapi Hoaks dan Disinformasi selama Pandemik

Hoaks atau berita bohong, termasuk dalam politik, menyebar luas dan memengaruhi opini masyarakat. berita bohong bahkan dapat memicu kebencian dan berujung pada kekerasan. Bagaimana memahami situasi peredaran berita bohong dan bagaimana mengatasinya?

Menjawab pertanyaan tersebut, Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca dan pemilik Kios Ojo Keos memandu dialog bersama Ihsan Ali-Fauzi, direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina secara live melalui instagram. Dialog tersebut megambil tema “Ketangguhan Komunitas Menghadapi Hoaks dan Disinformasi”. Dialog ini dilaksanakan pada Jumat, 3 April 2020.

Dalam kesempatan ini, Ihsan memaparkan hasil penelitian PUSAD Paramadina rumor dan kekerasan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian itu menemukan bahwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Landak saat Pilkada dipicu disinformasi yang disebarkan melalui media sosial.

Peredaran rumor terkait pilkada saat itu mendorong sebagian komunitas masyarakat Melayu berpindah ke tempat yang lebih aman meskipun hanya beberapa hari. Mereka khawatir jika komunitas masyarakat Dayak akan melakukan penyerangan ke rumah-rumah orang Melayu. Rumor yang tersebar secara begitu cepat ada kaitan dengan lemahnya literasi digital masyarakat.

Di balik rumor yang mudah tersebar itu juga dipicu pengalaman kekerasan di masa. Menurut Ihsan kepindahan tersebut tidak akan terjadi jika kepolisian bersikap cekatan menghalau arus disinformasi yang tersebar di masyarakat dan menindak tegas pelaku yang bersalah. Mereka juga berpindah karena merasa polisi tidak bisa memberikan rasa keamanan.

Ihsan kemudian menghubungkan hasil penelitian tersebut dengan persoalan penyebaran berita bohong dan rumor yang terjadi selama pandemik Covid-19. Menurutnya baik pemerintah pusat maupun daerah tidak cukup siap menyambut pandemik ini. Berbeda dengan saat gelaran Pilkada, semua orang dikerahkan dari pusat sampai akar rumput. Selain itu buruknya koordinasi antar sektor pemerintahan juga menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan informasi yang tidak benar.

Setelah itu Ihsan coba merefleksikan tindakan yang dilakukan oleh Narendra Modi, Perdana Menteri India saat kampanye pemilu di India. Ihsan mengatakan saat pemilu, Narendra membuat grup WhatsApp sampai ke tempat pemungutan suara (TPU) untuk mengampanyekan pesan-pesan politiknya. Dengan cara itu Narendra terbilang berhasil memanfaatkan media sosial untuk kepentingan politiknya. Sayangnya tindakan tersebut tidak dilakukannya saat pandemik Covid-19, sehingga dunia melihat lockdown yang dilakukan India sangat berantakan.

Apa yang dilakukan Narendra juga dilakukan oleh para politisi di Indonesia. Pada saat Pemilu jangkaun mereka sampai ke tingkat akar rumput, koordinasi yang mereka lakukan dengan timnya sangat kuat. Namun hal itu tidak dilakukannya saat pandemi Covid-19 ini, padahal teknik organisasi media sosial yang dilakukannya saat Pemilu juga bisa dilakukan saat pandemi ini untuk mengedukasi masyarakat, dan semua bentuk koordinasi lainnya.

Diskusi ini menyimpulkan kekerasan yang disebabkan oleh disinformasi juga didukung oleh pengalaman buruk di masa lalu, rendahnya literasi digital masyarakat, dan ketidak tegasan pemerintah dalam menindak pelaku yang bersalah.***