
15 Apr [Ringkasan Artikel RISOS #4] Hantu Imperialisme Akademis?: Universitas Barat dan Pemikiran Islam Modern di Indonesia đź—“
Hantu Imperialisme Akademis?: Universitas Barat dan Pemikiran Islam Modern di Indonesia
Dalam buku ini, Abbas mengulas bagaimana keterkaitan antara universitas di Barat dengan sejarah pemikiran Islam modern, khususnya di negara Indonesia. Beragam universitas di Barat
menjadi ruang penting bagi produksi pengetahuan keislaman dan otoritas keagamaan di dunia Muslim. Hal ini terjadi dalam beberapa dekade terakhir sejak pertengahan abad ke-20. Pada
masa itu, semakin banyak mahasiswa Indonesia yang pergi belajar ke beberapa perguruan tinggi di Barat sebelum mereka kembali ke Tanah Air dan menduduki posisi-posisi penting di
bidang sosial dan politik. Pada masa-masa sebelumnya, para pemimpin Muslim yang menonjol di Indonesia memperoleh pendidikan mereka di berbagai madrasah dan perguruan tinggi di
Timur Tengah atau wilayah Nusantara sendiri.
Buku ini menganalisis pengaruh jangka panjang perubahan di atas baik terhadap komunitas Muslim secara umum maupun terhadap kajian-kajian keislaman sebagai sebuah disiplin
keilmuan. Perdebatan besar antara dua kerangka besar studi keislaman: dualisme dan fusionisme juga menjadi konteks perkembangan sejarah pemikiran Islam di Indonesia yang
pengaruhnya tak lepas dari perkembangan di kampus Barat. Pandangan dualisme melihat tradisi ilmu Barat dan ilmu Islam sebagai dua hal yang saling bertentangan. Sementara
pemikiran fusionis percaya bahwa kedua tradisi kelimuan tersebut tidak saling bertentangan dan justru dapat dipadukan menjadi satu sistem kelimuan yang lebih komprehensif.
Pengalaman studi dan kiprah beberapa tokoh Muslim Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi di universitas Barat tersebut juga dibahas dengan cukup detail dalam buku ini. Beberapa
di antaranya seperti Mukti Ali dan Harun Nasution (Universitas McGill, Kanada), serta Nurcholish Madjid, Amin Rais dan Syafii Maarif (Universitas Chicago, Amerika Serikat).
Warisan pemikiran maupun kebijakan tokoh-tokoh tersebut masih bisa kita rasakan di Indonesia hingga saat ini seperti tata kelola kehidupan antar-agama serta pengembangan kurikulum pembelajaran agama.
Menurut Abbas, keterkaitan antara dunia akademis Barat dan Islam di Indonesia tidak saja memperkokoh jaringan transnasional baru, melainkan juga mendisrupsi model otoritas yang
sebelumnya dominan di dalam kedua wilayah itu. Bagi para intelektual Muslim, mempelajari Islam di universitas-universitas Barat memang menawarkan kesempatan untuk bereksperimen
dengan disiplin-disiplin akademis dan untuk merenungkan lagi iman mereka. Tetapi hal itu juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana “memelihara” tradisi Islam dari campur-
tangan Barat. Sementara itu, bagi para akademisi Barat, kaitan-kaitan baru ini memunculkan masalah etis penting tentang peran mereka di dalam politik pembangunan global dan reformasi keagamaan Islam.
Benarkah perubahan dalam “kiblat” mahasiswa Muslim Indonesia belajar seperti didiskusikan di atas seberpengaruh seperti yang digambarkannya, misalnya dalam perkembangan reformasi
Islam di Indonesia? Jika ya, apakah hal itu diakibatkan oleh “tipisnya iman” para mahasiswa yang belajar ke Barat itu atau karena reformasi Islam memang memerlukan fondasi kebebasan
akademis yang saat ini disediakan oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Barat? Dalam pengembangan pemikiran Islam, apakah distingsi antara “orang luar” dan “orang dalam” masih
relevan? Apa yang salah jika para sarjana Barat seperti Leonard Binder (pembimbing Amin Rais) menulis mengenai pemikiran Islam dan memberi nasihat kepada pemerintah Indonesia
dalam memajukan perguruan tinggi?
Dalam rangka merespons perdebatan dualisme dan fusionisme di atas, Abbasjuga memaparkan tiga opsi bagi pengembangan studi keislaman di masa depan dengan masing-masing kelemahan
dan kelebihannya. Pertama, pemeliharaan kriteria tertentu sebagai standar kualifikasi untuk menentukan mana studi yang layak disebut sebagai studi keislaman (discursive boundary
maintenance). Kedua, mendorong dialog antara wacana akademisi Barat dan pemikiran Islam demi terwujudnya pertukaran keilmuan dan pemahaman yang lebih menyeluruh dan kritis
(cross-discursive dialogue). Ketiga, mendorong upaya pengkajian budaya lain guna mengemukakan kritik atas budaya sendiri (radical instrospection). ***